Tantangan dan Arah Kebijakan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau Kecil yang Integratif dan Partisipatif

Tantangan dan Arah Kebijakan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau Kecil yang Integratif dan Partisipatif

Share on facebook
Share on twitter
Share on linkedin
Share on whatsapp

Jaring Nusa kembali menggelar webinar pengelolaan wilayah pesisir dan ruang laut. Webinar yang diselenggarakan pada Rabu (14/12/2022) mengangkat tema Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau Kecil yang Integratif dan Partisipatif di Indonesia.

Wilayah pesisir dan pulau kecil memiliki keragaman sumberdaya sehingga terdapat banyak sektor-sektor pembangunan yang bergerak dalam pemanfaatanya.Terkait konteks pemanfaatan sumber daya pesisir tersebut, tentu sangat berpotensi menimbulkan tumpang tindih antar sektor, konflik antar kepentingan dalam pemanfaatan sumberdaya.

Pengelolaan wilayah pesisir dan pulau kecil dalam perencanaannya harus dapat mengintegrasikan kepentingan semua pihak untuk saling mendukung namun harus memprioritaskan kepentingan masyarakat atau komunitas-komunitas yang sudah eksisting di wilayah tersebut dan menjamin keberlanjutan serta kelestarian ekosistem wilayah pesisir dan laut.

Keterancaman Pangan di Pulau-Pulau Kecil

Laksmi Adriani Savitri selaku Komite Pengawas FIAN Indonesia mengukap jika perubahan iklim dan kerawanan pangan bukan semata masalah teknis produksi dan distribusi, kapasitas SDM dan teknologi, melainkan masalah politik kewargaan.

“Terjadi perubahan yang cukup signifikan perubahan iklim berdampak di pulau-pulau kecil di Indonesia. Diperkirakan 115 pulau kecil di Indonesia terancam tenggelam. Ini bukan ilusi, namun faktual berdasarkan kajian akademik,” jelasnya.

“Tidak bisa dihindari perubahan iklim dan kerawanan pangan selalu berada dalam situasi yang beriringan. Sedikit saja terjadi perubahan iklim, akan berdampak terhadap kerentanan akses pangan,” tambahnya.

Hal ini diperparah dengan teknikalisasi pengelolaan sumber daya alam melalui mekanisme izin, konsesi, persewaan yang merasionalisasi dampak kehilangan hak dan akses sebagai kepentingan umum.

“Dalam konteks Indonesia, problem mendasar hambatan akses dan kendali atas sumber daya alam, kekayaan sumber pangan dan energi lokal, pengetahuan & teknologi masyarakat atas pengelolaan pangan dan alam adalah pelanggaran hak asasi manusia,” ungkapnya.

Menurutnya salah satu hambatan hak atas pangan yakni proyek pembangunan skala luas, deforestasi dan kekeringan. Beberapa daerah di Kawasan Timur Indonesia berdasarkan hasil kajian FIAN Indonesia yakni Kepulauan Aru terkait izin peternakan dengan luas 61,567 ha, proyek food estate di Sumba Tengah yang mengancam pemenuhan kebutuhan air dan serangan hama belalang kembara.

Peta Kerawanan Pangan Indonesia (tangkapan layar materi Laksmi Adriani Savitri)

“Kesalahan logika pembangunan mengakibatkan gap antara kebijakan dan proyek pembangunan dengan tujuan transformasi sosial yang adil dan sejahtera,” terangnya.

Selain itu terdapat pula di wilayah Pulau Adonara yang mengancam lahan-lahan sorgum. Di Halmahera Tengah terjadi deforestasi sebesar 48.388 hektar yang sebagian besar terjadi di area konsesi tambang. Di Maluku Tengah terjadi deforestasi 158.529 hektar yang terbesar dari Hak Pengusahaan Hutan (HPH).

“Karena proses alih fungsi telah menghancurkan sistem pangan lokal. Terjadi pemassalan jenis pangan pokok yang berbeda dengan pangan lokal,” ungkapnya.

Terakhir ia menyampaikan beberapa prinsip dalam pengembangan sumber daya manusia dan alam di pulau-pulau kecil yakni merekognisi krisis pulau-pulau kecil sebagai implikasi dari proses depolitisasi dan demokratisasi yang terhambat. Lalu merekognisi perencanaan pembangunan sebagai hak politik warga negara. Kemudian menyelenggarakan perencanaan secara integral & partisipatif.

“Kalau perencanaan dilakukan secara integral dan partisipatif harusnya mengintegrasikan solusi-solusi dari bawah sebagai kebijakan dasar bagi pengembangan manusia dan kekayaan alam. Melindungi dan mendorong pengembangan sistem pangan lokal,” tutupnya.

Arah Kebijakan Pembangunan di Pulau Kecil

Arif Miftahul Aziz, Sub Koordinator Pemanfaatan Pulau, Dit P4K – DJPRL KKP mengungkap saat ini jumlah pulau dengan Luas <100 km2 adalah 16.602 (98,99%) dengan total Luas 18.894,43 km2. Sekitar 0,98% dari total luas daratan Indonesia dimana sekitar 50% merupakan kawasan hutan.

Menurutnya tantangan pembangunan di pulau-pulau kecil diantaranya aksesibilitas transportasi dan komunikasi rendah. Kemudian keterbatasan sarana dan prasarana, kemiskinan masyarakat dan kualitas sumber daya manusia. Degradasi lingkungan dan sumberdaya, daya dukung terbatas dan rentan rusak. Biaya tinggi dan alokasi masih rendah hingga belum optimalnya pengawasan dan penegakan hukum.

“Harus diakui saat ini pulau-pulau kecil yang masuk dalam RTRW sangat sedikit. Kalaupun misalnya ada petanya masih belum clear. Integrasi ruang sedang diusahakan antara RTRW dengan RZWP3K,” terangnya.

Sejalan dengan Aziz, Dosen FPIK IPB Fery Kurniawan menjelaskan jika permasalahan di pulau-pulau kecil diantaranya kompleksitas dan ketidakpastian, meningkatnya tekanan dan kerentanan pulau, perubahan pola penghidupan masyarakat. Selain itu investasi yang mahal dan belum mempertimbangkan integrasi darat dan laut. Cenderung tak terkontrol dan tak terkelola.

“Aktivitas yang ada di darat membuat kualitas yang ada di perairan menurun. Ini yang menguatkan hubungan darat sama air tidak dapat dipisahkan,” ujarnya.

“Belum ada roadmap pembangunan pulau-pulau kecil di Indonesia. Butuh cetak biru pembangunan pulau kecil yang integratif,” tambahnya.

Dari segi implementasi, Arif Miftahul Aziz menjelaskan jika pemerintah telah melakukan pendayagunaan pada wilayah pesisir dan pulau kecil. Diantaranya melalui penyusunan peraturan terkait pengelolaan pesisir & pulau kecil. Pemantapan kedaulatan wilayah, penyediaan sarana/prasarana dasar. Selain itu pemberdayaan masyarakat, fasilitasi dan pemberdayaan masyarakat hukum adat. Terakhir adalah mitigasi bencana dan rehabilitasi ekosistem.

“Wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil merupakan lokus utama dalam pengembangan ekonomi biru yang menekankan pada keberlanjutan dan perlindungan ekologi untuk menjaga kesehatan laut,” terangnya.

Tangkapan layar materi Arif Miftahul Aziz

Dari segi kebijakan pemerintah telah melakukan pembatasan luas lahan di pulau-pulau kecil. Kebijakan tersebut yakni PERPRES No. 34 Tahun 2019; PERMEN KP No. 8 Tahun 2019 Jo Permen KP No. 53 Tahun 2020; Permen Agraria & Tata Ruang/Kepala BPN No. 17 Tahun 2016.

Batasan pemanfaatan tersebut mencakup paling sedikit 30% dari luas pulau dikuasai langsung oleh negara seperti untuk kawasan lindung dan kepentingan publik. Paling banyak 70% dari luas pulau dapat dimanfaatkan oleh pelaku usaha.

Pelaku usaha wajib mengalokasikan paling sedikit 30% dari luasan lahan yang dimanfaatkan untuk ruang terbuka hijau. Terakhir dalam hal diperlukan untuk kepentingan nasional, pemerintah dapat menguasai, memiliki, dan memanfaatkan pulau secara utuh.

Sementara itu Fery Kurniawan yang juga peneliti PKSPL IPB juga ini mengungkap jika studi yang dilakukan menunjukkan tidak semua masyarakat pulau kecil sepakat dengan pembangunan yang masif. Masyarakat berpandangan jika ketenangan mereka yang tinggal di pulau dapat meningkatkan spiritualitas tinggi.

“Kalaupun kita melakukan pembangunan secara masif, itu ternyata dapat mempengaruhi nilai spiritualitas masyarakat,” ungkapnya.

Menurutnya pembangunan di pulau-pulau kecil itu tidak seimbang. Pembangunan infrastruktur lebih besar dibanding dengan pembangunan pada sektor ekologi. Pulau kecil tidak bisa berdiri sendiri sebagai entitas daratan tetapi memiliki hubungan yang erat antara daratan dan perairan.

“Kita perlu menjaga keseimbangan pembangunan dan pengelolaan baik dari sistem sosial-ekologi,” ujarnya.

Pemetaan Partisipatif Mendorong Perlindungan dan Pengakuan di Pulau Kecil

Pemetaan partisipatif merupakan proses identifikasi ruang yang dilakukan sendiri oleh masyarakat sesuai pengetahuan lokal masyarakat atas ruang yang berdasar pada kesejarahan penguasaan ruang dan kearifan masyarakat dalam pengelolaan ruang.

Dewi Puspitasari Sutejo, Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP) mengungkap saat ini JKPP telah melakukan pemetaan partisipatif hingga tahun 2022 sebanyak 23,39 juta hektar.

Manfaat dari pemetaan partisipatif memperkaya informasi yang memperlihatkan pengetahuan masyarakat atas ruang (kearifan masyarakat dalam kelola ruang), status penguasaan ruang dan sumber-sumber penghidupan masyarakat. Sehingga adanya kesepakatan batas, kesepakatan pemanfaatan dan penentuan fungsi ruang yang melibatkan masyarakat lokal.

“Masyarakat lokal punya pengetahuan terhadap wilayahnya. Makanya pemetaan partisipatif perlu dilakukan. Pemetaan ini menjadi media transformasi pengetahuan antar masyarakat,” terangnya.

Sebagai studi kasus perlunya pemetaan partisipatif berdasarkan JKPP kerjakan terdapat di Pulau Pari. Jika dilihat dari rencana alokasi ruang/zonasi dalam draft RZW3K DKI Jakarta terdapat 516,15 Ha atau 48% dari luas total gugusan pulau Pari yang dianggap tidak bersesuaian dengan pemanfaatan ruang eksisting masyarakat Pulau Pari.

“63% luasan alokasi kawasan pemanfaatan umum-wisata alam/pantai atau pesisir dan pulau-pulau kecil merupakan zonasi nelayan kecil, sementara 16% overlapping dengan zona budidaya masyarakat. Zonasi dalam RZWP3K ini tidak memberikan ruang bagi nelayan sama sekali,” jelasnya.

Sementara itu di wilayah masyarakat adat Kadi Liya, Sulawesi Tenggara masyarakat yang mengusulkan peta wilayah adat hanya diakui sebagian. Sekitar 500 hektar wilayah konservasi adat yang diakui.

“Alokasi dan zonasi ruang berbeda dan belum sesuai dengan peta partisipatif masyarakat adat Kadi Liya,” terangnya.

Cindy Julianty dari Working Group ICCAs Indonesia (WGII) menegaskan bahwa perlunya dokumentasi dan registrasi untuk memperkuat pengakuan hak masyarakat adat dan komunitas lokal di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.

Area Konservasi Kelola Masyarakat (AKKM) (tangkapan layar materi Cindy Julianty)

Di Indonesia terdapat Area Konservasi Kelola Masyarakat (AKKM) yang merupakan ekosistem yang mengandung keanekaragaman hayati, jasa ekologis dan nilai-nilai budaya yang signifikan yang dilindungi oleh masyarakat hukum adat atau masyarakat lokal dan dikelola dengan suatu sistem pengetahuan lokal dan berdasarkan hukum adat yang berlaku di masyarakat.

“Draf rancangan undang-undang tentang konservasi keanekaragaman hayati dan ekosistem telah memasukkan areal konservasi kelola masyarakat,” terangnya.

Ia mengungkap terdapat 3 karakteristik areal konservasi kelola masyarakat adat. Pertama yakni terdapat hubungan yang erat dan dalam antara sebuah kawasan atau areal dengan masyarakat adat atau komunitas lokal yang menjaganya. Kemudian para pemangku atau komunitas membuat keputusan dan peraturan tentang kawasan. Terakhir adalah pengelolaan oleh komunitas berkontribusi positif secara keseluruhan pada konservasi alam.

“Masyarakat adat bukan hanya memikirkan kebutuhan hidup sehari-hari namun juga mereka memikirkan bagaimana cara agar wilayah kelolanya dapat terlindungi,” ungkapnya.

Masyarakat adat sebagai aktor perlindungan kawasan konservasi karena itu adalah ruang hidup masyarakat adat. Sehingga menurutnya sangat penting membangun sistem registrasi untuk wilayah masyarakat adat.
Manfaatnya yakni meningkatkan visibilitas masyarakat sebagai aktor konservasi, penguatan praktik areal konservasi kelola masyarakat. Lalu kanalisasi database untuk kepentingan advokasi pengakuan hak masyarakat hukum adat dan lokal kepada para pihak.

Manfaat lainnya adalah memperkuat gerakan inklusivitas konservasi dan memperkuat informasi mengenai pengelolaan ruang hidup. Memperluas kesempatan pengakuan lain. Memperluas kesempatan untuk mendapatkan dukungan dana penguatan praktik di level komunitas.

“Ada proses yang integratif yang dilakukan untuk mendorong pengakuan. Registrasi ini memperkuat hak kelola dari wilayah masyarakat adat,” ujarnya.

 

Penulis: Muhammad Riszky

 

 

 

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *