Perusahaan tambang nikel, PT Gema Kreasi Perdana (GKP) terancam tak dapat lagi melakukan kegiatan apapun, terutama pertambangan, di dalam kawasan hutan, di Kecamatan Wawonii Selatan, Kabupaten Konawe Kepulauan, Provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra).
Penyebabnya, Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) yang dipegang anak usaha Harita Group itu dibatalkan oleh Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta. Hal tersebut berdasarkan putusan Majelis Hakim PTUN Jakarta dalam perkara nomor 167/G/2023/PTUN.JKT, yang dibacakan pada Selasa (12/9/2023) kemarin.
Dalam amar putusannya, Majelis Hakim mengabulkan gugatan Penggugat untuk seluruhnya, menyatakan batal Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: SK.576/ Menhut-II/2014 tanggal 18 Juni 2014 tentang IPPKH untuk Kegiatan Operasi Produksi Bijih Nikel dan Sarana Penunjangnya pada Kawasan Hutan Produksi Terbatas dan Kawasan Hutan Produksi yang dapat Dikonversi atas nama PT Gema Kreasi Perdana, seluas 707,10 Ha, dan memerintahkan Tergugat (Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan) untuk mencabut keputusan tentang IPPKH itu.
“Menghukum Tergugat dan Tergugat II Intervensi (PT GKP) secara tanggung renteng/bersama-sama untuk membayar segala biaya yang timbul dalam perkara ini sebesar Rp707.000,” bunyi amar putusan, dikutip dari SIPP PTUN Jakarta.
Gugatan terhadap IPPKH PT GKP ini diajukan oleh Pani Arpandi, warga Wawonii, pada 18 April 2023 lalu. Dalam perkara ini, Menteri LHK menjadi pihak Tergugat dan PT GKP sebagai Tergugat II Intervensi.
Kepala Divisi Advokasi, Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), Muhammad Jamil mengatakan, dengan adanya putusan PTUN Jakarta ini, maka PT GKP dilarang untuk melakukan kegiatan apapun di dalam areal IPPKH. Jamil menjelaskan, meski ada upaya hukum yang mungkin akan ditempuh oleh pihak perusahaan, tetapi Majelis Hakim PTUN Jakarta juga menyatakan menunda pelaksanaan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: SK.576/ Menhut- II/2014, sampai adanya putusan yang berkekuatan hukum tetap.
“Yang menarik dalam putusan ini, selain membatalkan IPPKH, Majelis Hakim juga menunda pelaksanaan IPPKH. Artinya meskipun kasus ini belum inkracht tapi pelaksanaan IPKKH-nya ditunda. Sehingga kalau PT GKP masih melakukan kegiatan di dalam kawasan hutan, maka PT GKP melakukan perbuatan pidana kehutanan. Warga Wawonii harus segera bergerak dan bertindak untuk mengusir PT GKP yang beroperasi di kawasan hutan itu,” terang Jamil, Kamis (14/9/2023).
Jamil mewanti-wanti, agar aparat penegak hukum melakukan pengawasan terhadap perintah Majelis Hakim PTUN Jakarta itu. Dalam hal ini, Direktorat Jenderal (Ditjen) Penegakan Hukum (Gakkum) Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK), harus melakukan pengawasan terhadap kegiatan PT GKP di dalam kawasan hutan di areal IPPKH yang dibatalkan.
“Memastikan tidak terjadi pelanggaran kehutanan. Sedangkan di lapis kedua, kepolisian untuk pidana secara umum. Karena perintah PTUN Jakarta sudah jelas. Kepolisian jangan hanya berani menodongkan senjata kepada warga, harus berani juga kepada GKP. Kalau perlu alat berat PT GKP itu disingkirkan dulu dari kawasan hutan,” saran Jamil.
Terpisah Pani Arpandi, sebagai Penggugat, mengaku sangat berharap pihak-pihak terkait dalam putusan tersebut, khususnya Menteri LHK sebagai Tergugat, dapat dengan sukarela melaksanakan putusan tersebut. Hal yang sama juga ia harapkan terhadap PT GKP.
“Serta PT Gema Kreasi Perdana selaku Pihak Intervensi dalam perkara tersebut dapat dengan patuh melaksanakan isi putusan. Saya baru dapat info bahwa perusahaan masih melakukan kegiatan (di lokasi IPPKH),” kata Pani, Kamis (14/9/2023).
Pani mengungkapkan, menurut laporan warga, hingga Kamis (14/9/2023) siang atau dua hari setelah putusan PTUN Jakarta, PT GKP terindikasi masih saja melakukan kegiatan di dalam areal IPPKH. Terlihat dari adanya alat berat jenis ekskavator milik perusahaan yang masih masih beroperasi. Walaupun sebagian alat berat terpantau hanya terparkir di salah satu sudut lahan kawasan hutan yang sudah gundul.
Pani menjelaskan, tak ada alasan khusus di balik gugatan yang ia lakukan terhadap IPPKH PT GKP ini. Pani merasa gugatan tersebut sudah menjadi kewajiban warga Wawonii. Sebab menurut Pani, warga Wawonii tidak ingin kecewa di kemudian hari bila tidak berjuang secara maksimal. Mengingat sudah banyak upaya yang dilakukan warga untuk mengusir tambang nikel di pulau kecil itu.
“Termasuk gerakan-gerakan demonstrasi di provinsi maupun di daerah, sampai masyarakat dan teman-teman mahasiswa banyak dikriminalisasi pada saat itu, dan sebenarnya saya juga kecewa kepada pemerintah daerah yang tidak ada tindakan apapun dalam melihat kejadian tersebut. Seperti pencemaran lingkungan, penerobosan lahan yang dilakukan PT GKP dan lain-lain,” katanya.
Gugatan IPPKH PT GKP ini merupakan gugatan kedua yang dilakukan Pani Arpandi. Sebelumnya, Pani juga mengajukan judicial review Peraturan Daerah (Perda) Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Konawe Kepulauan, khususnya pasal terkait kawasan pertambangan di Wawonii, ke Mahkamah Agung (MA) dengan Nomor Perkara 14 P/HUM/2023. Permohonan judicial review itu dikabulkan oleh Majelis Hakim MA.
Jalan Panjang Perjuangan Wawonii Melawan Tambang
Meski gugatan terhadap IPPKH itu dikabulkan oleh PTUN Jakarta, dan judicial review pasal terkait pertambangan dalam Perda RTRW Konawe Kepulauan juga kabulkan MA, tapi perjuangan warga Wawonii belum selesai.
Sebab PT GKP sendiri juga mengajukan judicial review terhadap Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (UU PWP3K), yang telah diubah dengan UU Nomor 1 Tahun 2014, ke Mahkamah Konstitusi (MK) dengan perkara Nomor: 35/PUU-XXI/2023.
Anak usaha Harita Group tersebut menilai terdapat ambiguitas dalam Pasal 23 ayat (2) soal kata “prioritas” UU PWP3K. Selain itu, PT GKP juga mempersoalkan ketentuan dalam Pasal 35 huruf k UU PWP3K, khususnya terkait kata “apabila” yang semestinya dipahami bukan sebagai larangan mutlak untuk melakukan kegiatan pertambangan, namun alternatif yang dapat dilakukan selama memenuhi kondisi yang dipersyaratkan, yakni secara teknis, ekologis, sosial dan budaya tidak menimbulkan kerusakan lingkungan dan merugikan masyarakat sekitar.
Pada Selasa (12/9/2023) kemarin, sidang judicial review UU PWP3K itu digelar dengan agenda mendengar keterangan DPR, pemerintah, dan Pihak Terkait. Namun, pihak DPR belum siap untuk menyampaikan keterangannya.
Sedangkan dari pihak pemerintah, hadir mewakili Presiden RI yakni Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) dan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). Serta turut hadir Pihak Terkait yakni 28 masyarakat Wawonii yang diwakili oleh kuasa hukumnya Indrayana Centre for Government, Constitution, and Society (Integrity) Law Firm.
Menanggapi permohonan judicial review PT GKP itu, pihak KKP melalui Direktur Jenderal Pengelolaan Ruang Laut, Victor Gustaf Manoppo menyampaikan keterangan pemerintah, yang pada pokoknya mengatakan tidak ada sedikitpun kerugian konstitusional yang dialami oleh Pemohon atas berlakunya UU PWP3K.
Dalam keterangannya, pemerintah telah memberikan perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum. Pemohon juga telah mendapatkan perizinan yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan, sehingga serangkaian kepastian hukum telah diperoleh oleh Pemohon.
Agenda sidang dilanjutkan dengan penyampaian keterangan dari Pihak Terkait. Melalui kuasa hukumnya, masyarakat Wawonii memohon perhatian MK akan betapa berbahayanya Permohonan Pemohon jika sampai dikabulkan.
“Secara geografis Pulau Wawonii merupakan pulau kecil yang memiliki wilayah dan sumber daya yang terbatas, sehingga sangat rentan rusak apabila dilakukan kegiatan eksploitatif seperti pertambangan.
Sebagai contoh, Pulau Nipah yang berlokasi di Kepulauan Riau, hilang akibat penambangan pasir demi reklamasi pulau Singapura, hal mana yang menjadi salah satu pertimbangan utama diundangkannya UU PWP3K,” terang Harimuddin, dari Integrity Law Firm.
Harimuddin mengungkapkan, niat sebenarnya Pemohon mengajukan judicial review terhadap UU PWP3K adalah akibat hadirnya Putusan MA Nomor: 57 P/HUM/2022 yang membatalkan ketentuan ruang tambang dalam Perda RTRW Kabupaten Konawe Kepulauan.
Pemohon, masih kata Harimuddin, sejatinya berusaha mencoba menguji substansi Putusan MA terkait judicial review tersebut di MK. Atas dasar tersebut, Pihak Terkait menyatakan Pemohon tidak memiliki legal standing karena hal yang dipersoalkan oleh Pemohon adalah berkaitan dengan penerapan atau implementasi suatu undang-undang, bukan berkaitan dengan konstitusionalitas sebuah norma.
Terlepas dari persoalan judicial review di MK ini, masyarakat Wawonii juga sudah berurusan hukum dengan PT GKP di tempat lainnya. Selain permohonan judicial review terhadap Perda RTRW yang dikabulkan oleh MA, Pihak Terkait juga mengajukan gugatan terhadap Izin Tambang PT GKP di PTUN kendari, yang saat ini sedang dalam proses Kasasi di MA.
Dengan segala fakta hukum yang ada, maka tidak ada lagi dasar bagi PT GKP untuk melakukan kegiatan pertambangan di Pulau Wawonii. Dihadapkan pada kondisi tersebut, kerugian yang dialami masyarakat Wawonii atas kegiatan tambang PT GKP yang telah merusak lingkungan dan mencemari air tidak sebanding dan tidak akan pernah bisa dibandingkan dengan potensi kerugian PT GKP yang selalu digaungkannya akibat tidak bisa lagi menambang.
Pihak Terkait dan tentu masyarakat Wawonii lainnya berharap MK menolak atau setidak-tidaknya menyatakan Permohonan Pemohon tidak dapat diterima dengan mendasarkan segala fakta hukum yang ada dan menyelamatkan Pulau Wawonii, serta pulau-pulau kecil lainnya dari bahaya kegiatan eksploitatif tersebut.
Menurut data Minerba One Data Indonesia (MODI) Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM), PT GKP sendiri memegang dua Izin Usaha Pertambangan (IUP) Operasi Produksi yang keduanya berlokasi di Pulau Wawonii, Konawe Kepulauan. Bila ditotal, luas IUP Operasi Produksi PT GKP sebesar 1.808,9 hektare.
IUP Operasi Produksi pertama dengan nomor 83 Tahun 2010, dengan komoditas nikel, seluas 958 hektare. Izin itu berlaku mulai 10 Januari 2010 dan berakhir pada 14 November 2028. Sedangkan IUP Operasi Produksi kedua bernomor 949/DPMPTSP/XII/2019, juga komoditas nikel, dengan luas 850,90 hektare. Izin tersebut mulai berlaku sejak 14 November 2008 hingga 14 November 2028.
Masih berdasarkan data MODI, PT GKP dimiliki oleh PT Budhi Kemakmuran Jayaraya dengan persentase saham sebesar 99,99 persen, dan PT Citra Duta Jaya Makmur dengan saham sebesar 0,01 persen.
Betahita sudah mencoba meminta tanggapan kepada pihak PT GKP, termasuk mengenai indikasi perusahaan tersebut masih beroperasi di areal IPPKH. Namun sampai artikel ini selesai ditulis, tidak ada pernyataan resmi yang disampaikan oleh pihak manajemen PT GKP.
Foto Utama: Warga Wawonii berfoto di depan Pengadilan Tata Usaha Negeri (PTUN) Kendari, Sulawesi Tenggara (Foto: Dokumentasi Kuasa Hukum)
Artikel ini diterbitkan oleh Betahita.id. Baca artikel sumber.