Pengelolaan ruang laut berbasis masyarakat dalam praktek perikanan merupakan langkah strategis untuk mendorongkan perubahan yang terjadi di masyarakat terutamanya terkait kebijakan perlindungan wilayah kelola rakyat dan pengelolaan perikanan.
Selain itu sumberdaya perikanan juga dianggap sebagai milik bersama. Sebagai sumberdaya milik bersama maka batas-batas tanggung jawab setiap orang yang ada dalam industri perikanan untuk melakukan kontrol atau pengelolaan sumberdaya menjadi tidak jelas sehingga akan menyebabkan penangkapan berlebihan.
Jaring Nusa menggelar sharing session untuk membahas bagaimana LMMA dan prakteknya di Kawasan Timur Indonesia. Kegiatan yang digelar pada senin (13/03/2023) secara daring melalui zoom meeting.
Mengenal LMMA
Saat ini praktek perikanan skala kecil oleh masyarakat dikaitkan dengan aspek konservasi telah mulai semakin banyak dilakukan. Locally Managed Marine Areas (LMMA) merupakan istilah yang popular di kenal, ini merupakan wilayah laut yang dikelola oleh masyarakat pesisir untuk membantu melindungi perikanan dan menjaga keanekaragaman hayati laut.
Cliff Marlessy, Direktur LMMA Indonesia menjelaskan konsep yang dilakukan untuk mendorong masyarakat pesisir untuk mengelola sumber dayanya secara mandiri dan bertanggungjawab.
“Sebenarnya yang kami lakukan bukan sesuatu yang lama, tapi sesuatu yang telah dilakukan oleh masyarakat,” ujarnya.
Ia juga menjelaskan 5 tahap dalam menerapkan LMMA. Pertama adalah dimulai dengan apa yang mereka ketahui dan lakukan dalam keseharian masyarakat.
“Penentuan lokasi yang salah tidak akan menghasilkan yang maksimal,” terangnya
Langkah kedua adalah menentukan secara bersama dimana letak batas pengelolaan laut tradisional dari masing-masing kampung.
Langkah ketiga adalah dengan menulis bersama peraturan mengenai pengelolaan lokal kawasan laut. Basisnya yang baik adalah membentuk peraturan adat baru dilanjutkan dengan peraturan desa.
Langkah keempat yakni menayangkan iklan layanan masyarakat untuk memastikan masyarakat lain dalam mengetahui batas yang dilakukan. Kelima yakni melalui pendekatan dengan pemerintah untuk pengesahan peta dan aturan pengelolaan lokal kawasan laut masyarakat.
“Keberhasilan didapat karena prinsip-prinsip pengelolaan sumber daya alam laut. Hal yang penting untuk dilihat adalah pengetahuan terkait dengan habitat laut,” ujarnya.
Integrasi Kearifan Lokal dalam Kebijakan Pemerintah Daerah
Handoko Adi Susanto, ATSEA-2 Regional Project Manager menjelaskan secara aturan terdapat beberapa kebijakan mengenai pengelolaan sumberdaya laut. Diantaranya yakni UU Perlindungan Nelayan (UU 7/2016) yang menjamin, kepastian usaha perikanan skala kecil menyediakan alokasi ruang untuk usaha dan akses nelayan kecil.
UU Pemerintahan Daerah (23/2014) kewenangan provinsi dalam mengelola laut 0-1 mn, termasuk konservasi dan penataan ruang. Selain itu terdapat UU PWP3K yang mengharuskan pemerintah wajib membuat perencanaan ruang laut. Terdapat pula UU tentang Desa (6/2014) yang memberikan desa kewenangan dalam pengelolaan sumberdaya yang dimiliki.
“Ketika menyusun ruang laut, harus memperhatikan akses publik. Ruang laut itu harus dipastikan juga harus ada akses nelayan kecil hingga masyarakat hukum adat,” jelasnya.
Ia juga menjelaskan jika terdapat potensi dampak re-sentralisasi. Kabupaten tidak mempunyai anggaran untuk mengelola sumberdaya laut. Tidak ada lagi KK Kabupaten. Lack of MCS. Meningkatkan kegiatan ilegal dan destructive fishing. Meningkatnya konflik-konflik sosial.
“Kita bisa saja melakukan pendekatan ke kementerian desa, bagaimana alokasi dana desa harus dialokasikan untuk pengembangan sumber daya ikan,” ujarnya.
“Pemerintah provinsi dan pemkab harus bekerjasama dengan asosiasi masyarakat,” tambahnya.
Praktik LMMA di Tingkat Tapak Kawasan Timur Indonesia
Hery Se, Tananua Flores juga memberikan beberapa beberapa masalah terkait pengelolaan sumber daya laut. Tantangan yang terbesarnya adalah komunitas dan nelayan yang berdasarkan pengalaman teman-teman terkait dengan wilayah pengelolaan ruang laut selALU MENJADI persoalan yang akan menimbulkan konflik.
“Salah satunya terkait dengan kekuasaan wilayah adat, tidak adanya konektivitas yang baik antara pemerintah untuk melindungi kearifan dalam komunitas tersebut,” ujarnya.
Praktik LMMA menunjukkan hasil positif. Yayasan Tananua Flores sendiri dalam empat tahun terakhir melakukan praktik LMMA di 2 kabupaten dengan cakupan 7 Desa melalui pengelolaan gurita. Hasil yang dilakukan terdapat peningkatan pengetahuan dan keterampilan komunitas nelayan terkait dengan proses pengelolaan sumber daya laut.
Ia juga menjelaskan jika masih banyak tumpang tindih peraturan ruang laut. Wilayah tangkap nelayan tumpang tinggi dengan alokasi ruang laut lainnya.
“Sampai pada implementasi tingkat tapak belum tersentuh lebih banyak terkait pengetahuan lokasi ruang laut. Hal ini menjadi pengalaman kami yang mendampingi masyarakat,” tambahnya.
Di Sulawesi Selatan terkait konsep LMMA, secara umum sistem seperti ini masih sangat baru. Itu adalah tantangan tersendiri untuk mengimplementasikan di kota makassar.
Di Pulau Langkai dan Lanjukang telah melakukan sistem buka tutup gurita yang diperkenalkan pada tahun 2021 dan tahun 2022 baru dipraktikan.
“Sistem buka tutup yang kami implementasikan merupakan kesepakatan masyarakat yang disepakati juga oleh pihak-pihak terkait. Namun untuk peraturan secara resmi, terdapat kendala yang kami dapatkan,” ujarnya.
Praktik yang dilakukan mendapatkan manfaat yang sangat besar baik dari sisi ekologi dan peningkatan ekonomi masyarakat. Hasilnya membuat gurita dan ikan kakap kerapu semakin banyak dan memberikan proses pemulihan bagi ekosistem.
“Selain itu mampu menekan tingkat eksploitasi dan menekan ancaman destructive fishing seperti penangkapan menggunakan bom dan bius. Program ini juga melahirkan inisiatif upaya konservasi penyu,” terangnya.
Sementara itu di Kampung Malaumkarta sendiri praktik LMMA dilakukan secara adat. Di Kampung Malaumkarta dikenal sistem buka tutup egek sebagai upaya dari sistem konservasi tradisional yang dilakukan oleh masyarakat hukum adat.
Ketua Masyarakat Hukum Adat Perwakilan PGM menjelaskan terdapat Peraturan Bupati nomor 7 tahun 2017 tentang hukum adat dan kearifan lokal dalam pengelolaan dan perlindungan sumber daya laut di kampung malaumkarta distrik makbon Kabupaten Sorong, Provinsi Papua Barat.
“Hal ini merupakan wujud dari sistem perlindungan kawasan pengelolaan ruang laut sebagai sumber pendapatan kehidupan ekonomi di masyarakat ada dalam satu sistem egek,” ujarnya.
Adapun upaya dan praktik baik dari masyarakat dalam mempertahankan nilai kearifan lokal dalam menjaga potensi sumber daya alam sebagai wujud pemanfaatan nilai ekonomi untuk kebutuhan masyarakat .
“Pembangunan gedung gereja tahun 2003-2009 dan pembangunan rumah pastori bagi nelayan 2016-2017 merupakan hasil dari hasil sistem buka tutup sasi,” ujarnya.