Perjanjian BBNJ, Momentum Kawasan Konservasi Laut di Laut Lepas

Perjanjian BBNJ, Momentum Kawasan Konservasi Laut di Laut Lepas

Share on facebook
Share on twitter
Share on linkedin
Share on whatsapp

Pada 20 September 2023, bertempat di Gedung Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Markas Besar PBB di New York, Menteri Luar Negeri Indonesia, atas nama Pemerintah RI, menandatangani Perjanjian tentang Keanekaragaman Hayati Laut di Luar Yurisdiksi Nasional (Biodiversity Beyond National Jurisdiction/BBNJ).

Lagi-lagi, Indonesia mengulang apa yang dulu pernah dilakukan pemerintah kita terhadap Konvensi Hukum Laut (United Nations Convention on the Law of the Sea/UNCLOS) tahun 1982 menjadi negara yang menandatangani Perjanjian BBNJ pada kesempatan pertama dan menunjukkan komitmen yang kuat terhadap keanekaragaman hayati laut dan kepentingan negara kepulauan.

Sebelumnya, pada 19 Juni 2023, Indonesia bersama ratusan negara anggota PBB lainnya menjadi saksi sejarah disahkannya Perjanjian BBNJ. Ini merupakan langkah raksasa dalam upaya global mendorong tata kelola keanekaragaman hayati laut yang lebih baik di laut internasional demi kemaslahatan seluruh umat manusia.

BBNJ adalah instrumen internasional yang mengikat secara hukum terkait dengan konservasi dan pemanfaatan berkelanjutan dari keanekaragaman hayati laut di area di luar yurisdiksi nasional (Area Beyond National Jurisdiction/ABNJ).

Perjanjian ini berada di bawah UNCLOS, dan dikenal juga sebagai United Nations High Seas Treaty. Laut lepas (high seas), menurut hukum internasional, adalah lautan yang berada di luar Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE), laut teritorial, perairan pedalaman suatu negara atau perairan di dalam negara kepulauan.

Naskah Perjanjian BBNJ memang telah disepakati secara konsensus, tetapi pekerjaan jauh dari selesai. Selain harus diratifikasi oleh minimal 60 negara anggota PBB agar traktat ini dapat berlaku efektif, Indonesia juga harus berpikir mulai dari mana implementasi perjanjian tersebut.

Menteri Luar Negeri Retno Marsudi menandatangani perjanjian soal konservasi dan pemanfaatan berkelanjutan atas keragaman hayati laut di luar yuridiksi negara atau laut lepas mulai ditandatangani di Markas Besar PBB di New York, Rabu (20/9/2023). (Foto: FX Laksana Agung Saputra/Kompas)

Pilar-pilar BBNJ

Terdapat empat pilar Perjanjian BBNJ. Pertama, sumber daya genetik laut (marine genetic resources/MGRs), termasuk pembagian manfaat yang adil dan merata (fair and equitable sharing of benefits). Kedua, perangkat pengelolaan berbasis kawasan (area-based management tools/ABMTs), termasuk Kawasan Konservasi Laut/KKL (Marine Protected Areas/MPAs).

Ketiga, analisis mengenai dampak lingkungan (environmental impact assessments/EIAs). Keempat, pengembangan kapasitas dan transfer teknologi kelautan (capacity building and transfer of marine technology/CBTMT). ABMTs dan EIAs terutama terkait dengan konservasi dan pemanfaatan berkelanjutan dari keanekaragaman hayati laut, sementara MGRs dan CBTMT terkait isu keadilan dan kesetaraan ekonomi.

Poin penting lain di luar empat pilar di atas adalah diterimanya prinsip warisan bersama umat manusia (common heritage of mankind) dan isu-isu lintas sektoral (cross-cutting issues). Poin terakhir ini termasuk pembentukan badan-badan baru yang diperlukan, seperti Scientific and Technical Body, di mana Indonesia dapat berkiprah di dalamnya dengan mengirimkan para ilmuwan.

Fokus pada kawasan konservasi laut

Lalu, untuk implementasi Perjanjian BBNJ, Indonesia bisa memulai dari mana? ABMTs/MPA bisa menjadi titik masuk. Indonesia selama ini dikenal sebagai negara yang gencar mengupayakan pendirian KKL, termasuk ambisi mendirikan KKL seluas 30 persen dari luas laut yang dimiliki pada 2030 (target 30 x 30).

Sejauh ini, KKL Indonesia didirikan di wilayah teritorial kurang dari 12 mil laut dari garis pantai, termasuk perairan pedalaman di antara pulau. Indonesia belum memiliki KKL di ZEE (sampai 200 mil laut dari garis pantai), apalagi laut internasional di sekitarnya. Berbeda dengan Australia yang telah mendirikan KKL di ZEE. KKL di ZEE bisa menjadi ancang-ancang menuju pendirian KKL di laut lepas sebagai implementasi dari Perjanjian BBNJ.

Sebenarnya, menurut catatan Erich Hoyt—penulis buku Marine Protected Areas for Whales, Dolphins and Porpoises—ide mendirikan KKL yang mencakup wilayah teritorial dan ZEE Indonesia pernah diusulkan pada 1982 yang bernama Indonesian Marine Mammal Management Area (awalnya bernama Indonesia Whale Sanctuary). Area yang diusulkan tidak tanggung-tanggung, luasnya lebih dari 6 juta kilometer persegi (km²) dan pernah diusulkan kembali tahun 2004, tetapi tidak pernah terealisasi.

Tim Nasional Indonesia pada IGC BBNJ (Foto: Kemenko Marves)

Dengan ditandatanganinya Perjanjian BBNJ oleh Pemerintah RI, langkah Indonesia untuk mendirikan KKL di luar laut teritorialnya mendapatkan momentum. Habitat mamalia laut, terutama cetacea (paus dan lumba-lumba), dapat menjadi kandidat lokasi KKL.

Hal ini karena, masih menurut Hoyt, tiga perempat spesies cetacea dunia menggunakan laut lepas sebagai habitatnya. Di laut lepas, di mana tekanan manusia relatif lebih sedikit dibandingkan dengan di pesisir, perlindungan 5 persen area mungkin cukup dibandingkan di pesisir yang mensyaratkan 30 persen.

Hasil riset penulis bersama tim yang dipublikasikan di jurnal Biological Conservation pada 2022 juga berhasil mengidentifikasi koridor migrasi, area inti, dan habitat paus biru kerdil di laut internasional antara Indonesia dan Australia, masing-masing seluas 217.732 km², 31.972 km², dan 1.536 km². Luasan ini cukup jika Pemerintah RI ingin memulai mendirikan KKL di laut lepas.

Langkah awal

Kita berharap perjanjian ini akan menjadi langkah awal bagi tata kelola keanekaragaman hayati laut di luar yurisdiksi nasional yang lebih baik dan berkelanjutan di masa depan. KKL yang didirikan kelak semoga tidak hanya di atas kertas. Namun, bahkan jika pun hanya di atas kertas, masih lebih baik dibandingkan dengan tidak adanya KKL sama sekali.

Kendala yang mungkin timbul dari pendirian KKL di laut lepas adalah rendahnya kemauan politik (political will), rendahnya kepatuhuan (compliance), serta sulitnya monitoring dan penegakan hukum (enforcement).

Namun, penetapan KKL di laut lepas memberikan dua manfaat. Pertama, sebagai branding untuk memasarkan KKL. Kedua, mengedukasi masyarakat (misal nelayan dan pelaku perikanan di laut lepas) bahwa area tersebut istimewa sehingga perlu perlakuan khusus.

 

 

Penulis: Achmad SahriPeneliti Pusat Riset Oseanografi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN)

Foto Utama: Intergovernmental Conference on the Establishment of International Legally Binding Instrument Under UNCLOS on the Conservation and Sustainable Use of Marine Biological Diversity of Areas Beyond National Jurisdiction (IGC BBNJ) (Foto: Kemenko Marves)

Artikel ini diterbitkan oleh Kompas.id. Baca artikel sumber.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *