Jaring Nusa kembali menggelar webinar dengan mengangkat tema pemanfaatan dan perlindungan pulau-pulau kecil di Indonesia. Webinar ini diselenggarakan pada Kamis (26/01/2023).
Pengelolaan dan pemanfaatan pulau sesungguhnya konteks pengaturannya telah ada. Namun demikian, bagaimana peranan pemerintah baik di pusat dan daerah untuk lebih proaktif dan antisipatif di dalam menjaga dan sekaligus melestarikan pulau-pulau kecil dan terluar.
Urgensi Perlindungan Pulau Kecil
Jumlah Pulau di Indonesia sebanyak 17.504 pulau yang membentang dari Sabang sampai Merauke dan sudah dibakukan serta submisi ke PBB sejumlah 16.056 Pulau Pengelolaan pulau-pulau kecil memiliki regulasi mengenai perizinan pemanfaatan ruang dari perairan pesisir dan pemanfaatan pulau kecil.
Helyus Komar, Bidang Keamanan dan Ketahanan Wilayah PPK, Asdep Keamanan dan Ketahanan Maritim Kemenkomarves mengungkap jika telah terdapat kebijakan Keputusan Menteri (Kepmen KP) No.51 Tahun 2016 tentang Penetapan Lokasi Pembangunan SKPT di Pulau-Pulau Kecil dan Kawasan Perbatasan ditetapkan 20 lokasi pembangunan Sentra Kelautan Perikanan Terpadu (SKPT). Terdapat 10 lokasi SKPT di Indonesia.
Tantangan pembangunan di pulau-pulau kecil dan terluar cukup beragam diantaranya aksesibilitas transportasi dan komunikasi rendah, keterbatasan sarana dan prasarana, kemiskinan masyarakat dan kualitas SDM. Selain itu terdapat degradasi lingkungan, daya dukung terbatas, biaya tinggi dan pengawasan hingga penegakan hukum yang belum optimal.
“Banyak kegiatan pemanfaatan pulau kecil eksisting belum memiliki perizinan lengkap atau tidak memiliki rekomendasi pemanfaatan pulau kecil,” ujar Muhammad Yusuf, Direktur Pendayagunaan Pesisir dan Pulau Kecil KKP.
Ia juga menjelaskan pentingnya penetapan garis pantai untuk mengontrol perkembangan fisik wilayah. Menurutnya sebagian besar pulau-pulau kecil belum ditetapkan garis pantainya.
“Akibatnya belum terdapat kejelasan antara pengaturan rezim daratan pulau dan rezim perairan di sekitarnya. Garis pantai penting untuk acuan pemberian Hak Atas Tanah,” terangnya.
Pulau-pulau yang dihuni dan yang tidak dihuni menghadirkan tantangan sosial, ekonomi dan politik yang khas bagi pembangunan berkelanjutan. Kegiatan pembangunan seperti pada sektor pariwisata, perikanan dan kelautan sepatutnya mengintegrasikan kepentingan lingkungan dan kepentingan penduduk.
Menurut Agus Salim Bujang, Dosen Antropologi IAIN Ternate menjelaskan disamping integrasi antar sektor pariwisata, perikanan dan kelautan, juga dapat mengintegrasikan setiap komunitas yang menghuni pulau kecil dan atau memiliki mata pencaharian di pulau pulau kecil lainnya.
“Hal ini dapat dilakukan dengan pendekatan pembangunan komunitas. Gagasan tersebut membutuhkan norma pada tingkat nasional dan diikuti tingkat pemerintah daerah,” ungkapnya.
Pengelolaan Pulau Kecil di Maluku Utara
Di Provinsi Maluku Utara sendiri terdapat 9 Kabupaten/Kota dengan jumlah pulau sebanyak 899. Syahrudin Turuy, Kepala Balai Konservasi Perairan Provinsi Maluku Utara mengungkap dari RZWP3K yang mengatur pemanfaatan pulau, terdapat 11 zona kawasan pemanfaatan umum dengan total luas mencapai 7.928.748 hektar.
“Kami sudah ada Perda RZWP3K Provinsi Maluku. RZWP3K sebagai upaya strategis pencapaian target kawasan konservasi perairan Maluku Utara,” terangnya.
Sebagai contoh kasus yang telah ramai sebelumnya yakni Kepulauan Widi Kepulauan Widi merupakan kumpulan pulau-pulau kecil membentuk gugusan. Kepulauan Widi memiliki 2 (dua) gugusan pulau salah satunya adalah gugusan pulau Widi yang terdiri dari 85 pulau.
“Di Kepulauan Widi sendiri kami fokus pada kawasan konservasi. Luas konservasi Kepulauan Widi mencapai 315.117,92 hektar,” uangkapnya.
Secara regulasi target pengelolaan sumber daya Kepulauan Widi sendiri memiliki keanekaragaman hayati dan sumber daya ikan. Keanekaragaman hayati terdiri dari terumbu karang, padang lamun dan mangrove. Sedangkan sumber daya ikannya sendiri terdiri dari ikan karang, lumba-lumba, hiu, pari manta dan paus.
“Kami berupaya menjaga pulau Widi sehingga kami membuat regulasi dengan membuat kawasan konservasi di Kepulauan Widi sehingga mencegah dari kegiatan negatif,” jelasnya.
Pasal 21 UU No. 25 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria mengatur tentang hak kepemilikan dan menegaskan bahwa hanya warga-negara Indonesia dapat mempunyai hak milik. Dalam hal ini secara tegas pula melarang pihak asing untuk memiliki tanah atau pulau dalam wilayah Indonesia.
“Dalam ketentuan kawasan konservasi perairan daerah, PT LII tidak memiliki izin kegiatan pemanfaatan kawasan konservasi perairan,” tambahnya.
Sementara itu Helyus Komar juga mendorong keterlibatan berbagai stakeholder untuk mengawasi penjualan pulau seperti kasus di Kepulauan Widi bukan hanya dari segi regulasi yang telah dibuat.
“Dari dasar regulasi juga pelaksanannya tidak maksimal kalau tidak ada keterlibatan dari non pemerintah. Sangat penting untuk memberikan informasi seperti kasus Kepulauan Widi,” tutupnya.