Apa itu Perampasan Ruang Laut yang Direncanakan?

Apa itu Perampasan Ruang Laut yang Direncanakan?

Share on facebook
Share on twitter
Share on linkedin
Share on whatsapp

Istilah ocean grabbing atau perampasan ruang laut, dalam catatan The Transnational Institute, digunakan untuk menyoroti proses dan dinamika penting yang berdampak negatif terhadap keberlanjutan sumber daya laut, sekaligus keberlanjutan hidup masyarakat yang cara hidup dan identitas budaya serta mata pencahariannya bergantung pada 4 penangkapan ikan skala kecil.

Aktor utama ocean grabbing, menurut The Transnational Institute, adalah pemerintah, lembaga di tingkat regional dan atau internasional, organisasi lingkungan internasional, perusahaan skala besar, dan yayasan filantropi. beragam lembaga ini merupakan aktor utama yang mendorong reformasi dan kebijakan berbasis pasar yang pada akhirnya memungkinkan terjadinya perampasan laut.

Pada titik ini, pemerintah dapat disebut sebagai aktor atau perantara utama yang mengalokasikan bagaimana, untuk tujuan apa, dan oleh siapa, wilayah laut maupun lahan dapat digunakan. Dalam praktiknya, proses ini terkadang menggunakan pemaksaan melalui lembaga keamanan untuk menegakkan kepatuhan.

Sementara itu, menurut Bennet, ocean grabbing adalah istilah yang relatif baru. Sebelumnya, istilah yang banyak digunakan adalah land grabbing yang merujuk pada pembelian, pengambil-alihan, serta perampasan tanah masyarakat yang dilakukan oleh berbagai aktor, di antaranya negara dan korporasi.

Perampasan laut (ocean grabbing) mengacu pada perampasan penggunaan, kontrol atau akses terhadap ruang laut atau sumber daya dari pengguna sumber daya sebelumnya, pemegang hak atau penduduk.

Perampasan laut terjadi melalui proses tata kelola yang tidak tepat dengan menggunakan tindakan yang merusak mata pencaharian masyarakat atau menghasilkan dampak yang merusak kesejahteraan sosial-ekologis. Perampasan laut dapat dilakukan oleh lembaga publik atau kepentingan pribadi.

Dalam definisi tersebut, di atas terdapat tiga komponen utama ocean grabbing, yaitu: pertama, perampasan kontrol dan akses masyarakat terhadap sumber daya pesisir dan laut yang menjadi hak masyarakat; kedua, dilakukan melalui proses tata kelola yang tidak tepat yang merusak kesejahteraan sosial-ekologis masyarakat; dan ketiga dilakukan oleh lembaga publik, kepentingan pribadi, atau entitas bisnis.

Pada 17 Juli 2007, Pemerintah Indonesia bersama Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) telah mengesahkan UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.

Aksi perempuan Pulau Kodingareng di depan kantor gubernur Sulsel yang menyuarakan dampak pasir laut, 5 Oktober 2022 (Foto: Koalisi Save Spermonde)

HP3 Bagian Ocean Grabbing

UU tersebut secara legal telah menjustifikasi perampasan ruang laut karena mengesahkan skema hak pengusahaan perairan pesisir (HP3), di mana entitas bisnis atau sektor swasta diperbolehkan untuk mengkapling kawasan pesisir, laut, dan pulau-pulau kecil di Indonesia untuk kepentingan bisnis. Dengan kata lain, UU No. 27 Tahun 2007 melegalkan swastanisasi, komersialisasi, dan privatisasi ruang laut.

Di dalam UU No. 27 Tahun 2007, beragam proyek skala besar yang mengkapling ruang laut mendapatkan ruang yang sangat besar, mulai dari proyek reklamasi pantai, proyek pertambangan pasir laut, pasir besi, tambang minyak dan gas, industri pariwisata, proyek konservasi laut bercorak eko-fasis, yang melarang nelayan tradisional menangkap ikan di kawasan konservasi laut, dan proyek-proyek lainnya.

HP3 didefinisikan sebagai hak atas bagian-bagian tertentu dari perairan pesisir untuk usaha kelautan dan perikanan, serta usaha lain yang terkait dengan pemanfaatan Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang mencakup atas permukaan laut dan kolom air sampai dengan permukaan dasar laut pada batas keluasan tertentu.

HP3 merupakan hak pemanfaatan perairan pesisir yang meliputi pengusahaan atas permukaan laut dan kolom air sampai dengan permukaan dasar laut. HP3 memiliki batas yang sangat luas walaupun diberikan batasan terhadap lama pengusahaan yaitu 20 tahun dan dapat diperpanjang 20 tahun dan dapat diperpanjang kembali untuk tahap kedua sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan harus memenuhi persyaratan baik teknis, administrasi dan operasional.

Hp3 memiliki kecenderungan melahirkan hak perorangan, padahal sumber daya pesisir dan laut merupakan kekayaan alam yang keberadaannya diperlukan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. HP3 memiliki dan menganut paham kepemilikan tertutup (close 11 ownership) terhadap sumber daya pesisir dan laut.

Setelah konsep HP3, perampasan ruang laut dilakukan melalui skema izin, sebagaimana diamanatkan oleh UU No. 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan WIlayah Pesisir dan Pulau Kecil, melalui skema RZWP3K.

UU N0. 1 Tahun 2014, Pasal 16, menyebut, “Setiap orang yang melakukan pemanfaatan ruang dari sebagian Perairan Pesisir dan pemanfaatan sebagian pulau-pulau kecil secara menetap wajib memiliki izin lokasi. Lalu, pasal 17 menyebut, “Izin lokasi diberikan berdasarkan rencana zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.

Pasal-pasal tersebut memudahkan pemberian izin dari Pemerintah kepada sektor swasta untuk menguasai sumber daya laut dan pesisir. Pada titik ini, RZWP3K dapat disebut sebagai legalisasi perampasan ruang laut yang dimiliki oleh masyarakat pesisir. RZWP3K juga dapat disebut sebagai instrumen yang melegalkan perampasan ruang laut yang direncanakan (Planned Ocean Grabbing).

 

*Ditulis oleh Parid Ridwanuddin dan Fikerman Saragih. Tulisan ini merupakan bagian dari buku Negara Melayani Siapa? Potret Ocean Grabbing di Pesisir, Laut dan Pulau-Pulau Kecil dalam RZWP3K di Indonesia. Bukunya dapat dibaca di sini.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *