Aturan PIT Ideal Bagi Pemerintah, Namun Implementasinya Mendapat Sorotan

Aturan PIT Ideal Bagi Pemerintah, Namun Implementasinya Mendapat Sorotan

Share on facebook
Share on twitter
Share on linkedin
Share on whatsapp

Pada tahun 2022, KKP mengeluarkan kebijakan sebagai dasar acuan pengalokasian sumber daya ikan dan pengelolaan perikanan. Diantaranya terkait dengan Kebijakan tentang Estimasi Potensi Sumber Daya Ikan, Jumlah Tangkapan Ikan yang Diperbolehkan (JTB), dan Tingkat Pemanfaatan Sumber Daya Ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan tertuang dalam Kepmen KP Nomor 19/2022.

Sejak lebih setahun dengan berbagai polemik diskursus terkait kebijakan penangkapan ikan terukur, akhirnya Pemerintah merampungkan sejumlah paket regulasi tentang penangkapan ikan. Adapun regulasi tersebut yakni Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2023 tentang Penangkapan Ikan Terukur serta berbagai aturan turunannya.

Implementasi seperangkat regulasi yang mengatur alokasi sumber daya ikan serta pengelolaan perikanan diharapkan merupakan langkah strategis untuk mendorongkan perubahan tata kelola perikanan dan memberi manfaat pada masyarakat pesisir khususnya nelayan.

Namun aturan tersebut juga menjadi polemik dalam berbagai diskursus mulai dari tataran masyarakat sipil hingga nelayan pada tingkat tapak. 

Untuk itu Jaring Nusa kembali menggelar sharing session dengan mengangkat tema “Posisi Nelayan Tradisional Indonesia dalam Pusaran Regulasi Perikanan Nasional”. Kegiatan ini diselenggarakan secara daring pada Senin (30/10/2023).

PIT yang Diinginkan Pemerintah

Kementerian Kelautan dan Perikanan mencatat setidaknya terdapat beberapa masalah yang dihadapi terkait dengan hadirnya kebijakan Penangkapan Ikan Terukur (PIT). 

Jumlah kapal yang semakin banyak namun masih berorientasi pada jumlah sebanyak-banyaknya, bukan mutu sebaik-baiknya. Lalu kondisi ikan yang makin kecil, daerah penangkapan ikan yang makin jauh. Selain itu masih adanya nelayan yang melanggar jalur penangkapan.

 “Saat ini nelayan tradisional dan kecil menangkap ikan selalu jauh dari pangkalan mereka, hasil yang ditangkap semakin kecil. Hal ini sudah terjadi di berapa daerah di indonesia. Dan itu sangat tidak efisien dari segi bisnis,” terang Lili Widodo, dari KKP.

“Berbagai praktik IUU Fishing yang masih kerap terjadi dan masih adanya konflik antar nelayan,” tambahnya.

Dalam PIT sendiri ada tiga yang diatur yakni zona penangkapan, kuota dan musim penangkapan. Ia juga menekankan dalam PIT ini akan mengintegrasikan data dari daerah sampai ke pusat.

“Semua tata kelola penangkapan ikan terukur ini semua terintegrasi melalui aplikasi. Selama ini antara pusat daerah berbeda-berbeda,” ujar Lili Widodo, yang merupakan Ketua Pokja Kelembagaan dan Perlindungan Nelayan Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap.

“Sehingga kedepannya dengan adanya PIT ini pengelolaan dari pusat dan daerah ada keseragaman tata kelola,” tambahnya.

Grand Design Kampung Nelayan Maju yang dicanangkan oleh KKP (Presentasi Lili Widodo)

Selain itu dalam PIT sendiri KKP mendorong program kampung nelayan modern. Pada paparannya, ia menyebut jika tujuannya untuk mengembangkan kampung nelayan menjadi lebih maju, bersih, higienis, dan tertata yang diiringi dengan peningkatan produktivitas dan kapasitas usaha nelayan agar menjadi sejahtera.

“PIT sangat erat hubungannya dengan kampung nelayan maju. Kita mengintegrasikan dari 3 aspek yakni biologi, ekonomi dan sosial. Integrasi industri hulu-hilir yang mampu membuka lapangan kerja baru dan mengoptimalkan tenaga kerja lokal,” terangnya.

“PIT sebetulnya keberpihakan kepada nelayan kecil sangat besar,” tutupnya.

Sementara itu Parid Ridwanuddin, selalu Manajer Kampanye Pesisir dan Laut WALHI turut memberikan tanggapan terkait pemaparan Lili Widodo. Menurutnya cantolan UUD 1945 pasal 33 ayat 3 tidak terdapat dalam UU PIT.

Ia juga mengusulkan untuk melihat kebijakan di tingkat tapak apakah regulasinya banyak ditolak oleh masyarakat sehingga implementasi aturan ini dapat ditunda.

“Kalau keberatan apakah opsinya adalah ditunda dulu sampai masyarakat betul-betul paham,” ujarnya.

Arah Kebijakan PIT dan Implikasinya di Tapak

PIT menjadi aturan yang dibuat pemerintah melalui KKP untuk berpihak terhadap nelayan kecil, Namun hal yang berbeda disampaikan oleh Miftachul Choir, Manajer Human Right Destructive Fishing Watch.

Ia menyebut jika salah satu permasalahan yang diangkat dari PIT ini adalah overfishing. Menurutnya overfishing itu berasal dari adanya ketimpangan antara nelayan skala besar terhadap nelayan kecil dan tradisional.

“Overfishing itu terjadi karena adanya ekspansi kapital, subsidi dan privatisasi. Ada ketimpangan relasi antara nelayan industrial dan nelayan lokal,” tuturnya.

Destructive Fishing Watch melakukan kajian terhadap aturan yang dikeluarkan pemerintah terkait dengan kebijakan kelautan dan perikanan. Kajian aturan dalam rentang tahun 2014-2020 tersebut mengungkap jika adanya upaya untuk menekan overfishing.

“Ada upaya-upaya yang dilakukan untuk mencegah overfishing. Tapi kemudian kita lihat kebijakannya tidak berlangsung lama,” terangnya.

“Awalnya kita mempunyai kebijakan protektif sumber daya laut, tapi dalam beberapa tahun terakhir terlihat eksploitatif. Jika overfishing itu kebanyakan pelaku usaha, kenapa kita beri reward melalui zonasi ini,” tambahnya.

Ia juga memaparkan terdapat empat poin yang menjadi catatan kritis terhadap kebijakan PIT ini. Pertama adalah nelayan kecil tidak bertanggungjawab atas penangkapan ikan yang berlebih.

Kedua ialah penangkapan ikan yang berlebihan justru disebabkan oleh industrialisasi dan keterbukaan pasar. Ketiga, PIT dapat berpotensi dikategorikan ocean grabbing karena memiliki karakter menjauhkan penerima manfaat dari sumber daya.

Terakhir, PIT dapat berjalan secara ideal namun prasyarat penting adalah adanya pemerintahan yang demokratis dan adil. Ia mendorong partisipasi publik penting dalam kebijakan PIT ini.

“Apakah PIT ini (mengarah) ke pemulihan lingkungan atau eksploitasi. Keterlibatan publik penting, untuk memastikan itu perlu adanya transparansi dan akuntabilitas, tegasnya.

Sementara itu hasil riset yang dilakukan oleh Saiful, akademisi Universitas Pattimura yang meneliti terkait kebijakan PIT ini menunjukkan ada ketimpangan informasi yang didapatkan oleh nelayan lokal.

“Pada 2 lokasi yang kami lakukan penelitian, tingkat pengetahuan masyarakat sangat rendah terhadap aturan rancangan tersebut. Ada gap informasi,” terangnya.

“Ini menjadi masalah. Masyarakat tradisional itu tidak mengetahui bagaimana aturan sebenarnya itu harus dilaksanakan,” tambahnya.

Peta lokasi fishing ground masyarakat Desa Samang, Kabupaten Kepulauan Aru yang menjadi lokasi penelitian (Paparan Saiful)

Selain itu ia juga menyebut jika tingkat penerimaan masyarakat kebijakan PIT ini sangat rendah. 

“Bisa dipengaruhi karena tidak sampainya informasi. Ada kekhawatiran ketika daerah mereka menjadi kawasan industri, akan menggusur daerah-daerah wilayah tangkap nelayan kecil,” jelasnya.

Ia mendorong agar PIT ini harus sampai pada masyarakat di tingkat tapak. Perlu ada pemahaman yang masif terhadap masyarakat mengenai kebijakan yang berlaku yang menyasar nelayan.

“Aturan yang dikeluarkan oleh pemerintah bahwa transfer informasinya tidak sampai ke masyarakat. Perlu adanya penyampaian informasi ke masyarakat,” ujarnya.

“Kalau tidak ada transfer pengetahuan dari pemerintah ke masyarakat, maka aturan yang kita buat bisa menjadi multitafsir, bagaimana dampak regulasi, masyarakat bingung. Penting bagaimana transfer informasi sehingga aturan yang dibuat sampai ke masyarakat,” tambahnya.

Salah satu peserta diskusi, Heri turut memberikan tanggapannya terkait aturan PIT ini. Ia menyebut jika nelayan yang didampinginya mengeluhkan masalah perizinan kenelayanan yang memberatkan nelayan. Ia mendorong agar pihak pemerintah mempertegas aturan perizinan hingga sampai pada dinas-dinas terkait.

Kondisi Nelayan di Nusa Tenggara Barat

Dedy Sopian dari Lembaga Pemberdayaan Sumber Daya Nelayan (LPSDN) menjelaskan kondisi nelayan di NTB. Dalam paparannya, nelayan tradisional di NTB terbagi menjadi dua yakni nelayan tangkap dan nelayan budidaya.

Ia juga membeberkan beberapa masalah yang dihadapi nelayan di NTB. Ia menyebut jika permasalahan rumpon telah menjadi hal yang disorot oleh nelayan. 

“Di atas 12 mil itu adalah ijinnya pusat, sementara yang di bawah 12 mil adalah izinnya provinsi. Rata-rata rumpon itu di atas 12 mil. Bukan hanya nelayan NTB yang datang menangkap tapi nelayan dari luar,” ujarnya.

Rumpon yang berapa di laut di atas 12 mil menurutnya menghalangi migrasi ikan. Akibatnya hanya ikan-ikan ukuran kecil yang masuk dalam teluk. 

“Pada akhir-akhir ini setelah banyaknya rumpon di tengah laut, ini yang menurut nelayan menghambat migrasi ikan. Ikan-ikan kecil kayak teri, tertahan di tengah, yang seharusnya masuk dalam teluk, tapi harus tertahan di rumpon,” terangnya.

Selain itu sering terjadi konflik antar nelayan terutama terhadap lokasi penangkapan. Konflik tersebut lantaran wilayah tangkap nelayan yang juga menjadi daerah budidaya skala besar.

“Kami mengadvokasi nelayan tangkap dengan salah satu perusahaan mutiara, nelayan menangkap disekitar tempat budidaya. Harusnya ada pemantauan dari provinsi atas izin yang dikeluarkan,” jelasnya.

Pertemuan Himpunan Pembudidaya Lobster Teluk Jukung terkait rancangan Permen KP (Foto: LPSDN)

Ia juga menyoroti terkait dengan perizinan yang menyulitkan nelayan. Nelayan harus bolak-balik mengurus perizinan yang  memakan waktu dan biaya tidak sedikit.

“LPSDN mendorong percepatan dokumen nelayan seperti KUSUKA, yang jadi persoalan terkait dengan perizinan kapal. Persoalannya mereka harus mengurus kapal yang begitu banyak perizinan yang harus diurus,” paparnya.

Dalam pemaparannya, ia turut memberikan beberapa rekomendasi atas kebijakan yang dikeluarkan pemerintah terkait kelautan dan perikanan. Diantaranya persoalan rumpon harus ditangani dari hulu ke hilir. Meninjau kembali persoalan zonasi.

Lalu perlunya pengkajian ulang terkait izin operasi lingkungan yang perusahaan yang berpotensi merusak lingkungan. Menyederhanakan proses perizinan, surat kapal dan dokumen kenelayanan lainnya.

Selanjutnya adalah mendukung inovasi budidaya terutama pakan alternatif. Terakhir, membuat regulasi yang lebih memihak kepada nelayan dan pembudidaya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *