Jaring Nusa KTI kembali menggelar webinar pada Rabu (12/10/2022). Tema yang diangkat dalam webinar kali ini yakni menata skema perlindungan desa-desa pesisir Indonesia dari ancaman perubahan iklim. Kegiatan ini diselenggarakan secara daring melalui zoom meeting.
Kepulauan Indonesia membentang di perairan tropis antara Samudera Hindia dan Pasifik, dan dari Asia Tenggara hingga Australia Utara. Dengan 16.056 Pulau yang tersebar dari Sabang sampai Merauke.
Indonesia memiliki garis pantai sepanjang sekitar 81.000 km sehingga merupakan negara yang memiliki garis pantai tropis terpanjang di dunia. Indonesia dijuluki sebagai negara kepulauan terluas di dunia.
Kini, perubahan iklim global telah turut mempengaruhi kehidupan masyarakat di tingkat tapak pada wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Wilayah pedesaan sebagai wilayah kelola rakyat di pesisir dan pulau kecil tentu menghadapi tekanan oleh dampak perubahan iklim, tidak hanya mempengaruhi dari aspek ekologi namun juga sosial ekonomi masyarakat pesisir.
Ancaman Krisis Iklim di Indonesia
Irfan D Yananto, Koordinator Pembangunan Berketahanan Iklim Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas mengungkap dampak perubahan iklim bagi Indonesia. Sebanyak 5,8 juta km2 wilayah perairan Indonesia berbahaya bagi kapal nelayan <10 GT, 18.000 km garis pantai masuk dalam kategori rentan. Produksi beras akan menurun di beberapa wilayah. Peningkatan suhu 0,45-0,57 c, kenaikan muka laut 0,8 – 1,2 cm/tahun dan gelombang ekstrim meningkat >1,5m.
Potensi kerugian ekonomi di Indonesia pada empat sektor kunci 2020-2024 mencapai 544 triliun rupiah. Rinciannya, sektor pesisir dan laut 408 triliun rupiah, sektor air sebesar 28 triliun rupiah, sektor pertanian 78 triliun rupiah dan 31 triliun rupiah pada sektor kesehatan.
“Sektor kelautan 42% 176 kab/kota dan 34% sektor pesisir yang menjadi lokasi priorita aksi ketahanan iklim Kementerian PPN/Bappenas. Untuk sektor kelautan terdapat 115 kab/kota yang masuk top prioritas,” ungkapnya.
Muhammad Fachri Direktur Advokasi dan Kerjasama Desa dan Pedesaan, Kementerian Desa PDTT turut menjelaskan jika kerusakan perairan pesisir yang terus menerus karena polusi dengan rata-rata 13.000 keping sampah plastik/km² lautan, pengasaman laut dan terjadinya over fishing.
“Keanekaragaman hayati laut Indonesia dapat memberikan manfaat ekonomi dan sosial. Namun sayangnya masalah yang dihadapi juga tidak sedikit,” terangnya.
Sementara itu Parid Ridwan menjelaskan jika sebanyak 199 kabupaten kota pesisir di Indonesia akan terkena banjir rob tahunan pada 2050. Sekitar 118 ribu hektar wilayah akan terendam air laut. Sebanyak 23 juta warga terdampak. Kerugian diperkirakan mencapai 1.576 triliun rupiah.
“Lebih dari 12.000 desa pesisir, dan lebih dari 86 pulau kecil terluar akan tenggelam akibat krisis iklim. Imbasnya, banyak masyarakat pesisir yang akan menjadi pengungsi karena bencana iklim,” jelas Parid.
Akibat dari krisis iklim tersebut berdampak terhadap mata pencaharian nelayan. Sepanjang 2010-2019 telah terjadi penurunan jumlah nelayan. Pada tahun 2010 tercatat sebanyak 2,16 juta orang nelayan. Namun pada tahun 2019, jumlahnya tinggal 1,83 juta orang atau sebanyak 330.000 profesi nelayan hilang dalam satu dekade terakhir.
“Dalam 1 tahun nelayan hanya bisa melaut selamat 6 bulan. Setiap tahun rata-rata 100 nelayan hilang/meninggal di laut akibat melaut pada saat cuaca buruk,” terangnya.
Melindungi Pesisir dan Pulau Kecil Indonesia
Gunawan Direktur Indonesia Human Rights Committee for Social Justice (IHCS) menjelaskan jika perlindungan dan pemenuhan hak serta kelembagaannya memperhatikan kekhasan masing-masing kelompok sosial nelayan dan masyarakat pedesaan pesisir.
Memasukan serangkaian hak tersebut dalam rencana Kelautan, RPWP2K, perikanan, pangan, tata ruang/kawasan/zonasi, perlindungan nelayan, pembudidaya ikan, dan petambak garam, serta Reforma Agraria kaitannya dengan mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim.
“Partisipasi rakyat dalam penyusunan perencanaan penataan pesisir dan pulau kecil menjadi mutlak diberlakukan dalam setiap kebijakan yang akan dibuat,” terangnya.
Sementara itu dari segi kebijakan nasional, Indonesia tengah melakukan pembangunan rendah karbon dan berketahanan iklim menjadi backbone dalam transformasi ekonomi indonesia menuju ekonomi hijau. Kriteria lokasi prioritas ditentukan berdasarkan 7 komponen yakni, proyeksi iklim, potensi bahaya, SDIK, IRBI, potensi kerugian ekonomi, usulan dari kementerian/lembaga hingga validasi lapangan.
“Kebijakan yang dilakukan skala nasional harus bersinergi dengan kebijakan di level daerah hingga desa,” terang Irfan.
Kementerian Desa PDTT saat ini mendorong Desa Peduli Lingkungan Laut sesuai dengan tujuan pembangunan berkelanjutan yakni untuk melindungi pantai dan lautan. Adapun indikator keberhasilannya antara lain tersedia PerDes/ SK Kepala Desa tentang Tata Ruang Desa dan Perlindungan Sumberdaya Laut, penangkapan ikan meningkat secara wajar (Tidak Eksploitatif) sesuai jenis ikan, luas Kawasan Konservasi Perairan minimal 33% dari luas desa dan tidak ada illegal fishing.
“Saat ini desa perlu panduan teknis untuk mengoptimalkan potensi desa. Dari Kementerian Desa PDTT sendiri tengah menyusun panduan teknis pemanfaatan dana desa. Jangan biarkan desa membangun sendiri, perlu penguatan dari organisasi masyarakat sipil juga,” ungkap Fachri.
Sementara itu dari WALHI sendiri tengah mendorong RUU Keadilan Iklim sebagai salah satu cara untuk mendorong keadilan iklim di Indonesia. Parid mengungkap jika RUU ini harus menjadi gerakan masyarakat sipil di Indonesia dan mengajak jejaring internasional. Selain juga WALHI tengah mendampingi warga Pulau Pari yang tengah melakukan gugatan terhadap PT. Holcim atas krisis iklim.
“Kami dari WALHI mengajak masyarakat untuk melakukan gugatan iklim kepada perusahaan yang telah menyebabkan krisis iklim yang tentunya berdampak terhadap daerah pesisir dan pulau-pulau kecil,” jelas Parid.
Penulis: Muhammad Riszky