Mengenal Ekonomi Biru, Prinsipnya yang Alami dan Lokal

Mengenal Ekonomi Biru, Prinsipnya yang Alami dan Lokal

Share on facebook
Share on twitter
Share on linkedin
Share on whatsapp

Ekonomi biru digadang-gadang pemerintah sebagai kerangka kerja yang dapat menuntaskan permasalahan dalam tata kelola sektor kelautan dan perikanan Indonesia. Ekonomi Biru (Blue Economy) adalah sebuah konsep ekonomi yang mencoba untuk membangun sistem ekonomi yang berkelanjutan dan berdasarkan pada prinsip-prinsip alami dan lokal. Konsep ini dikembangkan oleh Gunter Pauli pada tahun 2010 melalui bukunya berjudul “Blue Economy-10 Years, 100 Innovations, 100 Million Jobs”.

Pauli menguraikan perbedaan cara pandang dan bekerjanya red, green dan blue economy. Ekonomi merah (red economy) yang sebelumnya dominan menjadi cara pandang ekonomi manusia dengan pandangan antroposentris dan berfokus pada eksploitasi sumber daya tanpa pertimbangan hubungan timbal balik kepada alam, dinilai sebagai penyebab kebangkrutan, krisis, dan kerusakan dunia saat ini.

Sebaliknya, ekonomi hijau (green economy) membutuhkan investasi lebih banyak dari perusahaan dan pembayaran lebih tinggi dari konsumen untuk menghasilkan
produk yang ramah lingkungan, namun terkadang sulit diimplementasikan pada masa krisis dan dirasa mahal serta eksklusif.

Meskipun upaya perlindungan lingkungan dari ekonomi hijau berusaha melakukan upaya terpuji, tetapi tidak dapat menjamin keberlanjutan.

Perbedaan mengenai red economy, green economy dan blue economy (Gunter Pauli).

Ekonomi biru hadir berbeda dari ekonomi merah dan hijau. Perbedaan yang paling mendasar dapat terlihat dari bagaimana konsep ekonomi merah fokus pada pengambilan sumber daya alam dan menghabisi lingkungan; ekonomi hijau yang memusatkan perhatiannya pada energi alternatif dan lingkungan yang berkelanjutan namun mahal dan eksklusif.

Gunter Pauli menyatakan bahwa konsep ekonomi biru, lebih maju dari gagasan merah dan ekonomi hijau karena sepenuhnya ekonomi biru lebih bersifat ramah lingkungan dan bertujuan untuk mentransformasikan sistem ekonomi secara menyeluruh.

Bekerjanya konsep ekonomi biru akan menciptakan kesempatan kerja di masa datang, makin meluasnya modal sosial, serta ekonomi dan kehidupan masyarakat menuju ke arah yang berkelanjutan. Awal mula ekonomi biru bukan sekadar membahas pemanfaatan sumber daya laut secara berkelanjutan.

Konsep ini pada mulanya lebih menyoroti pentingnya transisi sumber energi bersih terbarukan, serta menciptakan alternatif ekonomi yang adil dan berkelanjutan secara keseluruhan.

Secara definisi tegas Gunter Pauli menyampaikan “this definition makes it clear that the Blue Economy must respect ecosystem integrity, and that only secure pathway to long-term prosperity is through the development of a circular economy” atau diartikan “definisi ini memperjelas bahwa Ekonomi Biru harus menghormati integritas ekosistem, dan satu-satunya jalan yang aman menuju kemakmuran jangka panjang adalah melalui pengembangan ekonomi sirkular”.

Ekonomi biru mengambil inspirasi dari alam dan memanfaatkan sumber daya alam secara efektif dalam kesatuan ekosistem alami dengan upaya regeneratif sehingga sumber daya tetap terjaga dalam kelimpahan. Ekonomi biru menciptakan nilai tambah melalui keterlibatan aktif dalam siklus alami sumber daya yang terhubung dalam sebagai simbiosis.

Contohnya, limbah yang dihasilkan dapat dimanfaatkan sebagai sumber daya yang bernilai dan diubah menjadi produk atau layanan yang memberikan manfaat kembali bagi masyarakat.

Tujuan utamanya adalah untuk memperkuat sistem ekonomi lokal dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat (otonomi), menekan dampak negatif terhadap lingkungan dan sumber daya alam. Gunter Pauli menegaskan bahwa akhir konsep ekonomi biru berujung pada keberadaan lautan dan langit yang biru cerah.

Meskipun masyarakat memiliki banyak sumber daya alam, mereka juga memiliki tanggung jawab untuk menjaga keindahan lautan dan langit, terutama untuk dimanfaatkan secara berkelanjutan.

 

Sumber: Kertas Kebijakan “Rambu-Rambu Kebijakan Ekonomi Biru di Indonesia” yang diterbitkan Transparency International Indonesia.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *