Jaring Nusa KTI kembali menggelar sharing session pada Jumat (7/10/2022) yang digelar secara daring. Tema yang diangkat dalam kegiatan ini membahas mengenai praktik pengelolaan berkelanjutan serta upaya pemulihan pesisir dan pulau kecil di Teluk Tomini.
Teluk Tomini merupakan teluk terbesar di Indonesia, dengan luas lebih dari 6.000.000 hektar yang melingkupi tiga provinsi, yakni Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah dan Gorontalo. Menurut data BPS, Teluk Tomini memiliki sekitar 90 pulau, yang sebagian berada di bawah wilayah Pemerintah Provinsi Gorontalo dan Provinsi Sulawesi Tengah.
Pengelolaan sumberdaya alam di wilayah pesisir dan laut teluk Tomini dalam beberapa dekade telah menghadapi berbagai masalah baik secara sosial, ekonomi dan ekologi yang mengancam keberlanjutan fungsi ekologi kawasan di wilayah ini.
Adapun permasalahan antara lain konflik pemanfaatan ruang, pencemaran lingkungan, destruktif fishing, degradasi habitat pesisir dan keterancaman keanekaragaman hayati. CSO di lingkar kawasan Teluk Tomini dalam beberapa tahun terakhir telah memulai aksi penyelamatan ekosistem teluk serta mendorong tata kelola wilayah pesisir dan laut secara berkelanjutan.
Tantangan yang dihadapi Teluk Tomini
Nurain Lapolo, Direktur JAPESDA menjelaskan jika Teluk Tomini tidak terlepas dari masalah yang dihadapi. Permasalahan di wilayah pesisir dan pulau kecil di Teluk Tomini diantaranya pengelolaan perikanan kelautan belum menyasar perbaikan penghidupan nelayan kecil. Belum lagi praktik destructive fishing, degradasi habitat pesisir dan keterancaman keanekaragaman hayati. Selain itu konflik pemanfaatan ruang hingga penegakan hukum yang masih lemah.
“Dalam pembuatan kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah, tidak memberikan porsi yang besar masyarakat lokal sehingga dalam implementasinya terjadi konflik ruang terhadap wilayah tangkap nelayan,” ujarnya.
“97 persen nelayan masuk kategori skala kecil dan tradisional. JAPESDA turut memberikan pendampingan untuk pemenuhan dan perbaikan kualitas hidup nelayan di daerah dampingan kami,” tambahnya.
Direktur Relawan untuk Orang dan Alam (ROA), Subarkah dalam presentasinya memaparkan jika ancaman tidak hanya dari nelayan lokal dan tradisional saja, melainkan ancaman kapal skala besar juga yang mengancam keberlanjutan perikanan di Teluk Tomini.
“Kapal ini datangnya dari wilayah luar. Eksploitasi jenis ikan pelagis telah menggerus hasil penangkapan nelayan kecil dan tradisional. Hal ini sudah disampaikan kepada pemerintah, namun sampai saat ini belum ada kejelasan terkait hal tersebut,” jelasnya.
Sementara itu kerentanan juga terdapat di Pulau Talatakoh, Kepulauan Togean, Kabupaten Tojo Una-Una yang disampaikan oleh Doni Moidadi, selaku direktur Yayasan Pendidikan Rakyat (YPR) Sulteng. Ia menjelaskan jika masalah yang dihadapi di lokasi tersebut yakni kerentanan ekosistem terumbu karang serta penangkapan yang merusak. Di daratnya sendiri alih fungsi hutan menjadi ancaman serius bagi keberlanjutan sumber air masyarakat.
“Beberapa bulan terakhir kami mendampingi masyarakat di Pulau Talatako, khususnya di Desa Malenge alih fungsi lahan untuk pembukaan lahan kebun menjadi hal penting untuk dilihat ber.
Pulau Talatakoh sendiri merupakan pulau kecil yang ada di Kepulauan Togean yang berpenduduk 6.471 jiwa dengan mayoritas penduduknya menggantungkan hidupnya di laut serta pertanian untuk daratannya.
Praktik Baik dan Berkelanjutan
JAPESDA sendiri dalam kerjanya di teluk Tomini menerapkan 4 strategi di wilayah dampingan. Pertama terkait dengan habitat management melalui pengelolaan daerah perlindungan (DPL) dan penguatan perikanan berbasis masyarakat melalui kegiatan penutupan sementara lokasi tangkap gurita. Selain itu rehabilitasi juga dilakukan pada ekosistem mangrove dan terumbu karang.
Selanjutnya adalah community organizing sebagai tempat saling belajar, penyadaran pengetahuan dan membangun komitmen bersama untuk mengelola perikanan skala kecil berkelanjutan. Tak kalah penting adalah pelibatan anak muda untuk mengenalkan lingkungan dan melakukan aksi langsung.
“Model pengelolaan gurita yang dilakukan di Teluk Tomini khususnya di Desa Torosiaje yang diterapkan berbuah hasil yang memuaskan. Terjadi peningkatan hasil gurita yang didapatkan oleh nelayan,” jelasnya Nuraini Lapolo.
Sementara itu dari Relawan untuk Orang dan Alam (ROA) bekerja wilayah dampingannya menerapkan tata keolah wilayah pesisir dan laut melalui tata kelola kelembagaan dengan kelembagaan kelompok daerah. Kemudian dilakukan penguatan dan membangun kerjasama.
“Begitu beragam dan banyak kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah terdapat jarak kewenangan antara pusat, daerah hingga lokal yang mempengaruhi kebijakan di tingkat tapak,” terang Subarkah.
Sejak tahun 2017 ROA menginisiasi Daerah Perlindungan Laut (DPL) di Kelurahan Talang Batu dan Desa Luok, Kecamatan Balantak, Kabupaten Banggai. Luas DPL Tanjung Saro di Kelurahan Talang Batu mencapai 15 hektar dan luas DPL Fajar Indah di Desa Luok sebesar 75 hektar.
“Melalui inisiasi yang dilakukan terjadi pengurangan destructive fishing yang dilakukan oleh masyarakat. Untuk tahun ini sendiri kami mencoba tata kelola usaha untuk perikanan berkelanjutan,” tambahnya.
Sementara itu dari YPR Sulteng sendiri mendorong pentingnya kelembagaan nelayan sebagai representasi kepentingan nelayan yang dirasa belum tumbuh dan berkembang di Desa Malenge, Kepulauan Togean.
“Kelembagaan nelayan perlu diperkuat untuk mempermudah akses dalam aktivitas penangkapan mereka, sepertinya pengurusan kartu nelayan,” ungkap Dodi Moidadi.
Perwakilan Masyarakat Hukum Adat Wabula, Kabupaten Buton Sulawesi Tenggara, Makmur membagikan pengalamannya terkait pengelolaan sumber daya alam di pesisir dan pulau kecil. Ia menjelaskan jika kearifan lokal yang berlaku di wilayah adatnya telah berlangsung turun temurun.
“Masyarakat Hukum Adat Wabula harus menjaga, melestarikan dan mengatur sistem pemanfaatannya sehingga tidak terjadi pemanfaatan secara berlebihan. Hal ini untuk mendukung berkelanjutan sumber daya alamnya,” terangnya.
Ia juga menjelaskan jika ekosistem sumber daya laut masih terjaga dan berada di atas rata-rata nasional. Melalui Peraturan Bupati Buton nomor 13 tahun 2018, wilayah hukum adat wabula semakin terlindungi dalam pengelolaan sumber daya pesisir dan laut berbasis hukum adat.
“Terumbu karang, lamun, hingga variasi jenis ikan masih tinggi populasinya. Hal ini juga dikuatkan dengan peraturan dari pemerintah yang semakin menguatkan pengelolaan dan perlindungan Wilayah Hukum Adat Wabula,” jelasnya.
Terakhir, ia berharap jika penguatan kelembagaan Wilayah Hukum Adat Wabula perlu ditingkatkan. Sehingga diperlukan kerjasama dengan berbagai stakeholder untuk saling bekerjasama dalam pengelolaan di pesisir dan pulau kecil.
Sementara itu penanggap dari sharing session ini, Wahyu Teguh Prawira dari Burung Indonesia menekankan jika masyarakat lokal menjadi aspek penting dalam pengelolaan sumber daya alam. Pembelajaran dari praktik baik dan berkelanjutan yang telah dilakukan menitikberatkan peran utama masyarakat lokal dan tradisional.
“Kebutuhan hidup merupakan urusan penting dalam pengelolaan sumber sumber daya laut. Lantaran masyarakat lokal yang mengetahui kebutuhannya,” terangnya.
Hal ini turut ditanggapi oleh Imam Mustofa selaku Direktur Marine WWF Indonesia yang mengungkapkan jika konservasi dan ekonomi menjadi dua aspek penting yang harus dilihat dalam pengelolaan sumber daya alam khususnya pada pesisir, laut dan pulau kecil.
“Goal besar kita adalah bagaimana pengelolaan sumber daya alam harus dikelola dengan baik. Kita harus terus mendorong masyarakat untuk mengelola sumber daya alamnya secara berkelanjutan,” ujarnya.
“Pengetahuan lokal dan perkembangan ilmu pengetahuan harus saling selasar sehingga pengelolaan yang diterapkan semakin efektif,” tambahnya.
Penulis: Muhammad Riszky