Pulau Satangnga: Krisis Ekologis dan Desakan Kebutuhan Hidup

Pulau Satangnga: Krisis Ekologis dan Desakan Kebutuhan Hidup

Share on facebook
Share on twitter
Share on linkedin
Share on whatsapp

Tanpa ombak tinggi, angin kencang atau hujan deras, perjalanan dari Desa Bo’dia, kecamatan Galesong, Kabupaten Takalar menuju ke Pulau Satangnga dapat ditempuh dalam waktu satu setengah jam. Pulau Satanganga terletak di Desa Mattiro Baji, Kecamatan Kepulauan Tanakeke, Kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan.

Pulau Satangnga merupakan pusat administrasi pemerintahan Desa Mattiro Baji. Dua dusun yang berada di pulau ini adalah Dusun Satangnga Lau’ dan Dusun Satangnga Raya. Satangnga Lau’ berada di sekitar makam ikan paus yang pernah terdampar dan ditemukan oleh salah satu warga sejak tahun 2015, silam. Sedangkan Satangnga Raya berada di sekitar meriam yang diperkirakan berada di pulau sejak zaman VOC. 

Meriam di Dusun Satangnga Raya yang di Perkirakan Berada di Pulau Sejak Zaman VOC

Mengelilingi pulau dengan berjalan kaki, hal yang paling mencolok adalah keberadaan rumah masyarakat Satangnga. Pasalnya, hampir secara keseluruhan rumah masyarakat adalah rumah dengan dinding batu. Menurut perkiraan Daeng Tarang salah satu warga Satangnga Raya yang berprofesi sebagai tukang batu di kampungnya, mengatakan bahwa saat ini hanya terdapat kurang dari lima belas buah rumah kayu di Satangnga. Di beberapa rumah kayu tersebut, kolong rumah sudah dibangun dinding batu yang digunakan untuk beragam aktivitas rumah tangga, seperti memasak, bersantai, dan lainnya.

Pembangunan rumah batu di Pulau Satangnga yang marak berdampak pada beberapa perubahan sosial-ekologis. Salah seorang warga Dusun Satangnga Raya, Daeng Tika menyebut bahwa sejak tahun 1980an hingga sekarang diperkirakan Pulau Satangnga telah berkurang sekitar lima puluh meter daratannya. Menurutnya, ini terjadi karena pembangunan rumah batu di Satangnga yang bahan materialnya seperti batu karang diambil dari laut.

Selain itu, terdapat penambangan pasir yang beroperasi di Satangnga selama tiga bulan di tahun 2017, namun berhasil diusir oleh warga. Selain dua hal tersebut, susutnya pulau tersebut juga diakibatkan oleh proyek pembangunan jalan setapak dari pemerintah desa. Hampir seluruh jalan di Satangnga dibuat jalan setapak dengan menggunakan batu-bata sebagai bahan material yang mengambil pasir dari bibir pantai.

Beberapa lubang besar masih bisa dijumpai di bibir pantai Pulau Satangnga. Beberapa lubang dijadikan tempat sampah oleh warga. Sebagian lubang telah tertutupi oleh sampah. Melihat pemerintah desa mengambil pasir di bibir pantai untuk proyek pembangunan, masyarakat yang tidak memiliki lahan juga kemudian turut mengambil pasir. 

Wilayah Pengerukan Batu KarangPulau Satangnga dan Wilayah Terdampak Abrasi

Akibat dari pengambilan pasir ini, perubahan kondisi laut di Satangnga terjadi. Syahril (22 tahun) salah satu warga Satangnga Raya, menyebut bahwa, saat ini ketika ia pergi menyelam di laut, ia harus berjam-jam menaiki perahu. Di pesisir pantai ikan sudah semakin sedikit. Meskipun harus melaut lebih jauh, Syahril (22 tahun) dan temannya, tetap melakukannya.

Sebab, Syahril sudah memiliki istri dan anak. Ia harus mencari nafkah. Keselamatan dalam menyelam menjadi pilihan kedua dari banyaknya biaya hidup yang harus ditanggungnya sebagai kepala keluarga dan dia anggap hal utama baginya. Selain biaya hidup keluarga, beberapa teman menyelamnya, terdesak oleh kredit angsuran yang harus mereka bayar setiap bulan. Meski cuaca tidak terlalu baik, mereka tetap memaksakan diri untuk pergi menyelam.

Bahkan ada yang lumpuh karena menyelam menggunakan kompresor yang membahayakan tubuh para penyelam. Mereka harus menyelam di laut dalam, sebab semakin sedikit ikan di sekitar pulaunya. Tidak banyak lagi pilihan lain untuk tidak menggunakan kompresor, meskipun itu membahayakan jiwanya.   

Para perempuan di Satangnga sudah tidak melaut lagi seperti yang pernah dilakukan Daeng Sugi. Para perempuan hanya fokus bekerja sebagai ibu rumah tangga. Karena itu, pembagian kerja berbasis gender di setiap keluarga Satangnga menjadi semakin lebih tegas. Laki-laki bertugas untuk mencari uang sedangkan perempuan mengurus rumah tangga. Ketika kami akan mengangkat dan membersihkan piring kotor, kami dilarang oleh anggota keluarga laki-laki: “Jangan ki, adekku pi angkat ki”.

Anak perempuan Daeng Sugi, Baing, hampir secara keseluruhan melakukan pekerjaan rumah tangga seperti memasak, menyapu, mencuci baju, cuci piring dan lainnya. Baing sesekali dibantu oleh Daeng Sugi. Sejak kecil, anak perempuan di Satangnga telah dibentuk oleh konstruksi sosial semacam itu dan dianggap sebagai sesuatu yang kodrati bagi perempuan. 

Mungkin ini juga menjadi penyebab tingginya angka perkawinan dini. Seorang anak perempuan warga Dusun Satangnga Raya misalnya dijodohkan dengan anak kerabatnya di Kaluku Bodo di Galesong. Meskipun umur anak perempuan itu baru beranjak lima belas tahun. Anak perempuan tersebut dianggap telah bisa mengurus rumah tangga. Nenek dari anak tersebut menyebut bahwa cucunya sudah siap untuk dinikahkan.

Warga Satangnga kini tampak sibuk mencari uang dengan beragam cara karena desakan hidup yang membutuhkan biaya banyak. Meskipun hubungan kekerabatan masih ada, tetapi hubungan sosial yang dimediasi oleh uang juga semakin dominan. Imaji kesejahteraan dan sarana subsistensi masyarakat di Satangnga semakin terhubung oleh sistem sosial-ekonomi yang diperantarai oleh uang. Termasuk dalam hal pembangunan rumah. Namun, imaji kesejahteraan tersebut memiliki konsekuensi sosial-ekologis yang diam-diam semakin menekan kehidupan masyarakat.

 

 

Penulis: Surahmat Tiro, peneliti di Carabaca Institute dan saat ini tengah melanjutkan pendidikan di pascasarjana Antropologi Universitas Hasanuddin.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *