Hiling (healing) kian lama menjadi bagian dari gaya hidup yang mengajak kita untuk melepas beban, luka maupun derita guna mencapai tujuan menyembuhkan diri dan dapat menikmati hidup. Banyak cara yang dapat dilakukan untuk dapat ‘hiling’, yaitu dengan berbincang dengan teman-teman, berolahraga, hingga berwisata ke berbagai pelosok.
Bersyukurlah Indonesia memiliki banyak tempat indah dan biodiversitas yang dapat dikunjungi dan dinikmati, tentunya tak kalah jauh dengan pemandangan di luar negeri. Kembali ke alam atau back to nature adalah cara yang tepat untuk menerima energi positif dan sering kali masyarakat akan mendatangi sejumlah wisata alam, seperti gunung, hutan, hingga pantai.
Antusiasme hiling di Indonesia ini bukan hanya disambut wisatawan melainkan juga bagi pengusaha, semua hal dijadikan peluang bisnis yang berbekal konservasi. Berbagai gerakan konservasi mulai bangkit dan sebagian masyarakat mulai memiliki kesadaran untuk menjaga alam. Namun, yang menjadi pertanyaan adalah dimanakah masyarakat yang memiliki kesadaran ini berada? Apakah jumlah masyarakat yang terlibat dan usaha yang mereka lakukan seimbang dengan laju kehancuran alam menuju kepunahan massal ke-6?
Nampaknya hal ini terjawab dengan jelas ketika kita berada di lingkungan kita saat ini dan juga tempat wisata alam di Indonesia. Apa yang dapat menjadi buktinya? Sampah dan limbah. Ya, masyarakat Indonesia masih meninggalkan jejak kenangan yang tak lekang oleh waktu. Kelemahan masyarakat Indonesia yaitu hiling sekarang, sampah kemudian.
Salah satu tempat wisata prioritas yang menjadi sorotan utama pemerintah Indonesia adalah Labuan Bajo, terdapat Kawasan Taman Nasional Komodo yang mempesona. Berbagai acara penting sudah diselenggarakan di kawasan premium ini, seperti acara G20 yang mengundang berbagai kalangan internasional.
Pengembangan masih terus dilakukan dan berbagai isu-isu bermunculan menjadi tanda masih banyak yang harus dibenahi untuk mencapai kawasan premium. Sorotan media hingga kini juga masih menyajikan permasalahan sampah maupun limbah, nampaknya hal ini masih menjadi tantangan berat bagi Labuan Bajo. Sampah masih menampakkan wajahnya dengan bahagia dan aroma limbah ternyata mampu memikat wisatawan.
Mari kita kembali sejenak melihat permasalahan yang dihadapi oleh TNK. Selain tekanan perubahan iklim, biodiversitas TNK menunjukan tanda-tanda sedang melakukan perjuangan terhadap tekanan aktivitas manusia. Berdasarkan Rencana Pengelolaan 25 Tahun Taman Nasional Komodo yang diterbitkan tahun 2000, ternyata kerusakan lingkungan sudah terjadi di TNK sejak lama, terutama kehancuran terumbu karang akibat aktivitas manusia, mulai dari pembuangan limbah yang tidak terkontrol, hingga penangkapan ikan menggunakan bahan peledak. Biodiversitas laut TNK lebih tinggi dibandingkan darat menyebabkan pemanfaatan laut sebagai sumber utama dan juga berpotensi tinggi mengalami kerusakan ekosistem.
Penangkapan ikan dengan bahan peledak sudah mengalami penurunan, upaya rehabilitasi dan konservasi terumbu karang sudah dilakukan oleh berbagai pihak dan memperoleh perkembangan yang cukup baik. Perlu diingat bahwa bahan peledak membuat kehancuran terumbu karang secara masif, meski mengalami pemulihan tetapi tidak semua biodiversitas dapat diselamatkan.
Berdasarkan penelitian Malinda, dkk., 2020 di beberapa titik pengamatan masih mengalami kerusakan parah seperti di pulau Kelor, pulau Papagarang dan Loh Linga. Selain itu, Helen E. Fox (2019) selama 20 tahun, dimulai tahun 1998 telah melakukan penelitian terumbu karang akibat blast fishing dan diantaranya untuk usaha restorasi terumbu karang di TNK selama 14 tahun, memperoleh tutupan karang mengalami peningkatan 6% setiap tahunnya. Peningkatan ini terbilang cukup lambat. Kehancuran dapat terjadi dalam semalam, tetapi memerlukan usaha dan waktu yang lama untuk memulihkannya.
Ancaman kerusakan lingkungan serius lainnya yang perlu ditangani segera yaitu pertambahan sampah dan limbah. Melalui peningkatan jumlah wisatawan secara perlahan tapi pasti berkontribusi merusak kembali ekosistem yang sudah dijaga. Nampaknya masalah sampah dan limbah ini belum beranjak dari daftar ancaman kawasan premium ini.
Berdasarkan data BPS Manggarai Barat, jumlah wisatawan domestik yang masuk ke Manggarai Barat pada tahun 2014-2021 (meski data 2018-2019 tidak muncul) terus mengalami peningkatan. Peningkatan wisatawan tahun 2021 mengalami kenaikan dua kali lipat dibandingkan tahun 2020. Kenaikan wisatawan domestik pada tahun 2020-2021 mencapai lebih dari 100%, hal ini disebabkan kebijakan PPKM dan WFA yang berlangsung lama membuat masyarakat jenuh sehingga memilih untuk berlibur alias hiling.
Penelitian Cordova (2021) yang berlangsung di Pulau Padar tahun 2019 dilakukan sekali pengambilan sampel sebelum terjadinya pandemi masih ditemui sampah plastik. Selain itu, berita lokal tahun 2022 pun masih mengungkapkan keluhan masyarakat dan wisatawan terhadap bau tak sedap berasal dari limbah restauran kota Labuan Bajo. Hal ini menunjukkan adanya pengelolaan sampah tidak dilakukan dengan baik, salah satu faktor yang dapat berperan yaitu kapasitas penampungan belum memadai karena masyarakat lokal dan wisatawan semakin meningkat sehingga berkontribusi penyumbang sampah dan limbah sedangkan upaya pengolahan sampah dan limbah terbatas.
Terumbu karang sangatlah berperan penting terhadap ekosistem laut. Namun sayang, terumbu karang mudah sensitif terhadap kondisi perubahan lingkungan dalam jangka panjang. Adanya sampah plastik memungkinkan adanya mikroplastik yang dapat berpotensi polutan bagi ekosistem laut, terutama pada terumbu karang.
Selain dapat termakan oleh ikan, nutrisi terumbu karang tentunya akan terganggu, mikroplastik yang ada bisa berbagian pula pada sedimentasi sehingga terumbu karang tidak memperoleh cahaya cukup, dan mempengaruhi salinitas ekosistem laut yang memungkinkan terumbu karang tidak dapat berkembang. Demikian pula limbah yang dialirkan ke laut akan membuat lingkungan sekitar terkontaminasi dan satu per satu kekayaan biodiversitas Indonesia hilang. Akankah kehancuran terumbu karang secara masif terjadi kembali?
Penulis percaya masih banyak pihak yang memperjuangkan alam agar tetap lestari bagi generasi selanjutnya. Ekowisata di Indonesia bukan sekedar tempat hiling saja, melainkan bertujuan untuk konservasi alam, pemberdayaan sosial, budaya, hingga ekonomi masyarakat. Alangkah baiknya jika hal tersebut selaras dengan usaha menjaga lingkungan di kawasan pesisir ini secara bersama-sama, karena kehancuran alam tidak akan pernah menguntungkan siapa pun.
Penulis: Eunike Lasyana Immanuella, mahasiswa magister Biologi Undip.