Kehidupan Nelayan Skala Kecil yang Semakin Rentan, Upaya Perlindungan Mutlak Dilakukan

Kehidupan Nelayan Skala Kecil yang Semakin Rentan, Upaya Perlindungan Mutlak Dilakukan

Share on facebook
Share on twitter
Share on linkedin
Share on whatsapp

Persoalan multidimensi pada tata kelola lingkungan hidup dan krisis iklim melahirkan berbagai bencana ekologis. Mereka yang hidup di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, khususnya masyarakat nelayan tidak luput dari berbagai dampak bencana ekologis dan persoalan iklim. 

Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) melansir jumlah populasi nelayan pada 2022 mencapai 2.401.540 jiwa nelayan  Jumlah populasi nelayan itu meningkat dari tahun sebelumnya yakni 2.359.264 jiwa nelayan. Menurut statistik KKP pada 2023, sebagian besar dari mereka (85%) merupakan nelayan skala kecil. 

Pada hari lingkungan hidup 5 Juni 2024, Jaring Nusa bersama dengan Econusa, Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) dan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia menggelar diskusi yang diselenggarakan secara daring. Krisis Iklim dan Kerentanan Terhadap Kehidupan Nelayan Indonesia menjadi tema diskusi tersebut.

Pada rangkaian diskusi itu, riset tentang Pemetaan Kerentanan Sosial-Ekonomi Nelayan Kecil dan Tradisional Terhadap Dampak Perubahan Iklim, Akses Terhadap Energi (BBM), dan Wilayah Tangkap Nelayan disebarluaskan. 

Studi kasus riset itu dilakukan di Aceh Selatan, Pemalang, Pangkep dan Ambon. Riset ini merupakan kolaborasi Econusa, KNTI dan FEB Universitas Indonesia.

Kerentanan Terhadap Nelayan Kecil

Dalam PP 32/2019 tertulis nelayan Kecil adalah nelayan yang melakukan penangkapan ikan untuk kebutuhan hidup sehari-hari, baik yang tidak menggunakan penangkap ikan, maupun yang menggunakan kapal penangkap ikan berukuran paling besar 10 (sepuluh) gross ton (GT).

Bagi nelayan skala kecil, kegiatan melaut bukan hanya sekedar mata pencaharian semata. Sebab bagi mereka melaut merupakan cara hidup masyarakat nelayan dalam mengelola sumber daya perikanan. Hal itu mencakup upaya melindungi laut agar dapat terus dimanfaatkan untuk di masa mendatang  

Sartika Djamaluddin, akademisi FEB UI yang juga merupakan tim riset menjelaskan kontribusi perikanan skala kecil sangat besar bagi penghidupan masyarakat.

Berdasarkan studi yang disampaikan oleh FAO, University, dan Works (2021), kontribusi perikanan skala kecil sangat signifikan, di antaranya memenuhi kebutuhan perikanan dunia sebanyak 40% dan menyediakan 113  juta pekerjaan bagi nelayan kecil, termasuk pekerja wanita yang terlibat dalam sektor perikanan.

“Perikanan skala kecil punya kontribusi besar dalam kebutuhan perikanan khususnya di Indonesia. Dari serapan tenaga kerja menyediakan lebih dari 2 juta lapangan kerja nelayan. Selain itu juga berkontribusi terhadap PNBP sebesar 1,2 triliun rupiah,” ujarnya.

“Kinerja sektor perikanan tahun 2022 sangat baik melihat tahun tersebut merupakan tahun pemulihan pasca covid,” tambahnya.

Tingginya potensi sektor perikanan juga memiliki berbagai masalah yang dihadapi nelayan. Ia menerangkan, meski kontribusi lapangan kerja dan PDB yang tinggi namun kesejahteraan nelayan masih cukup rendah.

“Risiko yang dihadapi nelayan juga cukup tinggi, terutama terkait dengan perubahan iklim, wilayah tangkap, akses BBM, serta perlindungan dan bantuan yang belum optimal,” ungkapnya. 

Riset kolaborasi ini melihat indeks kerentanan berdasarkan sumber perubahan, yaitu perubahan iklim, risiko eksternal, wilayah tangkap, dan akses BBM pada studi kasus di empat wilayah.

Lokasi, sampel dan waktu penelitian yang dilakukan. (Tangkapan layar Sartika Djamaluddin)

Sebanyak 236 nelayan kecil menjadi sampel untuk 4 wilayah yang menjadi lokasi penelitian. Penelitian berlangsung sejak Mei hingga Desember 2023.

“Ketika kita bicara tentang kerentanan, kita tidak hanya bicara terkait dengan gangguan atau bencana, tetapi juga tentang bagaimana kemampuan adaptif dari nelayan dan sensitivitasnya,” terangnya.

Penelitian terbaru ini memperkuat dan menambahkan hasil dari penelitian sebelumnya. Secara eksplisit, penelitian yang dilakukan menunjukkan tidak banyak perubahan kesejahteraan yang terjadi di kalangan nelayan kecil.

“Lebih dari 50% nelayan kecil masih belum tamat SD, sementara 19% bahkan belum tamat SD. Sebagian besar dari mereka bekerja penuh waktu sebagai nelayan,” jelasnya.

“Beban ekonomi juga tinggi karena selain sebagai satu- satunya pencari nafkah di keluarga, mereka juga harus menghidupi anggota keluarga yang cukup banyak, sekitar 4 sampai 5 anggota keluarga,” tambahnya.

Selain itu perlindungan kesehatan dari hasil penelitian masih rendah. Hal ini menjadi ironi melihat berisiko pekerjaan nelayan yang tinggi. 

“Temuan kami menunjukkan bahwa 27% dari mereka belum memiliki BPJS Kesehatan, bahkan lebih dari 70% tidak memiliki asuransi kesehatan,” lanjut Sartika.

Dalam konteks ancaman perubahan iklim, terutama terkait dengan banjir, rob, dan penurunan permukaan tanah, 

“Temuan kami menunjukkan bahwa nelayan kecil memang rentan terhadap perubahan iklim. Sekitar 37% nelayan melaporkan adanya penurunan permukaan tanah,” terangnya.

Urgensi Penguatan Nelayan Skala Kecil

Mida Saragih, Ocean Program Manager EcoNusa mengatakan perikanan skala kecil itu bukan bersifat tunggal baik dalam konteks nilai-nilai dan tradisi. Perempuan termasuk memiliki peran penting dalam proses perikanan tangkap.

Perikanan skala kecil menurutnya juga menjadi bagian dari penciptaan lapangan pekerjaan, produksi, pemenuhan nutrisi dan merawat budaya. Sehingga kebijakan yang dihasilkan pemerintah mestinya berpihak kepada perikanan skala kecil.

Hasil tangkapan seorang nelayan di Kampung Nelayan Dusun Padang, Kabupaten Selayar. (Foto: Jaring Nusa)

“Kami belajar dari hasil penelitian yang dilakukan oleh KNTI, ketika data dan rekomendasi disampaikan ke pemerintah daerah itu memungkinkan untuk mendorong kebijakan yang berpihak terhadap nelayan,” ujarnya.

Menurutnya, perikanan skala kecil mesti berkelanjutan hingga masa mendatang untuk mendukung tiga komponen penting yakni ekonomi lokal, pangan dan budaya.

Ia juga turut menerangkan jika penelitian kolaborasi yang dilakukan menjadi penting untuk memberikan gambaran yang jelas tentang kondisi nelayan kecil dan memberikan rekomendasi kepada pemerintah untuk membuat kebijakan yang tepat.

“Penting bagi para pemangku kepentingan untuk menyadari kompleksitas kerentanan ini dan mengurai satu persatu masalah untuk memberikan kebijakan yang efektif dalam memitigasi pengaruh negatifnya,” terang Mida, yang juga merupakan koordinator KORAL.

Ia juga menyoroti masalah kesejahteraan nelayan yang masih rendah berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan. Menurutnya, hal yang paling penting dan prioritas adalah meningkatkan kesejahteraan nelayan terlebih dahulu.

“Bila mereka tidak mampu memenuhi nafkah keluarga, upaya konservasi berbasis komunitas akan sulit efektif.

“Dengan mensejahterakan nelayan, mereka tentu lebih mampu mengupayakan perubahan yang lebih luas, terutama di kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil,” tambahnya.

EcoNusa juga sebelumnya telah melakukan penelitian kolaboratif bersama akademisi dari Universitas Khairun mengenai keberlanjutan sistem perikanan tuna skala kecil di Pulau Ternate. Ia menyebut, perlu mendukung keberlanjutan perikanan skala kecil, kebijakan negara harus menunjukkan keberpihakan yang jelas.

“Kita bisa memastikan bahwa perikanan skala kecil terus berlanjut dan memberikan manfaat yang maksimal bagi masyarakat, ekonomi lokal, dan keberlanjutan lingkungan,” pungkasnya.

Kondisi Nelayan di Aceh Selatan

Pada launching riset yang dilakukan turut menghadirkan Jeri Rahmat, nelayan dari Aceh Selatan yang menggambarkan kondisi nelayan di daerahnya. Ia menerangkan beberapa permasalahan yang dihadapi mulai dari akses BBM, pelayanan kesehatan, penjualan hasil tangkapan ikan, sistem penjual ikan hingga Kartu Kusuka.

Menurutnya nelayan setuju dengan pengadaan Kartu Kusuka yang penggunaannya sebagai alat administrasi dan penyaluran bantuan kepada nelayan. Namun menurut dia, perlu evaluasi untuk memastikan kebutuhan mencakup semua secara komprehensif.

“Kami sudah bekerja sama dengan KNTI untuk membuat kartunya. Kami sudah mendaftarkan lebih dari 600 nelayan. Kendalanya, nelayan tidak tahu fungsi selain untuk kelengkapan administrasi proposal,” terangnya.

Lebih lanjut, terkait dengan akses BBM, masalah utama adalah kesulitan dalam mendapatkan surat rekomendasi BBM karena lokasi yang jauh dari kantor dinas kelautan.

“Harapannya adanya UPTD yang dibuat untuk memotong biaya dan waktu bagi nelayan dalam pengurusan administrasi,” jelas Jeri, yang merupakan Ketua DPD KNTI Aceh Selatan.

Ia juga mendorong agar adanya stabilitas harga ikan yang transparan. Menurutnya, nelayan kesulitan dalam menjual ikan langsung kepada pembeli lantaran sering kali harga ikan dimanipulasi oleh pengepul.

“Melalui koperasi nelayan, nelayan dapat memiliki lebih banyak kendali atas penjualan hasil tangkapan mereka dan menghindari pengepul yang memanipulasi harga,” harapnya.

Di pesisir Aceh Selatan, krisis iklim juga berdampak terhadap laju abrasi yang cukup tinggi. Ia menyebut sekitar 30-50 meter ganti pantai yang terdampak abrasi.

“Hal ini menyebabkan kerusakan pada permukiman warga dan tempat-tempat penting seperti pasar, yang terletak hanya beberapa meter dari pantai,” ujarnya.

“Kami berharap pemerintah dapat lebih memperhatikan penghasilan dan kesejahteraan nelayan dalam kebijakan terkait perubahan iklim dan cuaca,” tambahnya.

Potret abrasi pantai di Desa Seubadeh Kecamatan Bakongan Timur, Aceh Selatan pada Rabu (29/5/2024). (Foto: kodimacehselatan.com)

Dicky Gamawan Eko Priambada, Direktorat Perizinan dan Kenelayanan KKP turut menanggapi permasalahan terhadap nelayan skala kecil. Menurutnya, Kartu Kusuka juga merupakan salah satu persyaratan identitas tunggal pelaku usaha di sektor Kelautan dan Perikanan.

“Ada manfaat lain yang belum tersedia di semua kabupaten/kota, seperti penyaluran Converter Gates untuk konversi BBM ke BBG, yang difasilitasi oleh Kementerian SDM dan telah berjalan selama 3 atau 4 tahun terakhir,” terangnya.

KKP sendiri pada tahun 2023 mendaftarkan sebanyak 150.000 Kartu Kusuka. Hal ini menjadi tahun kedua yang dilakukan untuk percepatan pendataan di Kabupaten/Kota. 

“Tahun ini, kami memiliki target nasional sebanyak 72.500 Kartu Kusuka, dengan kolaborasi dari penyuluh perikanan di lebih dari 200 lokasi target di 31 kabupaten/kota,” jelasya.

Ia juga sepakat perlunya pembentukan koperasi untuk membuat rantai penjualan dapat terpotong yang berdampak terhadap harga ikan yang lebih stabil.

“Kami mengharapkan bahwa teman-teman di lapangan dapat mendorong pembentukan koperasi atau organisasi lainnya sehingga rantai penjualan dapat dipotong,” ujarnya.

Rekomendasi Penelitian

Sartika yang mewakili tim riset menjelaskan perlunya upaya sinergi untuk menurunkan kerentanan nelayan dengan memperkuat dan meningkatkan ketahanan nelayan. Terdapat tiga hal yang menjadi rekomendasi dari penelitian tersebut yakni resiko bencana, sensitivitas dan kemampuan adaptif.

Berkaitan risiko bencana, beberapa rekomendasi yang disarankan berkaitan dengan mitigasi bencana, perbaikan literasi dan penyediaan informasi, perlindungan wilayah tangkap nelayan, hingga bantuan renovasi hunian. Selain itu terdapat rekomendasi untuk memperbaiki pasokan, distribusi dan syarat akses BBM subsidi.

Rekomendasi untuk sensitivitas dari hasil penelitian yang dilakukan yakni memfasilitasi alternatif pekerjaan dan penyediaan ruangan pendingin.

Terakhir terkait kemampuan adaptif, rekomendasi yang dikeluarkan adalah perlunya fasilitas dan mendorong keikutsertaan program asuransi, peningkatan pengetahuan dan keterampilan nelayan serta pemberdayaan ekonomi keluarga. 

Selain itu juga perlu peningkatan jangkauan Kartu Kusuka, peningkatan bantuan untuk nelayan miskin, bantuan dan revitalisasi sarana penangkapan.

“Dengan langkah-langkah tersebut, kami berharap dapat memperkuat ketahanan nelayan skala kecil, meningkatkan kesejahteraan mereka, dan memastikan keberlanjutan perikanan skala kecil di Indonesia,” pungkas Sartika.

 

Hasil penelitian selengkapnya dapat dilihat di sini.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *