Ekspor Benih Bening Lobster, Semakin Melemahkan Posisi Nelayan Pembudidaya

Ekspor Benih Bening Lobster, Semakin Melemahkan Posisi Nelayan Pembudidaya

Share on facebook
Share on twitter
Share on linkedin
Share on whatsapp

Lobster sebagai sumberdaya yang menjadi komoditi utama perikanan sering kali menjadi polemik dalam pengelolaannya. Kebijakan benih lobster seringkali menjadi masalah yang terus terjadi. Pada tahun 2021 KKP resmi mengeluarkan Permen KP Nomor 17 Tahun 2021 tentang larangan ekspor benih lobster.

Lama berselang pada tahun 2024 KKP untuk syahwat mengejar target PNBP yang tidak terpenuhi pada tahun 2023 membuka kebijakan baru tentang ekspor benih lobster melalui Permen KP No.7 Tahun 2024 tentang tentang Pengelolaan Lobster (Panulirus spp.), Kepiting (Scylla spp.), dan Rajungan (Portunus spp.)

Membahas hal itu, Jaring Nusa KTI bekerjasama dengan Ikatan Sarjana Perikanan Indonesia (ISPIKANI) menggelar sharing session dengan mengangkat kebijakan Permen KP 7/2024. 

Kegiatan yang diselenggarakan secara daring berlangsung pada Sabtu, 6 April 2024 yang juga bertepatan dengan Hari Nelayan Nasional.

Keberpihakan Pada Nelayan Dipertanyakan

Syahrir, nelayan dari Kolaka, Sulawesi Tenggara memberikan sorotan mengenai aturan ini. Ia menyebut ketika pemerintah membuka keran ekspor Benih Bening Lobster (BBL) pada tahun 2020, regulasi mewajibkan eksportir melaksanakan kegiatan pembudidayaan lobster di dalam negeri dengan melibatkan masyarakat.

“Meskipun dalam praktiknya, kerjasama budidaya cenderung manipulatif, hanya untuk mendapatkan izin ekspor BBL,” tegasnya.

Selain itu juga ia menyoroti terkait dengan KKP melarang kegiatan budidaya lobster yang memanfaatkan bibit/benih di atas ukuran 150g/200g.

“Proses budidaya seperti ini banyak yang dilakukan. Artinya tangkapan nelayan yang tidak dijual maka dibesarkan, namun tiba-tiba dilarang,” terangnya.

Ia juga turut heran dengan mekanisme penangkapan kuota yang ditetapkan oleh KKP terkait penangkapan BBL di seluruh WPP RI. Estimasi jumlah BBL bersumber dari hitungan jumlah lobster dewasa.

“Di Sultra paling tinggi penghasilannya, tapi paling sedikit kedua kuotanya yang diberikan.” ujarnya.

Lokasi pilot project KOLSTERA, Kolaka, Sulawesi Utara. (Tangkapan layar pemaparan Syahrir)

Sementara itu Amin Abdullah, Direktur LPSDN yang berbasis di Lombok Timur juga menyoroti aturan tersebut. Ia mempertanyakan sebenarnya aturan yang dibuat ini apakah untuk mensejahterakan nelayan ataukah hanya membuat kehidupan nelayan lobster semakin terjepit.

“Dengan potensi yang luar biasa mengenai lobster di Indonesia, kita mau apakan? Apakah kita mau maju dengan membudidaya, ataukah kita hanya menjual BBL ke luar negeri?,” terangnya.

Pada kesempatan itu ia juga menjelaskan dampak dari terbitnya Permen KP tersebut. Pembelian BBL oleh perusahaan tertentu. Harga BBL dikisaran Rp 25.000 s/d Rp 30.000 yang kondisi ini akan memberatkan nelayan untuk membeli.

“Ada harga pembelian BBL terendah di tingkat nelayan seharga Rp 8.500/ekor. Pembudidaya juga harus bersaing dengan pasar. Pembudidaya tidak bisa bersaing dari sisi harga,” ujarnya.

“Kita juga menjadi bingung sendiri, apa yang mau kita tuju dengan potensi yang luar biasa ini dengan banyak BBL. Kalau kita mau menjadi raja lobster dunia, kita harus fokus pada pembudidaya,” tutupnya.

Hal senada juga disampaikan oleh Abdullah, nelayan pembudidaya lobster dari Lombok Timur. Ia mengeluhkan harga BBL yang sangat tinggi tidak mampu dijangkau oleh nelayan pembudidaya.

“Biasanya kita beli maksimal harganya 5 ribu, namun saat ini harga yang ada kisaran 46 ribu,” ujarnya. 

“Saat ini untuk memajukan budidaya, ataukah untuk memajukan penangkap BBL ini? Kita sudah jelas-jelas tidak bisa membeli BBL dengan harga yang tinggi,” tambahnya.

Ia juga berharap sebaiknya investor harusnya membudidayakan lobster di dalam negeri. Dengan begitu, harga BBL dapat dijangkau oleh nelayan.

“Harga lobster konsumsi akan sangat berpengaruh jika harga BBL naik. Lebih baik investornya saja yang melakukan budidaya di dalam negeri, sehingga harga kita yang pegang, bukan negara lain,” harapnya.

Para nelayan pembudidaya lobster Teluk Jukung tolak draft rancangan Permen KP yang mengizinkan ekspor benih lobster. (Foto: www.ntbpos.com/Paenal Juni Harian)

Pengelolaan yang Adil dan Berkelanjutan

Muhammad Iqbal Djawab, Dewan Pakar ISPIKANI menjelaskan jika ada contoh yang dapat dipelajari dalam pengelolaan lobster yang adil dan berkelanjutan. Ia mencontohkan pembelajaran dari wilayah di Jepang dan Vietnam yang mampu mengelola secara bijak pembudidayaan lobster.

“Mereka membangun lembaga secara sosio ekologis. Betul-betul basisnya. Pelibatan pemangku kebijakan. Nelayan yang tergabung dalam kelompok nelayan, nelayan memegang peranan penting. Di jepang sangat konsen terhadap ekologinya,” jelasnya.

Ia juga turut menggarisbawahi jika peran berbagai stakeholder penting untuk saling berkolaborasi dalam budidaya lobster.

“Peran asosiasi koperasi lokal dan organisasi pengelolaan perikanan sangat kuat. Bukan hanya secara ekologi, tapi juga membanggun pemahanan bersama secara sosial,” terang Iqbal.

“Penguatan kelembagaan harus kuat. Kalau jaringan nelayan bersatu, akan sangat luar biasa,” tambah Iqbal, yang juga merupakan akademisi dari Universitas Hasanuddin.

Selain itu regulasi dari pemerintah berperan penting dalam membangun industri lobster yang adil dan berkelanjutan.

“Regulasi pemerintah dibutuhkan untuk pengelolaan lobster yang adil dan berkelanjutan. Penting untuk melihat 3 aspek yakni pemangku kepentingan, institusi sosio-ekonomis dan budidaya,” ujarnya.

Sebaran lokasi penangkapan BBL tahun 2020. (Gambar: kompas.id)

Target budidaya di tahun 2024. Dengan peraturan menteri itu sepertinya bisa tapi harus ada syarat-syaratnya. 

“Konon kabarnya akan menguasai 40-50% pasar lobster global. Kalau semua diberdayakan, maka itu bisa diwujudkan,” jelasnya.

Sementara itu Syahrir juga turut menyoroti kondisi pengelolaan lobster yang saat ini menunjukkan tidak terurus dengan serius. Sehingga ia menekankan pada kebijakan yang harus menjadi perhatian serius dari pemerintah.

“Apabila ingin betul serius mengurusi lobster maka perlu penyusunan konsep pengembangan lobster sebagai komoditas premium sektor perikanan dan keluatan dari hulu ke hilir,” jelasnya.

“Pengembangan lobster juga harus melibatkan multidisiplin ilmu,m tidak bisa hanya dari perikanan saja, karena ada multi aspek yang saling terikat dan berdampak secara simultan,” tutupnya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *