Search
Close this search box.
Search

Keadilan Gender dan Ekologis: Hubungan yang Saling Membentuk

Keadilan Gender dan Ekologis: Hubungan yang Saling Membentuk

Di antara para pemikir ekopolitis, istilah “keadilan ekologis” menjadi semacam buzzword populer, sekalipun ia memiliki makna yang ambigu. Pengertian dari keadilan ekologis memiliki ragam hal konsep yang dikontestasikan satu sama lain.

Jangkauan konsep tersebut sangat beragam mulai dari keadilan distributif (distributive justice), pembeda antara apa yang disebut sebagai “baik” dan “buruk” secara kelingkungan, manfaat dan risiko, hingga argumen mengenai keadilan partisipatoris dan keadilan prosedural (Gaard 2017).

Pada tahun 1991, First National People of Color Environmental Summit mengubah arah gerak diskusi mengenai keadilan lingkungan. Pertemuan ini menghasilkan rumusan 17 Prinsip Keadilan Lingkungan (17 Principles of Environmental Justice).

Dalam 17 Prinsip Keadilan Lingkungan tersebut memuat visi bahwa orangorang kulit berwarna berhimpun dalam komunitas ini. Mereka membangun gerakan nasional dan internasional yang menentang destruksi dan perebutan atas tanah dan komunitasnya.

Caranya dengan menumbuhkan kembali hubungan interdependensi spiritual dengan Ibu Bumi (Mother Earth); menghargai dan merayakan kebudayaan, bahasa, dan kepercayaan terhadap alam semesta dan peran atas penyembuhan; menjamin keadilan lingkungan; mendorong ekonomi alternatif yang berkontribusi terhadap mata pencaharian yang tidak berbahaya; mendapatkan pembebasan politik, ekonomi, dan budaya yang telah disangkal selama lebih dari 500 tahun penjajahan dan opresi yang meracuni komunitas serta tanah, juga menggenosida orangorang kulit berwarna (People of Color Environmental Leadership Summit 1991).

Tujuh belas Prinsip Keadilan Lingkungan tersebut kemudian diratifikasi dalam merumuskan pengertian lain dari perubahan iklim dari sudut pandang keadilan lingkungan yang termuat dalam The 27 Bali Principles of Climate Justice (Johannesburg for the Earth Summit 2002).

Perubahan iklim dari sudut pandang keadilan lingkungan turut menyebut kategori gender, indigenitas, umur, kemampuan (ability), kekayaan, dan kesehatan. Penyebutan tersebut memungkinkan untuk memeriksa bagaimana pemetaan pertolongan dan mitigasi dampak perubahan iklim bagi kelompok populasi rentan di dunia (Gaard 2017).

Secara reflektif, penulis menyadari bahwa ekofeminisme bukan sekadar jargon atau konsep kosong semata, melainkan kemungkinan untuk bergerak secara transformatif sebagaimana sebuah gerakan ekologis bersama.

“Kita semua bertanggung jawab untuk dan atas membentuk kondisi bagi multispesies yang berjalan dalam sejarah yang mengerikan, dan terkadang sejarah yang menyenangkan juga, tetapi tidak kita semua mampu merespons (“response-able”) dengan cara yang sama. Perbedaan itu berarti—dalam ekologi, ekonomi, spesies, dan kehidupan” (Haraway 2016).

Krisis ekologi global ini selalu membuka kemungkinan ragam dunia-yang-lain, the world of many worlds sebab pembedaan geografis berbanding lurus dengan kompleksitas pengetahuan terhadap krisis ini maupun persepsi-pengalaman yang selalu tersituasikan sedang berkelindan dengan kehidupan keseharian (worldings) (de la Cadena & Blaser 2018).

Bukti bahwa kemudian, keseharian menjadi ruang paling nyata untuk memahami bagaimana justifikasi keadilan iklim bekerja. Keadilan iklim di masa katastropik hari ini tidak hanya sekadar kepentingan gerakan ekofeminisme untuk terlepas dari belenggu bias patriarki dan dominasi kapitalisme yang menghancurkan alam.

Tetapi sekali lagi bahwa ekofeminisme perlu membasiskan diri pada epistemologi ketersituasian sekaligus basis ontologi politik yang memberi penekanan bahwa krisis bukanlah masalah universal semata. Namun, lebih dari itu, masalah pluriversal.

Pluriversal politik ini bermaksud menawarkan cara merekognisi ekspresi lokalitas antar ragam lintas kultur-alam (manusia dan nonmanusia) tanpa batas ‘struktur tunggal’, pengalaman yang tersituasikan secara lebih sederhana, melintas keseharian worlding yang menjernihkan ragam pluriversalitas dunia (Escobar 2020).

Keadilan ekologis selalu menuntut keterbukaan lintas generasi bahkan lintas entitas kehidupan. Alihalih memperjuangkan keadilan untuk alam sendiri, masyarakat Antroposen selalu hidup dengan krisis sekaligus ragam ketimpangan yang terjadi melalui relasi keretakan ekologis antara dunia kehidupan (lifeworld; persepsi sosio-kultural) dengan bumi (earth; sebagai latar habitat hunian spesies) yang semakin lebar (Mahaswa 2022).

Keterluputan ekofeminisme dalam mengartikulasi lebih jauh terkait kategori gender meniadakan pertanyaan gugatan terhadap pengertian perempuan seperti apa yang dimaksud oleh ekofeminisme. Karena mengasumsikan bahwa perempuan memiliki kategori universal yang sama dan bersatu dalam “unity of oppression”, maka kerusakan ekologis tidak merekognisi ekspresi dan cara mengetahui ketersituasian yang melintas dalam keseharian.

Pergeseran ontologi politik untuk menuju dunia yang lebih-dari-manusia (more-thanhuman worlds) dalam menjawab tantangan krisis iklim mensyaratkan kita untuk selesai dengan permasalahan kemanusiaan, dalam hal ini gender.

Diskursus mengenai krisis iklim saat ini membuka kembali diskusi mengenai gender yang diperlihatkan melalui dampak krisis iklim yang bergender. Dengan demikian, gender tidak dipandang sebagai kategori tunggal, tetapi juga mengalami pertemuan dengan pengalaman krisis yang tersituasikan karena itu, beragam.

Keberagaman model-model pendekatan reflektif dari ekofeminisme kritis setidaknya menjamin adanya keterbukaan yang menjanjikan atas keadilan ekologis di Indonesia. Gerakan ekofeminisme kritis dalam konteks ke-Indonesia-an artinya harus berani untuk mengafirmasi segala wujud materialisasi keberagaman, baik masyarakat maupun alamnya, secara apa adanya.

Secara konkret keadilan ekologis merupakan motivasi etis yang akan terwujud jika dan hanya jika ekofeminisme menubuh di level kesadaran, teoretis, praksis, dan laku keseharian. Kritis artinya terbuka dan tidak anti-kritik, ekofeminisme (kritis) harus senantiasa terbuka atas segala kemungkinan di dunia yang sedang krisis.

Artikel ini diterbitkan oleh Jurnal Perempuan. Baca artikel sumber.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *