Masa Depan Hak Asasi Manusia sebagai Dasar Gugatan Litigasi Perubahan Iklim di Indonesia

Masa Depan Hak Asasi Manusia sebagai Dasar Gugatan Litigasi Perubahan Iklim di Indonesia

Share on facebook
Share on twitter
Share on linkedin
Share on whatsapp

Hingga kini, belum ada preseden pengadilan mengakui adanya pelanggaran HAM dalam gugatan perubahan iklim yang menggunakan HAM sebagai dasar gugatannya, sehingga jumlah gugatan tersebut masih tergolong sedikit. Kendati demikian, HAM sebagai dasar gugatan dalam litigasi perubahan iklim memiliki potensi besar untuk dikembangkan, khususnya di Indonesia.

Hal ini mengingat bahwa sejatinya Indonesia merupakan negara yang mengakui keberadaan HAM. Pengakuan tersebut tidak hanya dapat terlihat dalam Konstitusi Indonesia yang mengandung pengakuan atas hak-hak asasi manusia, termasuk hak atas lingkungan yang baik dan sehat, tetapi juga dengan adanya UU HAM.

Selain itu, Indonesia merupakan negara yang mengadopsi dan meratifikasi instrumen Perserikatan Bangsa-Bangsa terkait HAM, seperti DUHAM, Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil Dan Politik, dan Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya. Oleh karena itu, HAM sebagai dasar gugatan dalam litigasi perubahan iklim sangat memungkinkan untuk diterapkan lebih jauh di Indonesia.

Lebih lanjut, litigasi perubahan iklim dengan dasar HAM berpotensi menimbulkan dampak yang positif. Sejatinya, potensi dampak litigasi perubahan iklim dengan dasar HAM dapat diklasifikasikan menjadi dua, yakni dampak langsung dan dampak tidak langsung.

Dampak langsung berarti litigasi perubahan iklim dengan dasar HAM berdampak langsung terhadap hukum yang berlaku, seperti terjadinya perubahan terhadap hukum yang berlaku atau bahkan dapat berupa keputusan pemerintah untuk mengadopsi target pengurangan emisi yang lebih ambisius.

Hal yang sama juga dapat terjadi di Indonesia, melalui litigasi perubahan iklim berbasis HAM, pemerintah Indonesia dapat dituntut untuk melakukan upaya-upaya yang lebih serius dalam menangani perubahan iklim di Indonesia, tak terbatas pada kenaikan target penurunan emisi gas rumah kaca semata.

Sejumlah warga Pulau Pari menggelar aksi di depan Pengadilan Negeri Jakarta Utara, (Foto: Raditya Helabumi)

Tak terhitung telah terjadi berapa banyak bencana alam yang merupakan kausalitas dari terjadinya perubahan iklim di Indonesia. Data The Emergency Events Database (EM-DAT) menunjukkan bahwa, sejak tahun 1953 sampai 2022, bencana banjir dan longsor yang terjadi di Indonesia rata-rata naik sebanyak 23,2% setiap tahunnya. Perubahan iklim menyebabkan kerusakan terhadap lingkungan yang menimbulkan dampak sosial hingga kesehatan dan kerap menjadi derita bagi warga negara.

Pada akhir tahun 2021 sampai pertengahan 2022 misalnya, curah hujan tinggi karena perubahan iklim menyebabkan kurang lebih 578,5 hektar lahan padi di empat daerah Jambi dan ratusan hektar tomat dan cabai di daerah Garut mengalami gagal panen. Bila dibiarkan tanpa solusi, maka perubahan iklim akan mengancam ketahanan pangan nasional Indonesia.

Dengan adanya preseden dan pengakuan hak atas lingkungan hidup, gugatan litigasi perubahan iklim berbasis HAM diharapkan dapat terwujud di Indonesia. Selain itu, pengadilan umumnya hanya mengusut kasus perbuatan melawan hukum yang telah ada akibatnya.

Dengan adanya litigasi perubahan iklim berbasis HAM, gugatan dapat dikabulkan tanpa perlu adanya peristiwa yang eksplisit, misalnya dengan didasarkan pada upaya mitigasi dan adaptasi. Dengan demikian, gugatan tersebut mendorong pengadilan untuk lebih berpihak kepada lingkungan.

Lebih dari itu, adanya HAM sebagai dasar gugatan dalam litigasi perubahan iklim dapat mempertegas ruang lingkup kewajiban pemerintah dalam pemenuhan HAM. Tentu saja, litigasi berbasis HAM tidak menjamin keberhasilan dalam mendorong penerapan mitigasi dan adaptasi perubahan iklim di Indonesia.

Selain sulitnya gugatan diterima dan argumentasi HAM dipertimbangkan oleh majelis hakim, seandainya gugatan dikabulkan pun, hambatan lainnya dapat saja ditemui dari segi teknis, misalnya eksekusi dari putusan itu sendiri.

Kendati demikian, potensi yang ditawarkan dengan membawa HAM sebagai dasar gugatan tetap sangatlah besar dalam mendorong lahirnya kebijakan-kebijakan yang dapat memudahkan mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. Oleh karena itu, dasar gugatan HAM tetap layak untuk dipertimbangkan potensinya demi memperluas upaya untuk mengendalikan perubahan iklim melalui litigasi di Indonesia.

 

Artikel ini diterbitkan oleh Jurnal Hukum Lingkungan Indonesia. Baca artikel sumber.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *