Cerita Dari Timur, Mahasiswa IPB Berbagi Pengalaman Magangnya

Cerita Dari Timur, Mahasiswa IPB Berbagi Pengalaman Magangnya

Share on facebook
Share on twitter
Share on linkedin
Share on whatsapp

Jaring Nusa menggelar sharing pengalaman 4 peserta magang mahasiswa IPB yang ditempatkan di lokasi anggota Jaring Nusa. Kegiatan ini dilaksanakan melalui Zoom Meeting pada Kamis (31/03/2022) dan dimoderatori oleh Gadri Ramadhan Attamimi selaku Ocean Policy and Advocacy Econusa.

LPSDN dan Yayasan Tananua Flores menjadi tempat magang mahasiswa jurusan Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Fakultas Ekologi Manusia. Kurang lebih sekitar 2 jam, Dyah Dwi Astuti, Kharunnisa, Gusti S Baltazhar dan Ruhaina Zulfiani.

Pengalaman Magang di LPSDN

Dyah Dwi Astuti yang magang di Lembaga Pengembangan Sumberdaya Nelayan (LPSDN) Lombok Timur menjelaskan bahwa LPDSN berfokus terhadap nelayan dan masyarakat pesisir yang ada di Pulau Lombok.

“LPSDN berfokus terhadap pemberlakuan awig-awig, pengembangan nelayan tangkap dan budidaya serta pemgembangan ekonomi masyarakat pesisir,” jelasnya.

Awig-awig menjadi salah satu langkah yang dilakukan oleh nelayan di Lombok Timur sebagai bentuk adaptasi perubahan iklim yang mengancam para nelayan.

“Karena adanya perubahan iklim, sehingga nelayan kesulitan memprediksi cuaca yang membuat nelayan juga semakin jauh untuk melaut,” terangnya.

Selanjutnya Kharunnisa yang juga peserta magang di LPSDN mengungkapkan pengalamannya selama magang di Lombok Timur. Ia menjelaskan jika implementasi dari awig-awig menguntungkan para nelayan dan ibu yang mengelola hasil laut.

“Penerapan awig-awig membuat pengelolaan sumber daya laut semakin tertata. Tidak ada lagi penebangan mangrove secara ilegal, penggunaan bom dan potasium juga sudah tidak dilakukan,” jelasnya.

“Ikan-ikan yang dahulu sulit ditemukan kini sudah mulai banyak muncul. Selain itu bagi ibu-ibu yang mengelola udang dan limbah cangkang juga semakin banyak,” lanjutnya.

Di akhir pemaparannya, Dyah Dwi Astuti dan Kharunnisa memberikan 3 rekomendasi yakni penguatan kearifan lokal melalui awig-awig yang terlindungi oleh payung hukum. Kedua perlu kebaruan payung hukum awig-awig serta terakhir dibutuhkan program pemberdayaan lanjutan kepada perempuan pelaku ekonomi.

Pengalaman Magang di Yayasan Tananua Flores

Ruhaina Zulfiani yang merupakan peserta magang di Yayasan Tananua Flores memaparkan jika Yayasan Tananua Flores yang didirikan pada 11 September 1985 memiliki fokus kepada penghidupan yang berkelanjutan dan pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan atas dasar kepedulian terhadap masyarakat di Sumba Timur dan NTT secara umum.

“Yayasan Tananua Flores didirikan sebagai bentuk keprihatinan dan kepedulian anak-anak bangsa terhadap kondisi kemiskinan dan degradasi lingkungan di daerah hulu Kabupaten Sumba Timur dan Provinsi Nusa Tenggara Timur,” jelasnya.

Ruhaina menjelaskan jika Gurita menjadi komoditi yang dikerjakan oleh Yayasan Tananua Flores karena potensi gurita yang ada sangat besar. Gurita memiliki pertumbuhan yang sangat cepat serta siklus hidupnya yang juga bereproduksi sepanjang tahun

“Gurita menjadi pintu masuk pengelolaan sumber daya laut dipilih Yayasan Tananua Flores lantaran gurita merupakan komoditas gurita ekspor urutan kelima,” tambahnya.

Gusti S Baltazhar menjelaskan LMMA (Locally Managed Marine Area) salah satu bentuk pengelolaan yang diterapkan di wilayah dampingan Yayasan Tananua Flores. Penerapan sistem tersebut agar pengelolaan sumberdaya laut dilakukan secara berkelanjutan dengan melibatkan masyarakat lokal.

“Sistem buka tutup gurita pertama kali dilakukan di Arubara pada bulan Agustus 2021 dengan lokasi penutupan seluas 7.5 hektar mulai dari Mau Panda sampai Tengumanu,” jelasnya.

Sistem buka tutup menjadi sistem yang sangat baik diterapkan oleh nelayan di dampingan Yayasan Tananua Flores. Namun nelayan Gurita juga tidak terlepas dari permasalahan.

“Rantai pemasaran gurita yang panjang sehingga harga jual gurita rendah. Selain itu penangkapan yang masih menggunakan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan seperti potasium, sianida dan potasium,” jelasnya.

LMMA tidak hanya mendampingi kelompok nelayan saja, tetapi juga mendampingi kelompok wanita nelayan di 3 site dampingan Yayasan Tananua Flores. Pertama Kelompok Perempuan 88 Arubara, Kelompok Perempuan Dasa Wisata dan Kelompok Mutiara Bunda.

“Kegiatan yang dilakukan oleh kelompok perempuan nelayan menjadi penambah penghasilan ataupun membantu kebutuhan pangan keluarga,” ungkap Ruhaina Zulfiani.

Rekomendasi juga turut dipaparkan oleh Gusti S Baltazhar dan Ruhaina Zulfiani dari hasil magangnya di Yayasan Tananua Flores. Pertama yakni perlu adanya upaya untuk menguatkan legalitas LMMA. Kedua adalah pentingnya membangun inisiatif dari nelayan untuk dapat mengelola wilayah pesisir secara berkelanjutan.

Selanjutnya adalah bekerjasama dengan berbagai stakeholder yang mampu mewujudkan rantai pemasaran yang lebih efektif. Terakhir adalah melalui Yayasan Tananua Flores diharapkan dapat menjembatani dan mengkoordinasikan desa satu dengan desa lain yang sedang menjalankan sistem buka tutup gurita.

 

Editor: Muhammad Riszky

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *