Menilik Praktik dan Peran Gender Dalam Kehidupan Bajo Torosiaje

Menilik Praktik dan Peran Gender Dalam Kehidupan Bajo Torosiaje

Share on facebook
Share on twitter
Share on linkedin
Share on whatsapp

Gender merupakan perilaku yang dipelajari di dalam kehidupan sosial dan budaya masyarakat yang dikondisikan bahwa kegiatan, tugas atau tanggung jawab antara perempuan dan laki-laki memiliki peran yang sama. Kemudian peran yang dijalankan patut diterima baik oleh laki-laki maupun perempuan.

Peran gender dan praktiknya dapat berubah. Dipengaruhi oleh umur, kelas, ras, etnik, agama, lingkungan geografi, ekonomi dan politik. Pada dasarnya perempuan maupun laki-laki memiliki peran ganda di dalam kehidupan bermasyarakat. Perempuan kerap mempunyai peran dalam mengatur reproduksi, produksi dan kemasyarakatan sementara laki-laki lebih terfokus pada produksi dan politik kemasyarakatan.

Kesetaraan gender bertujuan melibatkan laki-laki dan perempuan dalam menyikapi permasalahan mereka terkait pembangunan, mereformasi lembaga-lembaga untuk membangun hak-hak dan peluang yang setara serta mendorong perkembangan ekonomi yang menguatkan kesetaraan partisipasi perempuan dan laki-laki.

Kesetaraan gender dikenal juga dengan keadilan gender yang memiliki pandangan bahwa semua orang harus menerima perlakuan yang setara dan tidak mendiskriminasi berdasarkan identitas gender mereka yang bersifat kodrati. Kesetaraan gender akan memperkuat kemampuan negara untuk berkembang mengurangi kemiskinan dengan memerintah secara efektif (United Nations, 2016). Dengan demikian maka kesetaraan gender akan mengurangi kemiskinan dan berelasi dengan ketahanan pangan suatu wilayah (Dortje L. Y. Lopulalan, 2022).

Konrad dan Harris (2002) mengutip pendapat Holt dan Ellis bahwa peran gender adalah sikap, perilaku, hak, dan tanggung jawab yang terkait dengan jenis kelamin seseorang. Peran gender terbentuk berdasarkan harapan masyarakat mengenai sikap dan perilaku seseorang dalam kehidupan sehari-hari yang didasarkan pada jenis kelamin orang tersebut.

Peran gender terbagi dua, yaitu tradisional dan egaliter. Individu yang memiliki sikap positif terhadap peran gender tradisional cenderung membedakan aktivitas peran, atribut kepribadian, atribut fisik, dan atribut kognitif dari laki-laki dan perempuan sesuai dengan stereotipe yang berlaku dalam masyarakat (Zainuri, 2002) dan Lianawati (2020).

Lisnawati (2022) dalam penelitiannya tentang “Sikap peran gender dan dampaknya terhadap pengajaran pendeta laki-laki” mengungkapkan bahwa Masyarakat Indonesia menganut sistem patriarki yang menempatkan laki-laki di posisi utama dan mensubordinasikan perempuan. Sistem ini merugikan perempuan baik secara fisik, sosial, dan emosional. Oleh sebab itu, sejumlah aktivis berusaha memperjuangkan nasib perempuan di Indonesia dengan mengembangkan kesetaraan gender dalam masyarakat.

Berbagai definisi tentang gender di atas kita dapat memahami bahwa peran laki-laki dan perempuan setara dalam berbagai aspek, pemikiran maupun peran dalam kehidupan sosial. Maka yang jadi pertanyaan bagi kita semua adalah bagaimana peran gender dalam kehidupan masyarakat, khususnya Suku Bajo yang ada di Desa Torosiaje, Kabupaten Pohuwato, Provinsi Gorontalo?

Peran gender saat ini mulai menjadi topik dalam ruang-ruang diskusi. Topik ini bermunculan dalam berbagai perspektif, akibat ketidakseimbangan peran antara perempuan dan laki-laki dalam menjalankan peran. Kemudian dominasi laki-laki terhadap perempuan yang menganggap perempuan merupakan kasta kedua dan laki-laki memegang kendali dalam menentukan keputusan masih mengakar dalam kebudayaan bermasyarakat.

Penulis ingin mengajak kita mengamati tentang praktik kesetaraan gender dalam kehidupan Suku Bajo Torosiaje. Sebelum Suku Bajau yang bermukim di Desa Torosiaje, merupakan sebuah desa yang berada di ujung Kabupaten Pohuwato yang memiliki tata letak berada diatas permukaan laut.

Desa Torosiaje memiliki jumlah jiwa mencapai 1478, pada umumnya desa ini dikenal dengan Suku Bajo-nya namun tidak hanya Suku Bajo yang bermukim di desa tersebut. Kurang lebih memiliki 12 suku yang sudah lama hidup berdampingan di Desa Torosiaje. Suku-suku ini berasal dari berbagai suku di indonesia, seperti: Suku Tomini, Bugis, Makassar, Jawa, Ambon, Kendari, Sulawesi Tengah dan Manado. Namun suku mayoritas sejak dulu hingga saat ini adalah Suku Bajo.

Dilihat dari segi pekerjaan, masyarakat Suku Bajo hampir 90% memiliki profesi sebagai nelayan. Tentu profesi nelayan ini didukung dengan kondisi geografis dan tata letak wilayah yang berada di atas permukaan laut dan juga berada di teluk terluas di Pulau Sulawesi atau dikenal Teluk Tomini.

Biasanya aktivitas melaut hanya dilakukan oleh laki-laki, namun di Desa Torosiaje pekerjaan melaut juga dilakukan oleh perempuan. Aktivitas itu sejak sudah lama dijalankan, bahkan sejak nenek moyang mereka. Sejak kecil mereka sudah diajarkan untuk bertahan hidup di atas laut. Jika dilihat dengan kasat mata kehidupan sosial masyarakat suku bajo tak ubahnya dengan peran masyarakat pada umumnya, yaitu perempuan akan mengurus rumah tangga dan laki-laki akan mencari nafkah.

Namun ketika kita melihat dengan seksama kehidupan masyarakat suku Bajo, walaupun sudah menjalankan tugas dan tanggung jawab sesuai kehidupan sosial dan budaya masyarakat pada umumnya, terdapat beberapa aktivitas yang menunjukkan keseimbangan peran pekerjaan antara perempuan dengan laki-laki. Peran pekerjaan ini yang sering kita sebut dengan peran gender.

Secara alamiah praktik kesetaraan gender dalam kehidupan masyarakat Suku Bajo sudah menjadi kebiasaan sejak dulu. Namun kita bertanya kepada mereka tentang apa itu peran gender? Maka mereka tidak akan menjawab hal itu, karena masyarakat suku bajo tidak pernah tahu apa itu peran gender. Namun secara alamiah kehidupan sosial budaya masyarakat sudah menjalankan peran kesetaraan gender dalam kehidupan mereka.

Saat kita berkunjung di Desa Torosiaje, kita akan melihat perempuan Bajo mencuci baju dan laki-laki akan membantu untuk membilas serta menjemur pakaian. Bukan hanya itu saja, kita pun akan melihat aktivitas laki-laki yang akan mencuci piring maupun memasak. Pekerjaan ini dilakukan ketika istrinya sedang sibuk melakukan pekerjaan lain atau istri sedang sakit. Sebaliknya perempuan Bajo pun turut andil dalam pekerjaan laki-laki, seperti melakukan persiapan sebelum suaminya akan turun melaut.

Profesi nelayan memang tergolong pekerjaan yang cukup berat. Uniknya pekerjaan melaut di Desa Torosiaje tidak hanya dilakukan laki-laki, perempuan pun turut membantu pekerjaan tersebut dengan mencari beragam ikan yang dapat dijangkau, seperti: bia, gurita, kerang dan teripang. Bahkan tidak sekedar membantu profesi laki-laki, namun profesi nelayan pun dilakukan oleh beberapa perempuan Torosiaje.

Melihat praktek dan peran perempuan dan laki-laki Suku Bajo cukup membantah stereotip bahwa pekerjaan perempuan hanya mengurusi urusan rumah dan anak. Mumu Temi adalah pria asli Bajo Torosiaje, ia memandang bahwa pekerjaan yang dilakukan perempuan pada umumnya merupakan pekerjaan yang juga dilakukan laki-laki. Menurutnya pekerjaan mengurus dapur dan anak juga menjadi tanggung jawab bersama.

Terlepas bagaimana peran gender dalam kehidupan Suku Bajo, terdapat permasalahan yang cukup urgen untuk diketahui yang berkaitan tentang kesetaraan. Adalah pengakuan negara terhadap profesi nelayan perempuan. Tentu profesi nelayan sudah lama dilakukan beberapa perempuan Bajo di Torosiaje, namun belum tersentuh terhadap layanan pemerintah. Misalnya dalam pembagian bantuan pemerintah daerah maupun pusat yang hanya menyentuh nelayan laki-laki saja.

Ibu Halimah Andang, perempuan yang sejak lama berprofesi sebagai nelayan, namun tak sekalipun tersentuh bantuan. Bahkan ia harus melakukan pekerjaannya dengan perahu rusak, perahu usang itu menjadi sumber penghasilan nafkah kehidupannya.

Selain Ibu Halimah, keluhan serupa juga dikeluhkan oleh Ibu Farida Sairullah, misalnya untuk mendapatkan layanan Kartu Pelaku Usaha Kelautan dan Perikanan (KUSUKA). Kartu layanan sekaligus identitas profesi merupakan kartu yang wajib dimiliki nelayan, namun selama menjalankan profesi nelayan  Halimah dan Farida tak pernah memiliki kartu KUSUKA.

Musabab tidak adanya kartu KUSUKA adalah identitas pekerjaan dalam Kartu Tanda Penduduk (KTP) yang tertulis sebagai ibu rumah tangga. Akibatnya tidak ada toleransi kepada Halimah dan Farida untuk mengakses kartu KUSUKA yang dikeluarkan Kementerian Kelautan dan Perikanan tanpa memandang kehidupan mereka. Halimah memiliki latar belakang seorang janda yang menjadi tulang punggung keluarga.

Untuk akses layanan profesi nelayan dan bantuan pemerintah, Halimah dan Farida terpaksa harus mengubah identitas pekerjaan KTP menjadi nelayan. Bantuan pemerintah yang diharapkan sebagai penunjang profesi nelayan perempuan yang sudah mereka tekuni sejak lama.*

Penulis adalah anggota JAPESDA dan pendamping desa untuk program “Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan yang Berbasis  Masyarakat” di Desa Torosiaje, Kabupaten Pohuwato, Provinsi Gorontalo.

Sumber tulisan dapat diakses japesda.com

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *