Koalisi masyarakat sipil yang meliris surat bersama atas perdagangan karbon pada senin (18/09/2023). Dalam surat tersebut koalisi menyerukan untuk memboikot perdagangan karbon, hentikan pelepasan dan pembongkaran emosi serta percepat pengakuan wilayah adat dan wilayah kelola rakyat.
Koalisi yang tergabung dalam surat bersama ini yakni WALHI, AMAN, JATAM, Yayasan PUSAKA, PPMAN, Sekolah Ekonomi Demoktratik dan Greenpeace,
Secara global, ekstraksi fossil bawah tanah untuk kebutuhan energi (listrik, pemanas ruangan, dan transportasi) menyumbang sebesar 73% dari Emisi Gas Rumah Kaca (GRK) global. Sektor terbesar kedua yaitu pertanian, kehutanan, dan tata guna lahan, menyumbang sebesar 18%, serta proses industri langsung 5% dan sampah sebesar 3%.
Menurutnya, sepanjang tahun 2000 hingga 2020 Indonesia melepaskan sebesar 24,7 juta giga ton emisi ke atmosfer. Dua sektor yang menjadi emitor terbesar adalah sektor energi dan sektor kehutanan serta penggunaan lahan (FOLU). Sektor energi berkontribusi sebesar 38% atau sebesar 9 juta giga ton dari total pelepasan emisi Indonesia.
“Sektor energi relatif secara konsisten tiap tahunnya melepas emisi dalam jumlah yang besar, bahkan ke depan jumlahnya akan terus bertambah seiring dengan meningkatnya jumlah konsumsi energi dan kebijakan perdagangan karbon yang memungkinkan PLTU batubara tetap beroperasi selama mereka melakukan penyeimbangan karbon (carbon Offset),” terang koalisi dalam surat bersama.
Kebijakan co-firing pada pembangkit listrik tenaga uap, dengan mencampur 5% biomassa dengan bahan baku yang berasal dari hutan tanaman energi dan sampah dan 95% nya batubara. Situasi ini akan semakin diperparah dengan program pemerintah Indonesia yang juga didorong dunia internasional untuk membangun ekosistem kendaraan listrik yang akan mengekstraksi nikel dalam skala besar.
“Saat ini, luas konsesi pertambangan nikel telah mencapai 1 juta hektar, dan 700 hektarnya berada dalam kawasan hutan. Pembangkit-pembangkit listrik skala besar lainnya seperti panas bumi/geothermal, tenaga air, yang diklaim sebagai energi bersih juga terus beroperasi dalam skala yang luas dan besar,” ungkap koalisi dalam surat tersebut.

Sektor kehutanan dan penggunaan lahan/FOLU juga menjadi emitor besar GRK. Meskipun sektor FOLU cenderung fluktuatif namun sepanjang 2000 hingga 2020 sektor ini melepaskan emisi GRK sebesar 4,7 juta ton. Namun sektor ini mengalami lonjakan hingga 10 juta giga ton (42%) yang sebagian besar disebabkan emisi dari kebakaran gambut besar pada 2015 dan 2019.
“Kebakaran hutan dan lahan gambut ini didorong oleh masifnya penerbitan izin untuk kebun kayu (Hutan Tanaman Industri) dan kebun sawit di atas ekosistem gambut dan hutan. WALHI mencatat sebanyak 969 perusahaan berada di kawasan ekosistem gambut dan hutan ini,” jelasnya.
Sektor FOLU di Indonesia didominasi dengan monokultur sawit skala besar yang saat ini telah mencapai 16 juta hektar, yang sebagian besarnya dimiliki oleh korporasi.
Bukan hanya itu saja, secara legal, seluas 8 juta hektar hutan telah dilepaskan dan sebesar 6 juta hektar hutan yang dilepaskan tersebut diperuntukkan menjadi konsesi
monokultur sawit.
Secara ilegal, saat ini seluas 3 juta hektar hutan telah berubah menjadi perkebunan monokultur sawit. Celakanya tidak ada penegakan hukum yang memberikan efek jera kepada korporasi sehingga kejahatan kebakaran hutan dan lahan terus berulang setiap tahunnya.