Mengusung Isu Lingkungan dan Perubahan Iklim di Pemilu

Mengusung Isu Lingkungan dan Perubahan Iklim di Pemilu

Share on facebook
Share on twitter
Share on linkedin
Share on whatsapp

Isu lingkungan biasanya bukan menjadi isu utama yang disampaikan oleh para calon pemimpin politik di dunia. Isu paling utama yang biasa disampaikan adalah isu-isu bidang ekonomi dan sosial.

Pada konsep pembangunan yang diusung di seluruh dunia saat ini, yaitu model pembangunan berkelanjutan, isu lingkungan akan selalu diletakkan di urutan paling bawah, kecuali ketika dampaknya mulai menyentuh ranah kehidupan sehari-hari.

Contoh, masyarakat Jakarta saat ini seharusnya sudah menyadari pentingnya kualitas udara dan mencoba melihat bagaimana pimpinan politik yang mencalonkan diri mampu menjawab permasalahan polusi udara di Jakarta yang masuk kategori tidak sehat.

Selamanya, isu lingkungan akan diperhatikan ketika dampaknya sudah dirasakan oleh banyak orang, baik berupa kualitas udara, air, kebencanaan, dan ujungnya di kondisi ekonomi.

Menjelang tahun politik di 2024 ada baiknya isu-isu lingkungan hidup dan perubahan iklim mulai disebarluaskan secara terus-menerus kepada calon-calon pemilih. Tujuannya adalah supaya pemilih secara jeli mampu membaca dan memahami mana pimpinan yang peduli atas isu lingkungan hidup dan perubahan iklim, dan mana yang tidak.

Ada beberapa indikator yang menunjukkan apakah calon pimpinan politik peduli atas kedua isu lingkungan hidup dan perubahan iklim. Indikator pertama, meletakkan urgensi permasalahan lingkungan hidup dan perubahan iklim.

Ambil contoh kapan target pencapai penurunan emisi ditetapkan menjadi contoh bagaimana urgensi permasalahan ini dilihat oleh calon pemimpin.

Unjuk rasa pemuda dan aktivis memprotes perubahan iklim dalam Aksi Global Climate Strike di Jakarta, 3 Maret 2023 (Foto: Willy Kurniawan/Reuters)

Indikator lainnya adalah seberapa spesifik isu ini disampaikan oleh calon pemimpin. Semakin spesifik isu lingkungan hidup disampaikan dengan dukungan data dan informasi yang lengkap, maka akan semakin jelas komitmen akan isu ini.

Misalnya, jika pimpinan bisa menyampaikan informasi mengenai angka deforestasi secara time series dan kemudian menyebutkan target deforestasi ke depan dalam masa jabatannya nanti dengan angka yang spesifik, maka angka ini akan menjadi sebuah janji politik yang sifatnya mengikat.

Apakah isu lingkungan hidup dan perubahan iklim akan menjadi salah satu pertimbangan calon pemilih untuk menentukan pilihan, sebenarnya masih perlu dilakukan kajian khusus. Bahkan, secara garis besar apakah pemikiran yang sama telah larut dalam pemikiran masyarakat di Indonesia, sebenarnya masih menjadi pertanyaan besar.

Sebuah studi Yale pada 2021 tentang Yale Climate Opinion Maps 2021 menyebutkan bahwa 72 persen masyarakat dewasa di Amerika Serikat menyadari bahwa perubahan iklim itu telah terjadi. Di Indonesia pernah dilakukan survei sejenis oleh Development Dialogue Asia dan hasilnya hanya 47 persen masyarakat yang menyadari perubahan iklim telah terjadi.

Secara detail, hasilnya adalah dari 88 persen responden mengaku pernah mendengar istilah perubahan iklim, hanya 44 persen dari mereka (alias 39 persen dari populasi) yang bisa menjawab definisi yang benar tentang perubahan iklim.

Selain itu, hanya 1 dari 3 responden yang menjawab pemanasan global telah terjadi saat ini, dan kurang dari setengah populasi (47 persen) yang percaya bahwa pemanasan global disebabkan terutama oleh manusia.

Lalu bagaimana dengan isu lingkungan hidup seperti konservasi keanekaragaman hayati di Indonesia? Rasanya isu ini pun belum melekat di pemikiran banyak pemilih di Indonesia. Salah satu kondisi keanekaragaman hayati di Indonesia seperti hasil kajian A Setiawan 2022 yang mengumpulkan data dari lembaga-lembaga yang kompeten dan dianalisis secara deskriptif.

Indonesia memiliki keanekaragaman flora dan fauna yang tinggi. Dari 1.812.700 spesies yang telah dipertemukan di dunia, 31.750 (1,75 persen) spesies terdapat di Indonesia, bahkan kelompok lumut lebih dari 10 persen.

Untuk fauna, Indonesia menempati kekayaan fauna nomor dua setelah Brasil, sekitar 12 persen mamalia, 16 persen reptil, 17 persen burung dunia terdapat di Indonesia. Sementara dalam jumlah mamalia dan amfibi Indonesia menempati peringkat kelima dan keenam.

Indonesia juga terkenal dengan keanekaragaman ekosistem pesisirnya, yang mengandung 18 persen terumbu karang dunia, lebih dari 70 genera dan 500 spesies karang, 2.500 spesies ikan, 2.500 spesies mollusca, 1.500 spesies crustacea, dan berbagai biota laut lainnya.

Unjuk rasa pemuda dan aktivis memprotes perubahan iklim dalam Aksi Global Climate Strike di Jakarta, 3 Maret 2023 (Foto: Willy Kurniawan/Reuters)

Ancaman

Namun, Indonesia juga dinilai sebagai negara dengan penurunan keanekaragaman yang tinggi. Indonesia memiliki 583 spesies yang terancam punah, di antaranya mamalia 191 spesies dan burung 160 spesies.

Sebagai upaya pelestarian keanekaragaman hayati, Indonesia telah menetapkan kawasan konservasi seluas 46.279.090,10 hektar, terdiri dari 27.134.394,79 hektar kawasan konservasi terestrial dan 19.144.695,28 hektar kawasan konservasi laut, serta melindungi 904 spesies, terdiri atas 787 fauna dan 117 flora.

Di sisi lain ancaman terhadap keanekaragaman hayati di Indonesia semakin besar, di antaranya yang terbesar adalah kehilangan habitat, ada banyak kebijakan pembangunan yang mengabaikan keberadaan habitat satwa penting di Indonesia sehingga memicu kepunahan spesies asli Indonesia.

Di sisi lain ancaman keanekaragaman hayati adalah perburuan dan penangkapan ilegal yang banyak terjadi akibat kurangnya pelaksanaan dan penegakan hukum terkait isu ini.

Isu lingkungan hidup dan perubahan iklim akan semakin bergeser dan mendekat dengan isu-isu sosial, faktor penting yang memengaruhi kualitas hidup sosial masyarakat dan ke depan ekonomi masyarakat.

Isu lingkungan hidup ini perlu menjadi pembelajaran untuk para calon pemilih sehingga bisa menentukan siapa calon pimpinan baik eksekutif maupun calon wakil rakyat peduli dan menjadikan isu lingkungan hidup dan perubahan iklim dalam agenda pembangunan lima tahun ke depan.

 

Foto utama: Unjuk rasa pemuda dan aktivis memprotes perubahan iklim dalam Aksi Global Climate Strike di Jakarta, 3 Maret 2023 (Foto: Willy Kurniawan/Reuters)

Penulis: Musnanda Satar, Conservation Planning Senior Manager Yayasan Konservasi Alam Nusantara

Artikel ini diterbitkan di kompas.id. Baca artikel sumber.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *