Gempuran Pertambangan Akan Menyebabkan Kehancuran Ekologis Kawasan Esensial Karst di Banggai Kepulauan

Gempuran Pertambangan Akan Menyebabkan Kehancuran Ekologis Kawasan Esensial Karst di Banggai Kepulauan

Share on facebook
Share on twitter
Share on linkedin
Share on whatsapp

Salah satu wilayah kepulauan di Sulawesi Tengah yang cukup dikenal karena keunikan serta kekayaan ekosistem karst-nya adalah kabupaten Banggai Kepulauan. Sekitar 85% daratan Banggai Kepulauan adalah ekosistem karst yang merupakan ekosistem penting serta memberikan jasa lingkungan yang tinggi.

Untuk mendukung perlindungan ekosistem karst tersebut, Pemerintah Daerah Kepulauan Banggai telah memiliki Peraturan Daerah Nomor 16 tahun 2019 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Karst Banggai Kepulauan. 

Selain itu, kebijakan lainnya yakni Surat Keputusan Bupati Bupati Banggai Kepulauan Nomor 224 tahun 2022 mengenai penetapan kawasan bernilai penting bagi konservasi keanekaragaman hayati ekosistem karst Banggai Kepulauan.

Namun sekalipun manfaat jasa karst di Banggai Kepulauan sangat tinggi dan aturan yang mendukung perlindungannya, tak dapat dipungkiri ekosistem kawasan esensial tersebut terancam oleh ekspansi pertambangan.

Untuk itu Jaring Nusa Kawasan Timur Indonesia kembali menggelar sharing session untuk membahas urgensi perlindungan wilayah pesisir serta ekosistem esensial karst di Banggai Kepulauan. Kegiatan ini diselenggarakan melalui zoom meeting pada Selasa (28/11/2023).

Karst sebagai ekosistem esensial

Karst merupakan sebuah bentukan permukaan bumi yang pada umumnya dicirikan dengan adanya depresi tertutup, drainase permukaan, rekahan, gua, dan bahkan aliran sungai dalam tubuh batuan. Amran Achmad, guru besar Fakultas Kehutanan menerangkan jika bentang alam karst memiliki nilai penting sebagai kawasan ekosistem esensial.

“Karst begitu penting sebagai penyangga kehidupan. Terdapat berbagai macam organisme di kawasan karst. Karst punya keunikan sendiri. Ada tempat untuk menyimpan air, ada tempat pertumbuhan organisme,” terangnya.

Kawasan unit kawasan karst yang mempunyai biotik dan abiotik yang saling berinteraksi dan antara komponen-komponen tersebut terjadi pengambilan dan perpindahan energi, daur materi serta berproduktivitas.

“Makhluk hidup bergantung kepada produk ekosistem sehingga ekosistem karst perlu dilindungi. Serapan karbon dari ekosistem karst di Banggai Kepulauan sebesar 6.984 ton/tahun.” ujarnya.

Ekosistem karst menjadi penyangga kehidupan untuk kebutuhan masyarakat dan pembangunan karena memiliki beragam potensi. Sebagai penyimpanan air dalam tubuh karst, kekayaan flora dan fauna, terdapat nilai estetika keindahan alamnya.

Selain itu lanjut Amran, karst memiliki sumber mineral yang tinggi, fungsi pengikatan karbon. Karst juga memiliki gua dan dapat dijadikan sebagai objek wisata. 

Pada diskusi tersebut ia menyampaikan bahwa perlu mendorong identifikasi karst yang ada di Banggai Kepulauan serta pengkajian lebih lanjut mengenai keanekaragaman hayati.

“Identifikasi karst perlu untuk mengetahui sumber-sumber air yang dapat dimanfaatkan oleh warga. Selain itu perlu kajian lebih lanjut,” tutupnya.

Ancaman eksistensi karst Banggai Kepulauan

Sementara itu, Sunardi Katili selaku Direktur Eksekutif WALHI Sulawesi Tengah turut memaparkan data-data mengenai situasi genting ekosistem karst di Banggai Kepulauan. Ia menerangkan saat ini ada 32 perusahaan tambang batu gamping seluas 3,725,25 hektar yang akan beroperasi di 23 desa.

“1 perusahaan berstatus operasi produksi dengan luasan 113,7 hektar.  Ada 8 perusahaan berstatus pencadangan seluas 1011 hektar. 23 perusahaan berstatus penyesuaian tata ruang dengan luas 2.600,55,” terangnya.

Hal itu menurutnya tentu akan mengancam sekitar  85% daratan Banggai Kepulauan sebagai ekosistem karst. Mengancam sejumlah spesies flora fauna keanekaragaman hayati dan 124 mata air. 

“Ada 16 desa di tiga kecamatan terdampak kekeringan, yang mengakibatkan 2.140 kk mengalami krisis air bersih. Meski telah ada perlindungan, tetapi kerusakan ekosistem karst dan krisis air masih terus menjadi ancaman serius di Banggai Kepulauan,” jelasnya.

Ekosistem karst Banggai Kepulauan (Foto: Jatam Sulteng)

Ia mendorong perlunya kajian yang lebih lanjut secara komprehensif mengenai gambaran perlunya melindungi ekosistem esensial karst di Banggai Kepulauan.

“Perlunya studi komprehensif untuk melihat ekosistem karst sebagai suatu sistem esensial yang harus dilindungi,” imbuhnya.

Dari Dinas Kehutanan dan Lingkungan Hidup Provinsi Sulawesi Tengah sendiri menegaskan jika tidak ada izin yang dikeluarkan terkait pertambangan di kawasan karst. Sehingga adanya izin yang ada akan dikoordinasikan untuk melihat perkembangan lebih lanjut.

“Terkait dengan perizinan perusahaan, akan dikoordinasikan,” ujarnya.

Handri Likak, salah satu warga dari Desa Komba Komba yang menolak pertambangan menerangkan jika secara ekonomi masyarakat dalam memenuhi kebutuhannya berprofesi sebagai petani kebun.

“Kami menanam ubi banggai, itu ubi yang hanya ada di Banggai Kepulauan. Kami juga menanam keladi. Itu yang kami makan dan konsumsi sehari-hari,” jelasnya.

Selain hasil kebun, masyarakat juga menggantungkan hidupnya melalui hasil laut. Menurutnya sekitar 16 persen masyarakatnya berprofesi sebagai nelayan tangkap dan nelayan budidaya.

“Kami  juga hidup penghasilan budidaya rumput laut. Desa kami memiliki potensi rumput laut,” ujarnya.

Desa Komba Komba juga merupakan salah satu desa yang telah diakui upayanya dalam menjaga dan melindungi wilayahnya untuk tetap lestari. Desa Komba Komba sendiri telah mendapatkan tropi desa utama yang tahun depan berencana untuk mengajukan sebagai desa lestari.

“Kami punya kawasan lindung Taman Kehati dengan luas 14 hektar. Beberapa masyarakat kami terpanggil untuk membangun komitmen menjaga kelestarian Taman Kehati. Didalamnya ada spesies endemik yang mereka jaga,” terangnya.

Menurutnya dengan masuknya pertambangan di wilayah Desa Kamba Kamba akan menyebabkan berbagai kerugian bukan hanya secara ekologi, namun juga secara mata pencaharian masyarakat.

“Ketika muncul tambang, kami masyarakat Banggai Kepulauan pasti akan mengalami penurunan ekonomi dan juga tatanan budaya kami akan rusak,” ujarnya.

“Di Desa komba komba paling minim air tawar. Ketika pengelolaan tambang itu muncul, maka kami akan kehilangan sumber air. Kedua akan kehilangan pekerjaan. Budidaya rumput laut penghasilan terbesar desa komba komba,” tambahnya.

“Ada iming-iming dari perusahaan benar. Persoalan lapangan kerja, lahan kami akan dibayar mahal. Menimbulkan pro kontra di masyarakat desa komba komba. Perusahaan tidak pernah mensosialisasikan dampaknya,” terangnya.

Wahyu Chandra, yang merupakan peserta diskusi turut membagikan pengalamannya saat melakukan kunjungan di Banggai Kepulauan. Menurutnya masyarakat di sana menggantungkan hidupnya pada sektor perkebunan dan hasil laut yang akan terdampak jika pertambangan akan beroperasi.

“Hampir di semua desa mengidentifikasi dirinya sebagai masyarakat amfibi. Walaupun tinggal di daerah pesisir tapi kebanyakan aktivitasnya itu bertani. Mereka menanam di daerah pegunungan yang merupakan daerah pertambangan,” terangnya.

“Ketika tambang masuk, ada dua kondisi yang terjadi. Pertama, pembangunan di kawasan bukit itu akan menghilangkan kebun warga. Untuk pengangkutan itu akan melewati laut, potensi hilangnya rumput laut juga akan terjadi,” tambahnya.

Pentingnya melindungi masyarakat pesisir dan pulau kecil

Dedi, peneliti BRIN menjelaskan bahwa masyarakat pulau kecil seringkali sangat bergantung pada lingkungan alam mereka untuk kehidupan dan mata pencaharian mereka. Ekosistem pulau kecil merupakan kontributor penting bagi perekonomian banyak masyarakat pesisir. 

“Mereka menyediakan layanan penting untuk mata pencaharian tanah dan pasir dan pengaturan iklim. Ekosistem pulau-pulau kecil penting sebagai sumber-sumber yang bisa dijadikan bahan untuk berkembangnya human well-being,” jelasnya.

Dedi S Adhuri, memaparkan pentingnya menjaga eksistensi pulau kecil (Paparan layar Dedi S Adhuri)

Di Indonesia yang memiliki kepulauan terbesar di dunia, ekosistem pulau pesisir kecil sangat penting mata pencaharian manusia dan menyediakan layanan penting sumber daya alam, rekreasi dan perlindungan bencana alam. Menurutnya pulau kecil memiliki resiko lebih besar untuk kehilangan elemen dari ekosistem pulau. 

“Pulau kecil sangat rentan terhadap perubahan iklim. Kapasitas pulau kecil untuk menahan, mengakomodasi kebutuhan masyarakat itu terbatas,” ujarnya.

Pesisir, laut dan pulau kecil mengandung berbagai sumber daya alam yang penting bagi kehidupan manusia dan mata pencaharian sehari-hari. Namun kerusakan yang luas telah terjadi pada ekosistem pesisir pulau kecil.

Sumber daya perikanan per kelompok jenis tertentu, di semua wilayah WPP sudah banyak overexploitation. 

“Sudah ada persoalan serius yang kita alami. Perlunya kita mengarahkan kerja-kerja untuk mempertahankan eksistensi pulau-pulau kecil,” terang Dedi, yang merupakan peneliti ahli utama pusat riset masyarakat dan budaya BRIN.

Dedi juga memaparkan perlu adanya upaya untuk mempertahankan proses ekologis, produksi sumber daya, dan jasa lingkungan sangat penting untuk kehidupan dan mata pencaharian manusia yang berkelanjutan.

Ia menyebut jika perlu memastikan jika tidak ada industri ekstraktif, mendorong ekosistem berbasis pulau kecil, perlunya pengembangan kawasan konservasi. Sangat penting adanya langkah dalam mitigasi dan adaptasi perubahan iklim.

“Memberikan ruang kepada organisasi non pemerintah untuk melakukan upaya konservasi di pesisir dan pulau kecil. Sebenarnya juga akan masuk kepada pengembangan livelihood yang berkelanjutan,” imbuhnya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *