Perairan di Halmahera Terindikasi Tercemar Logam Berat

Perairan di Halmahera Terindikasi Tercemar Logam Berat

Share on facebook
Share on twitter
Share on linkedin
Share on whatsapp

Kajian Walhi Maluku Utara menemukan, dari sejumlah sampel air menunjukkan kualitas air di Teluk Weda dan Pulau Obi tercemar logam berat. Laporan Muhammad Aris, Guru Besar Universitas Khairun Ternate bekerja sama Kompas juga menunjukkan sejumlah perairan di Halmahera terindikasi tercemar logam berat akibat aktivitas penambangan dan pengolahan bijih nikel. Lebih buruk lagi, perairan ini merupakan tempat pemijahan dan pembesaran ikan serta jalur migrasi ikan tuna.

Maluku Utara merupakan provinsi kepulauan dengan 79% perairan dan 21% daratan. Sebagai provinsi kepulauan, bentang alam provinsi ini rentan terhadap krisis iklim. Namun pengelolaan sumber daya alam yang memberikan hak istimewa kepada korporasi di Maluku Utara dalam bentuk konsesi ekstraktif meningkatkan kerentanan yang harus dihadapi wilayah ini di masa depan.

“Masyarakat di Maluku Utara, 90% hidup bergantung pesisir laut dan kawasan hutan. Ini kemudian dihancurkan investasi yang didorong negara melalui proyek-proyek strategis nasional,” kata Faizal Ratuela, Direktur Eksekutif Walhi Maluku Utara.

IWIP merupakan salah satu proyek strategis nasional di Maluku Utara. Proyek ini masuk dalam kerangka kebijakan pemerintah untuk mendorong transisi energi.

“Ini solusi palsu yang dibuat pemerintah. Saat ini, perekonomian rakyat tergerus menjadi dua generasi.”

Ratuela mengatakan,  harus segera moratorium pertambangan dan semua yang terdampak proyek harus dipulihkan.

Ketika ke IWIP November lalu, memberi pemahaman mendasar tentang kehidupan masyarakat sekitar tambang dan kesejahteraan ‘palsu’ yang mereka terima. Bertentangan dengan klaim Pemerintah Indonesia bahwa pertambangan akan mendatangkan kesejahteraan. Kenyataan menunjukkan sebaliknya. Di Lelilef, kerusakan lingkungan dan kerugian ekonomi maupun sosial masyarakat dampak pertambangan nikel tidak dapat dihindari.

Ambisi Pemerintah Indonesia memanfaatkan isu transisi energi kendaraan listrik dengan memanfaatkan nikel akan makin memperburuk krisis.

Indonesia bukan satu-satunya negara yang mengalami ini. Menurut laporan UNEP baru-baru ini, penggunaan sumber daya global yang tidak pernah terpuaskan meningkat tiga kali lipat dalam 50 tahun terakhir. Indonesia termasuk di antara 10 besar negara penghasil nikel dalam negeri pada 2020.

Sulit dipungkiri,  keinginan Pemerintah Indonesia menjadi produsen nikel terbesar tidak terlepas dari permintaan global terhadap bahan baku mineral ini untuk kendaraan listrik yang diproduksi di negara-negara dunia utara, yang mereka bungkus sebagai solusi untuk transisi energi.

Senyatanya, eksploitasi dan industrialisasi nikel di Indonesia tidak termasuk dalam kerangka kerja untuk merespons krisis iklim, melainkan kapitalisasi bisnis komponen alam di atas tanah, bidang tanah, dan bawah tanah. Selanjutnya, apa yang akan tereksploitasi setelah ini?

Foto Utama: PLTU di kawasan industri PT IWIP di Halmahera Tengah. (Foto: Agus Dwi Hastutik)

Penulis: Agus Dwi Hastutik, merupakan Manajer Hubungan Internasional  Walhi Nasional
Tulisan ini terbit di Mongabay Indonesia. Baca artikel sumber.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *