Jaring Nusa: KTT AIS Harus Berikan Solusi Konkret Melindungi Penduduk Pesisir dan Pulau Kecil serta Atasi Dampak Perubahan Iklim

Jaring Nusa: KTT AIS Harus Berikan Solusi Konkret Melindungi Penduduk Pesisir dan Pulau Kecil serta Atasi Dampak Perubahan Iklim

Share on facebook
Share on twitter
Share on linkedin
Share on whatsapp

Para pemimpin 51 negara kepulauan yang tergabung dalam Archipelagic and Island States (AIS)  akan bertemu di Bali dan menggelar pertemuan KTT AIS atau AIS Forum pada tanggal 10-11 Oktober 2023. AIS Forum merupakan wadah negara-negara pulau dan kepulauan sejak 2018, yang awalnya di inisiasi melalui Manado Joint Declaration, atas inisiatif Indonesia bekerja sama dengan United Nations Development Programme (UNDP). 

Seperti di informasikan bahwa AIS Forum ini dibentuk untuk mendorong kolaborasi antar negara pulau dan kepulauan di seluruh dunia untuk bersama-sama mengatasi tantangan dan permasalahan global yang dihadapi, khususnya pada sektor pembangunan kelautan dan mitigasi perubahan iklim,  penanggulangan pencemaran di laut serta tata kelola maritim.

Untuk konteks Indonesia, dampak perubahan iklim telah dirasakan dan menjadi ancaman serius saat ini dan masa mendatang. Sebagai salah satu negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari 17.508 pulau dengan garis pantai sepanjang 81.000 km2, Indonesia rentan terdampak bencana iklim. 

Kerentanan ini dapat dilihat di berbagai wilayah pesisir Indonesia yang telah mengalami dampak seperti abrasi, intrusi air laut, cuaca ekstrim, pemanasan serta kenaikan muka  air laut yang cukup signifikan.

Namun selain dampak perubahan iklim, kerentanan pesisir dan pulau kecil Indonesia juga disebabkan oleh berbagai faktor dinamis yang mempengaruhi wilayah pesisir, laut dan pulau kecil seperti faktor kebijakan pembangunan nasional dan daerah yang tidak memperhatikan daya dukung lingkungan.

Masyarakat serta ekosistem pulau-pulau kecil termasuk juga wilayah pesisir pulau besar, telah  menghadapi berbagai ancaman dan degradasi baik dari aspek ekologi, pengaruh krisis iklim,  berubahnya musim penangkapan ikan, hilangnya lahan penduduk di daerah pesisir karena abrasi, konflik agraria, konflik ruang termasuk konflik wilayah tangkap nelayan.

Kerentanan Pesisir dan Pulau Kecil

Nirwan Dessibali, Direktur Eksekutif Yayasan Konservasi Laut (YKL) Indonesia menyampaikan, pesisir dan pulau-pulau kecil adalah wilayah yang paling rentang terhadap ancaman nyata dari dampak perubahan iklim.

Dampaknya kini telah dirasakan di berbagai wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil di Indonesia. Bahkan tak sedikit negara-negara kepulauan di dunia turut merasakan.

“Perubahan iklim dan laut memiliki keterkaitan yang sangat besar, ini adalah tantangan global yang harus dihadapi secara bersama-sama. Negara-negara kepulauan dan negara-negara pulau kecil harus berkolaborasi menghadirkan solusi bersama,” jelas Nirwan.

Hasil studi Climate Central bertajuk “365 Days on a Warming Planet” yang dirilis Oktober 2022 lalu menunjukkan tren dan peringkat global berdasarkan peristiwa suhu penting pada 2021-2022, menggunakan alat berbasis peta visualisasi skor Indeks Pergeseran Iklim harian untuk 1.021 kota di seluruh dunia.

“Ini kabar yang memprihatinkan bahwa dalam laporan tersebut berbagai wilayah di Indonesia mengalami pergeseran iklim tinggi. Contohnya, Kota Makassar yang tertinggi di Indonesia yang bahkan masuk 14 besar dunia dengan jumlah 279 hari pergeseran iklim,”  ungkap Nirwan.

“Indeks pergeseran iklim harian di Kota Makassar tercatat sebesar 3,8, yang berarti anomali suhu pada hari tersebut setidaknya tiga kali lebih mungkin terjadi karena dampak perubahan iklim yang disebabkan manusia. Ini harus mendapat perhatian yang serius,” jelasnya.

Lebih jauh Nirwan berharap para pemimpin dunia negara kepulauan untuk mendorong  pembelajaran local to global dan global to local. Mekanisme lokal dan tradisional untuk menghadapi perubahan sejak lama dilakukan oleh masyarakat pesisir dan pulau kecil sebagai bentuk adaptasi dan mitigasi terhadap perubahan.

“Cara-cara tradisional ini terbukti ampuh membangun resiliensi masyarakat seiring perubahan dan gangguan dari beberapa dekade, walau mulai tereduksi oleh banyak sebab,” kata Nirwan.

Aksi yang dilakukan oleh WALHI Sulawesi Selatan di Perairan Spermonde menolak aturan PP Pengelolaan Hasil Sedimen di Laut (Foto: WALHI Sulsel)

Mengancam Kehidupan Masyarakat

Sementara itu Muhammad Yusuf Sangaji, Direktur Jala Ina, Maluku, menjelaskan jika masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil adalah kelompok paling terdampak krisis iklim. 

“Mereka kehilangan ruang penghidupan karena krisis iklim yang kian buruk. Nelayan kesulitan menangkap ikan. Meningkatnya suhu air laut membuat ikan-ikan mencari tempat yang lebih dingin di laut dalam,” ungkapnya.

Lebih lanjut terkait penghidupan masyarakat pulau, Yusuf mengungkap petani pala, cengkeh di kepulauan Maluku kebingungan karena iklim yang tak menentu dan hasil panen yang tak seberapa. Padahal, komoditi ini adalah sumber penghidupan utama masyarakat.

“Sudah saatnya pemerintah Indonesia dan pemerintah negara-negara kepulauan untuk mengembalikan ruang penghidupan masyarakat pesisir dan pulau kecil dengan membuat regulasi yang berbasis kepulauan,” tegasnya. 

Selain itu ia juga mendorong pentingnya aturan yang mendorong dan mendukung diterapkannya kembali aturan-aturan adat serta mengoptimalkan peran masyarakat pesisir dan pulau kecil. Pelibatan masyarakat dan penerapan regulasi yang disesuaikan dengan kondisi wilayah merupakan instrumen yang tepat untuk melawan krisis iklim,

Dari aspek sosial ekonomi menurunnya pendapatan masyarakat pesisir serta terancamnya ketahanan pangan masyarakat pulau kecil disebabkan pula oleh kerusakan lingkungan dan pencemaran.

Ditambah dengan persoalan kebijakan dan tata kelola perikanan yang tidak pro nelayan kecil semakin membebani masyarakat pesisir. Problem lainnya berujung pada kemiskinan struktural dimana ini menjadi paradoks bahwa wilayah pesisir pulau kecil kaya sumber daya alam dan keanekaragaman hayati laut yang sangat tinggi.

Civic Protection Humanitarian Aid – EU melansir bahwa setiap tahun, jutaan orang terpaksa meninggalkan rumah mereka karena konflik, kekerasan, pelanggaran hak asasi manusia, penganiayaan, bencana dan dampak perubahan iklim.

Jumlah pengungsi paksa terus meningkat pada tahun 2022, sehingga memerlukan peningkatan bantuan kemanusiaan. Pada akhir tahun 2022, 108,4 juta orang menjadi pengungsi di seluruh dunia.

Terkait perubahan iklim, Badan PBB untuk Anak-anak, UNICEF, merilis data bahwa dalam kurun 2016-2021 bencana alam dan cuaca ekstrem yang dipicu oleh perubahan iklim mulai dari banjir hingga kekeringan, badai hingga kebakaran hutan, dan telah membuat 43,1 juta anak di dunia terpaksa mengungsi.

Sebuah rumah yang ditinggalkan penghuninya setelah bertahun-tahun terus tenggelam karena pasang air laut di Tambakharjo (Raditya Mahendra Yasa/Kompas)

Mempertanyakan Komitmen Indonesia

Di Indonesia, sebagai negara kepulauan terdapat lebih dari 12.000 desa pesisir yang terancam secara langsung dampak perubahan iklim dan ratusan pulau kecil terancam tenggelam.

Namun selain risiko yang dihadapi terkait perubahan iklim, dengan model pembangunan di wilayah pesisir  yang mengabaikan hak-hak masyarakat maka akan  menambah risiko terjadinya pengungsi. Penduduk yang harus dipaksa mengungsi karena proyek pembangunan yang tidak adil.

Jaring Nusa menyerukan kepada para pimpinan negara-negara kepulauan untuk sungguh-sungguh mengantisipasi dampak perubahan iklim dalam jangka panjang.  Ancaman perpindahan penduduk secara paksa akibat dampak perubahan iklim berpotensi semakin meluas.

Selain karena dampak perubahan iklim, negara-negara kepulauan harus berkomitmen dan memulai langkah-langkah konkrit untuk mencegah pembangunan yang tidak adil dan melanggar HAM dengan cara menggusur masyarakat pulau kecil dari ruang hidup mereka.

Contoh kasus di Indonesia terkait upaya paksa memindahkan warga dari ruang hidupnya bisa dilihat pada kasus ekspansi tambang nikel di pulau Wawonii, pulau Sangihe serta baru-baru ini kasus Rempang dimana penduduk pulau Rempang di represif  dan terancam dipindahkan dari ruang hidup mereka karena adanya proyek ambisius yakni pembangunan Eco City dan pabrik kaca.

Negara-negara kepulauan harus memastikan adanya kebijakan oleh negara-negara anggotanya terhadap perlindungan wilayah pesisir laut dan pulau kecil. Serta menghormati, mengadopsi, mengakui, kearifan lokal masyarakat pesisir pulau kecil di wilayah masing-masing.

Masyarakat adat di Malaumkarta, Sorong mengadakan festival egek (Foto: Econusa)

Negara-negara kepulauan harus memastikan keikutsertaan masyarakat dalam pengambilan keputusan dan kebijakan mengatasi dampak perubahan iklim maupun tata kelola sumber daya pesisir dan laut.

Perubahan iklim yang telah dirasakan saat ini khususnya oleh negara-negara kepulauan tidak hanya mengancam ruang hidup dan kehidupan penduduk pada wilayah pesisir dan pulau kecil namun juga mengancam kedaulatan negara. Harus ada langkah konkret untuk mengatasi kenaikan permukaan air laut yang diprediksi akan semakin parah pada 2050.

Parid Ridwanuddin, Pengkampanye Pesisir dan Pulau Kecil WALHI, menegaskan bahwa KTT AIS ini tidak akan memiliki dampak apa-apa jika pemerintah Indonesia tidak mengevaluasi.

Selain itu juga ia menyerukan untuk menghentikan berbagai proyek yang mempercepat kerusakan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil di Indonesia, seperti pertambangan nikel, pertambangan pasir laut, dan proyek reklamasi di berbagai wilayah di Indonesia.

“KTT AIS hanya akan menjadi pertemuan seremonial semata jika pemerintah Indonesia tidak mengevaluasi dan menghentikan proyek predatoris yang menghancurkan pesisir dan pulau-pulau kecil,” kata Parid.

Lebih jauh, Parid mendesak pemerintah Indonesia menjadikan perlindungan pesisir dan pulau kecil sebagai agenda utama dalam pembangunan jangka panjang mengingat Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia. Tanpa ini, sekali lagi, KTT AIS adalah pertemuan yang tidak bermakna sama sekali.

Jaring Nusa menyerukan kepada pemimpin negara-negara yang tergabung dalam AIS Forum untuk melakukan evaluasi dan memastikan anggotanya menghentikan proyek-proyek yang berkontribusi langsung memperparah kondisi pesisir, laut, dan pulau kecil.

Mitigasi dan adaptasi perubahan iklim tidak akan terwujud tanpa ada koreksi terhadap model pembangunan pesisir yang lebih mementingkan investasi, infrastruktur dan income serta mengabaikan hak ekonomi, sosial dan budaya masyarakat pesisir pulau kecil.

Asmar Exwar, Dinamisator Jaring Nusa mengatakan tujuan utama AIS Forum memperkuat kolaborasi dalam mengatasi permasalahan global khususnya dampak perubahan iklim tentunya diapresiasi. 

Namun pertemuan ini tidak akan berarti apa-apa tanpa adanya upaya konkrit memastikan negara-negara anggotanya melindungi masyarakat beserta wilayah pesisir, laut dan pulau kecil dari berbagai ancaman nyata saat ini dan kedepan.

“Tidak hanya mengatasi dampak perubahan iklim tapi juga mengoreksi kebijakan pembangunan dan menghentikan tekanan dinamis proyek-proyek yang mengancam secara langsung ruang hidup masyarakat serta ekosistem pesisir, laut dan pulau kecil,” terangnya.

Lebih lanjut Asmar menegaskan bahwa jika secara khusus sebagai negara kepulauan yang rentan terhadap dampak perubahan iklim, pemerintah Indonesia  harus memastikan pembangunan wilayah yang lebih adil dan berkelanjutan. 

“Pemerintah memiliki pekerjaan rumah untuk segera merampungkan undang-undang kepulauan serta undang-undang keadilan iklim,” tegasnya.

Saatnya negara-negara kepulauan untuk menghentikan laju industri ekstraktif yang berkontribusi  besar terhadap kenaikan gas rumah kaca dan terbukti memperparah degradasi ekosistem pesisir, laut dan pulau kecil serta mengancam keselamatan masyarakat serta kedaulatan negara kepulauan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *