Bertepatan dengan Hari Bumi Internasional pada tanggal 22 April 2024 bertempat di Gedung Serbaguna Desa Tompotanah, Kecamatan Kepulauan Tanakeke, Kabupaten Takalar.
Dua unit Kelompok Masyarakat Pengawas (POKMASWAS) di Kepulauan Tanakeke dikukuhkan oleh DKP Provinsi Sulawesi Selatan sebagai perpanjangan tangan upaya patroli dan monitoring pemanfaatan sumberdaya pesisir dan laut di Kepulauan Tanakeke.
Keduanya adalah POKMASWAS Barracuda Desa Tompotanah dan POKMASWAS Mamminasa’ Baji Desa Minasa Baji. Mereka diharapkan dapat menjalankan fungsi-fungsi pengawasan dan perlindungan sumberdaya pesisir dan pulau kecil di Tanakeke.
Kehadiran kedua Pokmaswas ini menjadi angin segar bagi pihak yang berwenang karena dapat menjembatani kehadiran negara dan pemerintah dalam upaya perlindungan dan pengawasan. Dalam menjalankan perannya, Pokmaswas tentunya akan bersinergi dan bekerja bersama dengan berbagai pihak antara lain, Pemerintah Desa se-Kecamatan Kepulauan Tanakeke, pemerintah kecamatan bersinergi dengan Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Provinsi Sulawesi Selatan dan Cabang Dinas Kelautan (CDK) Mamminasata.
Pulau Tanakeke merupakan pulau terluas di gugusan Kepulauan Sangkarang yang secara administrasi resmi menjadi kecamatan baru di Kabupaten Takalar setelah ditetapkan melalui Perda nomor 3 tahun 2019. Pulau ini memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi seperti kawasan ekosistem mangrove, lamun dan terumbu karang.
Selain mencari ikan, masyarakat pulau Tanakeke banyak memanfaatkan wilayah perairan untuk usaha budidaya rumput laut yang memiliki nilai ekonomi tinggi saat ini. Ekosistem mangrove seluas 1.437 Ha juga banyak dimanfaatkan sebagai kayu bakar untuk kebutuhan rumah tangga dan patok rumput laut.
Sebagai upaya untuk menjaga keberlangsungan ekosistem pesisir yang terdapat di kecamatan Kepulauan Tanakeke, beberapa tahun lalu, masyarakat bersama seluruh pemerintah desa telah menyusun Peraturan Desa (Perdes) bersama untuk memelihara dan memanfaatkan ekosistem pesisir secara berkelanjutan. Peraturan ini menyeimbangkan antara kepentingan perlindungan dan pemanfaatan secara berkelanjutan termasuk pemanfaatan kayu mangrove.
Meskipun demikian, praktek pemanfaatan kayu melalui penebangan berlebih tanpa mempertimbangkan keseimbangan ekosistem masih terjadi terutama untuk usaha arang mangrove. Pengawasan dan pengendalian aktivitas lainnya yang berpotensi merusak dan menurunkan kualitas lingkungan pesisir dan laut juga diperlukan di Tanakeke antara lain pembukaan kembali area mangrove untuk lahan tambak, ilegal fishing, dan penggalian areal pesisir untuk mengambil batu karang.
Menyadari hal ini, masyarakat dan pemerintah desa di Kepulauan Tanakeke bersama dengan beberapa pihak akan pentingnya kelembagaan lokal yang bersinergi dengan aparat terkait untuk fungsi pengawasan ini. Untuk itulah Kelompok Masyarakat Pengawas (POKMASWAS) Pulau Tanakeke dibentuk sebagai upaya pengawasan dan meminimalisir kerusakan ekosistem pesisir.
Untuk menjalankan fungsinya, anggota Pokmaswas akan dibekali dan diperkuat kapasitasnya melalui pelatihan dan kegiatan peningkatan kapasitas lainnya baik itu pemahaman terkait kebijakan dan aturan, teknis patroli, pengawasan, dan monitoring serta bagaimana bersinergi dan berkolaborasi dengan berbagai pihak yang berwenang dalam menjalankan pengawasan dan pengelolaan pesisir.
Sambutan pertama oleh Kepala Desa Tompotanah, Awaluddin yang mengapresiasi sinergi antara berbagai pihak dalam memberikan dukungan dan kontribusi dalam melindungi lingkungan mangrove dan laut di wilayah Tanakeke.
Kegiatan ini mencakup peningkatan pengawasan dan patroli oleh Pokmaswas untuk mencegah aktivitas ilegal yang dapat merusak ekosistem, seperti penangkapan ikan menggunakan alat yang merusak dan penebangan hutan mangrove.
Ibu Deasi Ariany Amin (Bidang Pengawasan), perwakilan Dinas Kelautan dan Perikanan menjelaskan pentingnya peran Pokmaswas dalam upaya penyadaran hukum bagi masyarakat.
“Pokmaswas dapat melakukan pengawasan karena telah memperoleh legalitas secara hukum dan terlindungi setelah penandatanganan Surat Keputusan (SK). Harapan kedepannya, Pokmaswas dapat membantu pemerintah dalam upaya penyadaran hukum dengan menggunakan prinsip 3M (melihat atau mendengar, mencatat dan melaporkan),” ujarnya.
Selain itu dalam sambutannya ia juga menyampaikan dengan adanya sinergitas ini menjadi langkah positif untuk melibatkan kolaborasi antara kelompok masyarakat, pemerintah desa, dan instansi terkait seperti Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Sulawesi Selatan dalam upaya perlindungan ekosistem mangrove dan laut di wilayah Tanakeke. Beberapa hal yang bisa dilakukan dalam kerangka kolaborasi tersebut antara lain:
- Peningkatan Pengawasan dan Patroli, Melalui kegiatan yang melibatkan Pokmaswas, dapat ditingkatkan pengawasan dan patroli di wilayah pesisir untuk mencegah aktivitas ilegal yang merusak ekosistem.
- Mengedukasi masyarakat tentang pentingnya menjaga lingkungan mangrove dan laut serta dampak negatif dari aktivitas ilegal seperti penangkapan ikan yang merusak atau penebangan mangrove.
- Mendorong partisipasi aktif masyarakat dalam upaya perlindungan lingkungan dengan melibatkan mereka dalam kegiatan pengawasan dan melaporkan kegiatan yang mencurigakan.
- Pemberdayaan Masyarakat, seperti Pokmaswas untuk menjadi garda terdepan dalam melindungi ekosistem pesisir, serta memberikan pelatihan dan peralatan yang diperlukan untuk melaksanakan tugas mereka.
- Serta Koordinasi antar Pihak Terkait antara kelompok masyarakat, pemerintah desa, dan instansi terkait dalam merumuskan strategi perlindungan lingkungan yang efektif dan berkelanjutan.
Sementara itu, Ketua Pokmaswas Minasa Baji, Fadli, menyampaikan kekhawatirannya terkait tindakan tegas yang diperlukan terhadap pelaku penebangan mangrove untuk dijadikan arang. Dalam hal ini Ahmad Zaenal, Perwakilan Cabang Dinas Kelautan Mamminasata menegaskan bahwa faktor keseimbangan lingkungan merupakan faktor yang penting.
“Jangan berlindung dibalik kata penggunaan atau pemanfaatan yang tidak ada habisnya. Boleh saja melakukan penebangan jika memang pelaku sebagai pemilik lahan dan juga yang melakukan penanaman tersendiri tetapi tentu perlu memperhatikan kepentingan lingkungan,” jelasnya.
Direktur Yayasan Hutan Biru, Rio Ahmad, menambahkan, saat ini laju kerusakan mangrove di Kepulauan Tanakeke lebih cepat daripada laju pertumbuhannya karena dampak dari pemanfaatan tidak berkelanjutan yang terjadi saat ini. Perlu sinergi multi pihak untuk mengendalikan kerusakan ekosistem pesisir dan laut di Kepulauan Tanakeke.
“Upaya pengelolaan mangrove dan wilayah perairan harus difokuskan pada upaya memulihkan ekosistem yang rusak dan melindungi yang masih dalam kondisi yang baik dengan mempertimbangkan aspek sosial, ekonomi, dan ekologi,”terangnya.
Dengan adanya kerja sama yang baik antara semua pihak yang terlibat, diharapkan dapat menciptakan lingkungan yang lebih baik dan berkelanjutan bagi Tanakeke serta memperkuat kesadaran akan pentingnya menjaga ekosistem mangrove dan laut bagi kesejahteraan masyarakat setempat.