Industri Ekstraktif dan Ketahanan Pangan Mengancam Pulau Kecil di Kawasan Timur Indonesia

Industri Ekstraktif dan Ketahanan Pangan Mengancam Pulau Kecil di Kawasan Timur Indonesia

Share on facebook
Share on twitter
Share on linkedin
Share on whatsapp

Jaring Nusa Kawasan Timur Indonesia kembali menggelar sharing session pada Selasa (14/06/2022). Diskusi ini membahas mengenai ancaman ekspansi industri ekstraktif, kerusakan ekosistem laut serta dampaknya bagi ketahanan pangan masyarakat di KTI.

Adapun kegiatan ini menghadirkan Faisal Ratuela selaku Direktur WALHI Maluku Utara, Veronika Lamahoda selaku Direktur yayasan Tana Ile Boleng dan Hironimus Pala selaku Ketua Badan Pengurus Yayasan Tananua Flores. Selain narasumber, hadir pula penanggap yakni Parid Ridwanuddin selaku Manajer Kampanye Laut WALHI.

Kebijakan serta perencanaan dan pengelolaan wilayah pesisir dan laut yang dipraktekan selama ini meliputi pengelolaan perikanan tangkap dan budidaya, pariwisata, pelabuhan, pemukiman, industri, tambang serta eksplorasi minyak dan gas.

Pengelolaan wilayah pesisir laut dan pulau kecil sebenarnya telah banyak pula menimbulkan konflik antar pelaku kepentingan dalam melakukan aktivitas pengelolaan dan pembangunan pada wilayah pesisir laut dan pulau kecil.

Ancaman Industri Ekstraktif di Maluku Utara

Maluku Utara merupakan wilayah perairan yang lebih luas dibanding luas daratannya. Jumlah penduduknya sendiri sebanyak 1.316.973 yang mendiami 1.199 desa. Lokasi Maluku Utara merupakan daerah merapi, pertemuan jalur gempa lingkar pasifik dan pulau-pulau kecil yang memiliki keanekaragaman yang tinggi.

“Maluku Utara memiliki keanekaragaman hayati yang luar biasa. Potensi perikanan yang sangat besar,” terang Faisal Ratuela, Direktur WALHI Maluku Utara.

Disisi lain, tingginya sumber daya alam di Maluku Utara juga tidak terlepas dari ancaman industri ekstraktif. Total 127 IUP yang berada di di Maluku Utara yang terdapat di 8 Kabupaten.

“Maluku Utara dengan jumlah daratan yang cukup kecil namun ini menjadi momok tersendiri bagi masyarakat yang mendiami pulau-pulau kecil. Aktivitas industri ekstraktif itu telah berdampak terhadap masyarakat,” ujarnya.

Beberapa bisnis ekstraktif di Maluku Utara, seperti tambang nikel dan pabrik pemprosesan, PT Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP) di Weda, Halmahera Tengah dan industri pertambangan di Pulau Obi. Keduanya jadi kawasan industri masuk dalam proyek strategis pemerintah.

“Masyarakat di Pulau Obi yang memanfaatkan sumber daya perairan pun mengalami pencemaran. Berdasarkan hasil riset salah satu peneliti dan dosen Universitas Negeri Khairun bawha ditemukan di dalam tubuh ikan itu kandungan nikel yang sudah melebihi ambang batas,” tambahnya.

Lebih lanjut, Faisal menjelaskan jika WALHI Maluku Utara menyerukan agar pemanfaatan sumber daya alam harus melihat daya dukung dan daya tampung alam terhadap keselamatan rakyat.

“WALHI Maluku Utara sendiri mendorong bagaimana menghidupkan sumber daya alam yang dikelola secara arif oleh masyarakat untuk ketahanan pangan berbasis kearifan lokal,” terangnya.

Kurang Efektifnya Pengurusan Laut di Flores Timur

Veronika Lamahoda selaku Direktur Yayasan Tana Ile Boleng menuruturkan jika di NTT belum ada Perda yang mengatur tentang pengelolaan wilayah pulau-pulau kecil.

“Saya pikir kalau ranah pengelolaan laut di provinsi belum ada apalagi di kabupaten. Kami di Flores timur mengenai pengaturan tentang pengelolaan wilayah pesisir belum ada sama sekali. Baik tingkat kabupaten maupun desa,” jelasnya.

Sementara itu di Nusa Tenggara Timur ancaman ekologi selain desakan investasi pariwisata premium bagi laut di NTT yakni perusakan ekosistem laut akibat aktivitas pengeboman ikan. Hal ini telah berlangsung cukup lama. Aktivitas penangkapan ikan dengan bahan peledak berdampak langsung terhadap kerusakan terumbu karang.

“Di Flores Timur sendiri cerita tentang pengeboman ikan bukan hal baru bagi masyarakat. Hampir seluruh wilayah perairan di Flores Timur. Sepanjang yang saya tahu bahwa aktivitas pengeboman telah berlangsung bertahun-tahun,” jelasnya.

Veronika juga mengeluhkan mengenai ketidakefektifan pengurusan laut lantaran dialihkan ke provinsi. Tidak sistem tata kelola yang menjadi panduan bagi masyarakat untuk menata wilayah pesisir dengan jumlah desa yang mencapai 35.

“Untuk mengatur Flores Timur saja sudah sulit. Sehingga dalam pantauan kami melihat tidak efektifnya pengawasan dan tata kelola pengurusan laut di wilayah Flores Timur,” terangnya.

“Hampir seluruh desa di Flore Timur tidak memiliki sistem tata kelola pengelolaan wilayahnya,” tambahnya.

Akibatnya di level akar rumput kurangnya komitmen dalam mengelola sumber daya alamnya. Sehingga pengeboman yang masih terus terjadi yang merusak terumbu karang di Flores Timur khususnya di Solor Selatan dan Flores bagian Utara.

“Di wilayah tersebut kondisi terumbu karangnya sudah sangat rusak. Bahkan di beberapa tempat sudah rata dengan tanah akibat pengeboman,” jelasnya.

Yayasan Tana Ile Boleng turut berkontribusi dalam meminimalisir pengeboman dan memulihkan ekosistem laut di Flores Timur. Sejak 2017 wilayah yang menjadi percontohan daerah rehabilitasi terjadi perubahan yang signifikan. Saat dilakukan penelitian tahun 2021 hasilnya biota laut perlahan kembali pulih.

“Kita mencoba mengambil percontohan wilayah untuk direhabilitasi. Dalam implementasinya, kami membuat lumbung ikan desa sebesar 8 hektar yang terdiri dari zona inti dan zona penyangga dan hasilnya setelah 4 tahun cukup menggembirakan,” imbuhnya.

Di akhir Veronika mengimbau agar adanya peraturan yang jelas mengenai pengurusan dan tata kelola sumber daya laut di Flores Timur agar masyarakat memiliki panduan bersama untuk meminimalisir terjadinya kerusakan lingkungan.

Membangun Komunitas, Memperkuat Ketahanan Pangan

Patut dicermati bahwa telah banyak aturan yang menjamin keberlangsungan pangan masyarakat. Mulai dari Undang-Undang Dasar hingga uang-undang yang berkaitan dengan pertanian dan kelautan.

Hironimus Pala yang merupakan Ketua Badan Pengurus Yayasan Tananua Flores menjelaskan jika banyaknya jaminan ketahanan pangan melalui aturan-aturan yang dibuat pemerintah tidak sesuai fakta yang terjadi. Realitas yang terjadi di NTT terkait kondisi pangan yakni yakni pembangunan yang meminggirkan petani, nelayan dan produsen pangan skala kecil.

Selain itu kemiskinan terbanyak ada di Desa. Kelangkaan pupuk dan ketergantungan terhadap bahan kimia yang berdampak terhadap gizi buruk, kerusakan ekologis dan tergusurnya keragaman pangan.

“Di Kabupaten Ende sendiri angka kemiskinan tergolong tinggi yakni 22%. Angka tersebut lebih tinggi dari angka kemiskinan Provinsi Nusa Tenggara Timur,” jelasnya.

Melihat data tersebut membuat Yayasan Tananua Flores ikut bergerak dalam berkontribusi terhadap pengelolaan pangan masyarakat di Flores. Hiro mengungkap jika petani dan nelayan harus diberi ruang hidup bersama kearifan lokalnya dalam mengelola sumber daya alam.

“Kami sendiri telah melakukan sistem buka tutup di beberapa komunitas pesisir di Flores berbasis kearifan lokal. Hal ini berdampak terhadap wilayah kelola masyarakat dapat dikelola secara arif,” tambahnya.

“Kalau kita tidak kuat dari bawah dan kawan-kawan di pusat berjuang sendiri tanpa adanya data dan kolaborasi dari akar rumput akan memberi potensi menghilangkan ruang kelola masyarakat yang digusur oleh industri besar,” ungkapnya.

Perubahan Corak Produksi Pesisir dan Pulau Kecil

Dalam diskusi tersebut turut juga ditanggapi oleh Parid Ridwanuddin, selaku Manajer Kampanye Laut WALHI yang mengungkapkan jika selain industri ekstraktif menjadi ancaman yang sangat besar dan berbahaya di Kawasan Timur Indonesia.

“Jadi ada wajah baru terkait ekstraktivisme yang sedang di dorong di Kawasan Timur Indonesia. WALHI mencapat tahun 2021 terdapat 1405 IUP dengan total luasan 2,9 juta hektar yang terdiri dari IUP di wilayah pesisir dan di wilayah laut,” terangnya.

Industri ekstraktif sendiri telah mengubah corak produksi masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil. Sebagai identitas bahari, nelayan merupakan mata pencaharian yang mendominasi wilayah pesisir dan pulau kecil. Namun sayangnya, menurut Parid bahwa jumlah nelayan saat ini mengalami penurunan.

“Saat ini telah terjadi penurunan jumlah nelayan akibat industri ekstraktif. Di Pulau Sulawesi telah terjadi penurunan signifikan jumlah nelayan,” jelasnya.

Salah satu faktor yang menurunnya jumlah nelayan dan pengrusakan pesisir akibat reklamasi yang dilakukan. Menurutnya bahwa reklamasi yang dilakukan di beberapa wilayah di Kawasan Timur Indonesia telah berdampak dari segi lingkungan dan ekonomi masyarakat di pesisir dan pulau kecil.

“Reklamasi telah membuat penghilangan ruang hidup masyarakat pesisir dan pulau kecil. Selain dari reklamasi, aktivitas penambangan pasir laut juga turut berkontribusi dalam menghilangkan mata pencaharian nelayan,” tambahnya.

 

Penulis: Muhammad Riszky

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *