Riset WALHI Sulsel: Perempuan Galesong dan Pulau Kodingareng Punya Strategi Bertahan Hidup Hadapi Krisis Iklim

Riset WALHI Sulsel: Perempuan Galesong dan Pulau Kodingareng Punya Strategi Bertahan Hidup Hadapi Krisis Iklim

Share on facebook
Share on twitter
Share on linkedin
Share on whatsapp

Kamis, 23 September 2023 berlokasi di Kopi Tiam Hertasning Makassar, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Sulawesi Selatan menggelar peluncuran dan diseminasi riset berjudul ‘Identifikasi Pelanggaran HAM & Strategi Bertahan Hidup ‘Survival’ Perempuan Kodingareng-Galesong Dalam Menghadapi Perubahan Iklim’.

Kegiatan ini menghadirkan berbagai pihak yang menjadi penanggap atas riset yang telah dipublikasikan WALHI Sulawesi Selatan antara lain Sita Perwakilan Perempuan Pulau Kodingareng, Herlina Perwakilan Perempuan Pesisir Galesong, Aflina Mustafainah dari Yayasan Pemerhati Masalah Perempuan (YPMP) Sulawesi Selatan.

Selain itu juga menghadirkan Dr. M Ilyas, S.T., M.Sc selaku Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Sulawesi Selatan, dan Ir. Rijal M. Idrus, M.Sc., Ph.D sebagai Kepala Pusat Studi Perubahan Iklim LPPM Unhas. Peluncuran dan diseminasi ini dimoderatori oleh Nurdin Amir yang merupakan jurnalis dan sekaligus Ketua Aji Makassar Periode 2019-2022.

Identifikasi Pelanggaran HAM dan Strategi Berhatan Hidup

Hikmawaty Sabar, perwakilan penulis, pertamakali membukan diseminasi ini dengan menyebutkan bahwa perubahan iklim tidak hanya memiliki dampak terhadap perubahan lingkungan, namun juga memiliki hubungan timbal balik dengan pelanggaran HAM dan daya survival perempuan.

“Dari riset yang kami lakukan, kami kemudian mengidentifikasi pelanggaran HAM yang terjadi di Pulau Kodingareng dan Pesisir Pantai Galesong khususnya pada perempuan sebagai dampak dari perubahan iklim dan aktivitas tambang pasir laut,” ungkapnya.

Salah satu penulis, Hikmawaty Sabar memaparkan hasil temuannya (Foto: WALHI Sulsel)

“Yakni ketiadaan peran dan tanggung jawab negara serta korporasi atas aktivitas penambangan dan dampak yang ditimbulkannya, hilangnya akses kehidupan, ekonomi, dan pekerjaan, rusaknya lingkungan dan dampaknya pada kesehatan perempuan, hilangnya hak sosial: pencerabutan rasa aman dan keretakan sosial, tidak adanya program mitigasi bencana, pembiaran terhadap masyarakat yang menjadi korban bencana, dan bantuan yang seringkali salah sasaran”, jelasnya.

Selain mengidentifikasi bentuk-bentuk pelanggaran HAM, dalam laporan risetnya WALHI Sulawesi Selatan juga mendeskripsikan soal bagaimana strategi bertahan hidup para perempuan pesisir Galesong dan Pulau Kodingareng dalam menghadapi perubahan iklim.

“Perempuan di Pulau Kodingareng memilih untuk berdagang, menjalani sistem pinjaman (berutang), serta memberi akses migrasi pada suami (merantau keluar pulau) untuk mendapatkan sumber ekonomi yang lebih mencukupi kebutuhan keluarga, atau migrasi tempat tinggal akibat rumah yang telah rusak karena bencana dan akses pekerjaan yang semakin sulit jika harus bertahan di pulau,” ujar Hikmah.

“Sedangkan, perempuan di Pesisir Pantai Galesong melakukan upaya seperti beralih profesi, berutang, dan migrasi tempat untuk tetap bertahan dalam pemenuhan kebutuhan hidupnya sehari-hari”, tambahnya.

Perlunya Kajian Mendalam

Tanggapan atas hasil riset tersebut datang dari Dr. M Ilyas, S.T., M.Sc yang memberikan penjelasan bahwa ia sangat setuju jika persoalan dan pengaruh iklim global dan kenaikan muka air laut lah yang menyebabkan terjadinya abrasi dan banjir rob.

“Namun, kalau dikatakan disebabkan oleh penambangan pasir laut, tentu ini butuh penelitian oseanografi yang mendalam untuk mengeceknya,” terangnya.

“Kami dari pemerintah kedepannya akan membuat program untuk masyarakat seperti 100 ribu rumpon untuk mengembalikan habitat ikan, pembuatan terumbu karang buatan, dan beberapa rekayasa engineering sebagai langkah mitigasi perubahan iklim” imbuhnya.

M Ilyas, Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Sulawesi Selatan memberikan tanggapan atas hasil riset WALHI Sulsel (Foto: WALHI Sulsel)

Sama halnnya yang disampaikan oleh Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Sulawesi Selatan, Ir. Rijal M. Idrus, M.Sc., Ph.D juga menekankan perlu ada riset atau kajian Oseanografi Fisika yang dilakukan oleh WALHI Sulawesi Selatan.

“Kajian ini penting karena secara teoritis, pergerakan pasir di laut akan selalu mencari keseimbangan. Jadi bisa saja apa yang terjadi di Kodingareng dan Galesong sehubungan dengan adanya abrasi mungkin dipengaruhi oleh adanya lubang yang besar akibat dari aktivitas penambangan pasir laut,” ucap Kepala Pusat Studi Perubahan Iklim LPPM UNHAS.

“Namun, sekali lagi memang ini butuh pendekatan oseanografi fisika untuk melihatnya,” tambahnya.

Penghormatan atas Hak Asasi Manusia

Berbeda dengan dua penanggap sebelumnya, Aflina Mustafainah dari Yayasan Pemerhati Masalah Perempuan (YPMP) justru menegaskan bahwa sebenarnya tidak dibutuhkan hal yang bersifat teknis untuk membicarakan soal HAM, sebab yang lebih diutamakan ialah fokus pada pengetahuan dan hak warga apa yang kemudian dilanggar.

“Saya kira WALHI Sulawesi Selatan sudah mencoba dengan berani untuk menegaskan ada indikasi pelanggaran HAM baik secara Omission maupun Commission pada kasus ini,” ujarnya.

“Selain itu, perubahan iklim yang diperparah dengan penambangan pasir laut tentu saja akan sangat berdampak terhadap perempuan utamanya mengenai kesehatan reproduksi dan pengetahuan lokal perempuan. Nah, dalam konteks ini seharusnya pemerintah hadir dalam melindungi dan menghormati warganya,” tutupnya.

Tanggapan terakhir dalam sesi ini yakni dari perwakilan perempuan Pulau Kodingareng dan Pesisir Galesong. Ibu Sita, salah seorang perempuan Pulau Kodingareng, menanggapi hasil riset ini dengan mengatakan bahwa apa yang dituliskan dalam laporan ini adalah sesuatu yang benar-benar kami alami.

“Bahkan sekarang kondisi kami di pulau sudah banyak anak-anak yang terpaksa harus putus sekolah dan banyak yang merantau. Kalau untuk abrasi, belakang rumah saya sekarang sudah tidak bisa di tempati satu rumah karena abrasi satu tahun yang lalu. Sampai saat ini pemerintah belum membeirkan solusi apapun kepada kami,” ungkapnya.

Sama halnya dengan Ibu Sita, Ibu Herlina juga mengungkapkan hal yang serupa dimana menurutnya saat ini sudah banyak tetangga mereka yang harus pindah karena rumahnya rusak dan terancam abrasi.

“Sejak ada tambang pasir laut, lingkungan kami itu berubah. Kami sudah banyak pengalaman karena kami sejak kecil tinggal disana, makanya kami bisa melihat dengan jelas perubahan itu. Galesong sekarang semakin hari semakin parah abrasinya,” ucap salah seorang perwakilan Perempuan Pesisir Galesong ini.

Ibu Herlina, perwakilan Perempuan Pesisir Galesong menyampaikan dampak penambangan pasir laut yang dirasakan oleh warga (Foto: WALHI Sulsel)

Rekomendasi WALHI Sulsel

Terakhir, dalam publikasi WALHI Sulawesi Selatan yang berjudul ‘Identifikasi Pelanggaran HAM & Strategi Bertahan Hidup ‘Survival’ Perempuan Kodingareng-Galesong Dalam Menghadapi Perubahan Iklim’ mengeluarkan beberapa rekomendasi sebagai berikut:

Pertama, Menghentikan aktivitas reklamasi dan tambang pasir laut yang telah terbukti menyengsarakan masyarakat baik secara ekonomi maupun sosial, dan juga memperparah kondisi iklim saat ini.

Kedua, Merevisi RTRW Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2022-2041 yang masih melegalisasi zona tambang pasir laut dan reklamasi di Sulawesi Selatan.

Ketiga, Segera mencabut PP No. 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut karena akan mempercepat, memperluas dan melanggengkan kerusakan di pesisir, laut, dan pulau-pulau kecil.

Keempat, Membentuk Kelompok Kerja perlindungan masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil dalam memitigasi dampak krisis iklim yang saat ini tengah dirasakan oleh masyarakat.

Kelima, Segera menyusun skema penyelamatan terhadap desa-desa dan pulau-pulau kecil yang saat ini terancam abrasi, banjir rob, dan perubahan iklim.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *