Transisi energi dilakukan untuk mengurangi emisi karbon dan gas rumah kaca sebagai upaya pelestarian lingkungan global. Sebenarnya, Indonesia telah mengamanatkan hal itu dalam Undang-Undang No. 30 Tahun 2007 tentang Energi (UU Energi) dengan mengadopsi asas keberlanjutan dan pelestarian fungsi lingkungan dalam pengelolaan energi.
Terlebih, konsiderans UU Energi telah menyadari bahwa cadangan sumber daya energi tak terbarukan terbatas dan memerlukan kegiatan penganekaragaman sumber daya energi agar ketersediaan terjamin.25 Hal ini merupakan awal dalam melahirkan suatu politik hukum pemanfaatan energi yang mengarah kepada peningkatan pengelolaan energi nasional secara berkelanjutan dan ramah lingkungan.
Lebih lanjut, paradigma pemanfaatan energi pun mengalami ekspansi pemaknaan yang ditujukan sebagai aspek pembangunan berkelanjutan. Salah satunya dilakukan dengan upaya menggantikan energi fosil (batu bara, minyak bumi, dan gas bumi) dengan EBT dalam rangka mengurangi emisi karbon dan gas rumah kaca sebagai upaya pelestarian lingkungan global.
Substitusi energi fosil dengan EBT juga dimaknai sebagai peluang pertumbuhan ekonomi jangka panjang, misalnya dengan menciptakan lapangan pekerjaan baru. Berlimpahnya kekayaan alam Indonesia menjadi modalitas dalam mengelola EBT. Secara nomenklatur pun, UU Energi telah mengenal energi terbarukan (ET) dan energi baru (EB).
Namun, upaya pemerintah dalam memanfaatkan ET dan meninggalkan energi fosil belum optimal. Belum optimalnya pengelolaan ET dikarenakan paradigma ET masih sering digabungkan dengan EB di dalam paradigma EBT.
Penggabungan kedua paradigma ini menyebabkan potensi pemanfaatan EB menjadi berbanding lurus dengan pengembangan ET dan mengakibatkan upaya transisi energi yang seharusnya diarahkan kepada ET sering kali menjalar ke pemanfaatan EB. Polemik paradigma tersebut tidak hanya menjadi penyebab awal tidak konsistennya upaya transisi energi Indonesia tetapi juga merupakan faktor penghambat utama.
Selanjutnya, inkonsistensi upaya transisi energi terlihat dalam PP KEN yang memiliki beberapa kontradiksi. Pertama ia memiliki dikotomi kebijakan, yaitu kebijakan utama dan kebijakan pendukung. Perbedaan kedua kebijakan tersebut dapat dilihat dalam tabel di bawah.

Dari tabel di atas diketahui bahwa lingkungan hidup merupakan kebijakan pendukung dalam KEN. Sehingga, kebijakan energi turunan belum memprioritaskan lingkungan hidup sebagai nilai yang utama.
Walaupun begitu, PP KEN dapat dikatakan ingin membangun politik hukum yang memaksimalkan transisi energi di masa yang akan datang. Hal ini terlihat dari prioritas pengembangan energi yang dilakukan dengan mempertimbangkan keseimbangan keekonomian energi, keamanan pasokan energi, dan pelestarian fungsi lingkungan hidup.
Kedua, terdapat kontradiksi dalam prinsip yang digunakan untuk prioritas pengembangan energi, yakni batu bara masih dianggap sebagai andalan pasokan energi nasional untuk mewujudkan keseimbangan keekonomian energi.
Ketentuan ini memberikan legitimasi bagi pemerintah untuk terus memaksimalkan pemanfaatan energi batu bara. Padahal, hal ini sangat bertentangan dengan keseluruhan politik hukum yang dibangun UU Energi untuk mewujudkan kemandirian energi dan ketahanan energi nasional dengan upaya untuk memaksimalkan pemanfaatan EBT dan minimalisasi pemanfaatan energi fosil.
Sementara itu, Perpres RUEN menempatkan batu bara sebagai pilihan terakhir dalam memenuhi kekurangan kebutuhan energi dalam negeri, itu pun dengan penggunaan teknologi bersih. Realitanya, Indonesia masih mengutamakan pemanfaatan batu bara sebagai prioritas pengembangan energi.
Hal ini terlihat dari jaringan pipa batu bara besar yang akan beroperasi dengan dukungan penuh dari pemerintah Indonesia. Pasalnya, jaringan pipa batu bara gabungan Indonesia, Vietnam, dan Filipina mencapai hampir 45GW, dengan beban awal pada paruh pertama dekade ini.

Menariknya, grafik di atas juga menunjukkan adanya peningkatan pemanfaatan EBT yang berbanding lurus dengan peningkatan pemanfaatan batu bara. Hal ini patut dicurigai bahwa jangan-jangan pemanfaatan EBT tersebut terfokus pada pemanfaatan EB yang bersumber dari batu bara karena peningkatan pemanfaatan EBT tidak berimplikasi pada penurunan pemanfaatan batu bara.
Walaupun begitu, langkah untuk mencapai transisi energi kembali maju dengan diterbitkan Perpres Percepatan Pengembangan ET. Konsiderans Perpres tersebut telah mengakui pentingnya percepatan pencapaian target bauran energi terbarukan dalam bauran energi nasional serta penurunan emisi gas rumah kaca.
Perpres ini tak hanya mendorong Perusahaan Listrik Negara (PLN) untuk menyusun Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) dengan memperhatikan target bauran ET, tetapi juga mendorong untuk membeli listrik dari sumber-sumber terbarukan,40 dan melarang pengembangan PLTU baru.
Namun, lagi-lagi kebijakan ini setengah hati dalam mempercepat transisi energi. Pasalnya, Perpres Percepatan Pengembangan ET masih membolehkan pembangunan PLTU baru dengan syarat:
1) telah ditetapkan dalam RUPTL sebelum Perpres tersebut disahkan dan 2) terintegrasi dengan industri yang dibangun berorientasi untuk peningkatan nilai tambah sumber daya alam atau termasuk dalam Proyek Strategis Nasional; berkomitmen untuk melakukan pengurangan emisi gas rumah kaca minimal 35% dalam jangka waktu 10 tahun sejak PLTU beroperasi dibandingkan dengan rata-rata emisi PLTU di Indonesia pada tahun 2021 melalui pengembangan teknologi, carbon offset, dan/atau bauran ET; dan beroperasi paling lama sampai dengan tahun 2050.
Oleh karena kebijakan ini masih baru dan instrumen nilai ekonomi karbon yang dimaksud dalam Perpres ini belum mulai berjalan, maka Perpres ini potensial untuk terus dikawal.
Sehingga, penelitian lebih lanjut mengenai konsistensi upaya pemerintah Indonesia dalam mencapai transisi energi diperlukan. Terlebih, krisis iklim yang terus berlangsung seharusnya menjadi pemicu percepatan transisi energi jika manusia tidak mau punah atau Indonesia tidak mau tenggelam.
Artikel ini diterbitkan oleh Jurnal Hukum Lingkungan Indonesia. Baca artikel sumber.