Perlindungan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau Kecil Melalui Kearifan Lokal, Jaring Nusa Gelar Webinar

Perlindungan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau Kecil Melalui Kearifan Lokal, Jaring Nusa Gelar Webinar

Share on facebook
Share on twitter
Share on linkedin
Share on whatsapp

Jaring Nusa kembali menggelar webinar pada Senin (11/04/2022). Webinar kali ini membahas mengenai mengenai penguatan budaya bahari, mempertegas jati diri masyarakat pesisir dan pulau kecil. Webinar ini menghadirkan 5 narasumber dari unsur pemerintahan, akademisi dan komunitas lokal.

Pembangunan dan pengelolaan wilayah pesisir pulau kecil seringkali mengorbankan tradisi atau kearifan lokal yang melekat pada masyarakat. Aspek kebudayaan dalam konteks maritim negara kepulauan haruslah ditempatkan pada posisi yang strategis.

Sebagai bagian dari jati diri bangsa dimana masyarakat pesisir dan pulau kecil telah secara turun temurun mempraktekkan nilai dan kearifan tradisional dalam mengelola sumber daya dan ruang hidup mereka.

Menjamin dan Melindungi Masyarakat Pesisir dan Pulau Kecil

Moh. Ismail selaku Koordinator kelompok Masyarakat Hukum Adat Dirjen PRL, KKP menjelaskan Indonesia sebagai negara maritim memiliki banyak kebudayaan. Sehingga banyaknya kebudayaan tersebut tentu membawa dinamika tersendiri di tiap daerah.

Terdapat berbagai aturan untuk menjamin masyarakat di wilayah pesisir dan pulau kecil. Dalam perpres no 53/2021 mengenai rencana aksi nasional Hak Asasi Manusia Tahun 2021-2025 telah menetapkan stategis pelaksanaan penghormatan, perlindungan, pemenuhan, penegakan, dan pemajuan HAM terhadap Masyarakat Hukum Adat.

“Kita telah memiliki beragam aturan untuk menghormati dan melindungi masyarakat hukum adat, lokal dan tradisional di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Mulai dari UUD, Undang-undang, peraturan presiden hingga peraturan turunannya,” terang Moh. Ismail.

KKP sendiri memiliki fasilitas dalam perlindungan masyarakat hukum adat di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. KKP telah memfasilitasi kurang lebih sebanyak 32 masyarakat adat dan lokal untuk dilakukan pendampingan sesuai dengan kebutuhan masyarakat.

“Kami telah memfasilitasi banyak daerah terkait pengakuan masyarakat adat. 18 diantaranya telah keluar melalui peraturan Bupati/Walikota tentang masyarakat hukum adat di 5 provinsi,” jelasnya.

Sementara itu Sjamsul Hadi selaku Direktur Kepercayaan terhadap Tuhan YME dan Masyarakat Adat Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi memaparkan jika Indonesia memiliki kekayaan sumber daya alam yang sangat melimpah. Sehingga diperlukan identifikasi wilayah pesisir dan pulau kecil.

“Pemenuhan hak berbudaya masyarakat adat untuk memajukan kebudayaan melalui perlindungan, pemanfaatan, pengembangan dan pembinaan. Ada beberapa pengetahuan di daerah yang belum di transfer ke publik sehingga hal itu yang menjadi upaya kementerian untuk memajukan kebudayaan,” uangkapnya.

Masyarakat sebagai aktor utama dalam pengelolaan sumber daya alam pada daerah kelolanya. Mulai dari membuat kebijakan, memutuskan dan membuat implementatif praktek di lapangan. Kearifan lokal turut mendorong pengelolaan SDA berbasis masyarakat.

“Dalam rangka penguatan sumber daya maka kuncinya adalah penguatan kearifan lokal. Ketahanan, kesetaraan yang berorientasi pada keberlanjutan dan kemakmuran yang saat ini kami dari Kementerian terus kerjakan pada masyarakat,” jelasnya.

Inisiatif Lokal Dari Timur Indonesia

Praktik-praktik inisiatif lokal masyarakat dalam menjaga dan melestarikan kearifan lokal saat ini terus digalakkan di beberapa daerah di Indonesia. Praktik kebudayaan tradisional dalam menjaga laut dan harmonisasi kehidupan di pesisir dan pulau kecil dijalankan oleh masyarakat di timur Indonesia.

Jefri Mobalaen sebagai Kepala Kampung turut memberikan pembelajaran budaya bahari melalui masyarakat di Malaumkarta, Papua Barat. Sasi menjadi aturan lokal di Malaumkarta telah diterapkan sejak turun-temurun.

“Egek atau sasi bukan hanya bicara aturan laut dan potensi tetapi aturan egek yang sudah turun-temurun untuk menetapkan kawasan seperti dusun serta kehidupan masyarakat,” terangnya.

“Egek menjadi sarana konservasi lokal yang dilakukan masyarakat adat. Adanya penerapan egek ini menjadi perlindungan masyarakat dalam mengelola sumber daya alamnya,” lanjutnya.

Malaumkarta memiliki banyak potensi sumber daya alam sehingga egek diperlukan untuk melindungi dan memaksimalkan pengelolaan sumber daya alam. Terutama dalam hal pengelolaan sumber daya di wilayah laut.

“Sistem penangkapan masyarakat melalui egek melindungi sumber daya laut. Masyarakat juga menggunakan alat tangkap tradisional dan menerapkan sistem buka tutup yang masuk wilayah egek,” jelasnya.

O. Z. S. Tiharua dari Yayasan Jala Ina Maluku menjelaskan jika masyarakat kepulauan maluku memiliki 3 karakteristik pulau. Diantaranya sebagai pulau kecil, pulau lebih kecil dan pulau sangat kecil. Penggunaan nama wilayah oleh masyarakat Maluku disebut sebagai negeri.

“Masyarakat Maluku menggunakan kata negeri untuk mengganti penyebutan desa melalui Perda Provinsi Maluku Nomor 14 tahun 2005. Pengembalian nama ini memberikan gambaran jika pemerintah mendukung kearifan lokal yang ada di masyarakat,” ungkapnya.

Sementara itu terkait dengan wilayah masyarakat adat masih terdapat beberapa masalah. Menurutnya, masyarakat adat hidup dalam situasi yang tidak stabil terutama batas wilayahnya.

“Terdapat tumpang tindih batas kepemilikan dan pemanfaatan wilayah adat. Pemahaman yang berbeda mengenai ruang hidup masyarakat sehingga perlu adanya aturan yang tegas agar masyarakat mengetahui batas ruang kelolanya,” jelasnya.

“Sehingga Yayasan Jala Ina turut mendampingi warga dalam pembuatan peraturan negeri. Salah satunya di daerah Kabauw,” tambahnya.

Tradisi Bahari di Ambang Kepunahan

Tradisi sebagai penanda jati diri komunitas yang dihubungkan dengan alam. Sehingga penting menjaga tradisi sebagai nilai-nilai orisinil pada masyarakat di pesisir dan pulau kecil.

Namun tradisi masyarakat juga mendapat tantangan dari perkembangan teknologi dan inovasi alat tangkap. Hal tersebut turut dihadapi masyarakat di Kepulauan Sangihe.

Alex Jhon sebagai pemerhati sejarah dan budaya bahari menjelaskan jika tradisi bahari di ambang kepunahan merujuk tradisi maneke’ di Kepulauan Sangihe, Sulawesi Utara.

Tradisi maneke’ merupakan aktivitas menangkap ikan dengan peralatan tradisional yang dilakukan secara massal dan terorganisir. Pandihe menjadi alat tangkap utama dalam tradisi maneke’ yang terbuat dari bambu halus dan rotan.

“Pendukung tradisi bahari di Nusantara saat ini terus mengalami pengurangan. Di Kepulauan Sangihe tradisi maneke’ yang dulunya diterapkan oleh masyarakat Sangihe namun saat ini perlahan mulai beralih metode tangkapnya,” jelasnya.

 

Penulis: Muhammad Riszky

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *