Mengatasi Krisis Iklim, WALHI: Keselamatan Berbasis WKR dan Hak Alam

Mengatasi Krisis Iklim, WALHI: Keselamatan Berbasis WKR dan Hak Alam

Share on facebook
Share on twitter
Share on linkedin
Share on whatsapp

Terdapat perbedaan mendasar antara Wilayah Kelola Rakyat (WKR) dan Solusi Berbasis Alam yang ditawarkan oleh para kelompok yang memiliki agenda finansialisasi alam atas nama krisis iklim. Maka, secara nilai filosofis, WKR melihat keterhubungan antara manusia dan alam yang setara dan holistik. Alam adalah bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan manusia.

Sebaliknya, Solusi Berbasis Alam meletakkan alam sebatas modal yang menyediakan jasa layanan ekosistem dan peluang untuk mendapatkan keuntungan. Sehingga, oleh Solusi Berbasis Alam ini, ekosistem dapat dijadikan “unit-unit” yang dapat dijual di pasar keuangan global, sebagai sebuah objek untuk penyeimbangan karbon atau offset karbon.

Perbedaan mendasar lainnya adalah mengenai hak. WKR meletakkan hak rakyat atas wilayah kelolanya untuk membangun sistem tata kelola, tata produksi serta tata konsumsi yang berangkat dari pengetahuan lokal serta pengalaman hidup bersama.

Pala, Kayu manis, Kenari dan Cengkeh serta Saloi sebagai wadah untuk membawa hasil kebun oleh masyarakat Maluku Utara (Foto: WALHI Maluku Utara)

Sedangkan Solusi Berbasis Alam meletakkan kendali korporasi, lembaga kapital keuangan, dan perusahaan IT atas aset fisik (tanah, hutan dan ekosistem lainnya) yang ditujukan untuk meraup keuntungan dan mempertegas dampak lingkungan.

Rakyat membuktikan bahwa mereka mampu menjaga dan memulihkan hutan yang merupakan wilayah kelola mereka, tanpa memiliki tujuan untuk menjadikan hutan serta ekosistem lainnya sebagai “unit-unit” yang dapat dihitung dan diperdagangkan.

Percepatan dan perluasan rekognisi wilayah kelola rakyat adalah jalan keluar dari krisis iklim. Sehingga diperlukan kebijakan yang kuat untuk itu. Bukan hanya sebatas kebijakan, namun politic will pengurus negara untuk menjalankannya juga diperlukan.

Keselamatan Berbasis Hak Alam

Krisis iklim serta krisis multidimensi yang terjadi hari ini, adalah buah dari pengabaian hak alam itu sendiri untuk bebas dari ekstraktivisme dan dipulihkan dari dampak buruknya.

Akar krisis iklim ini bersumber dari pelepasan emisi karbon fosil yang sebelumnya terkunci di bawah tanah selama jutaan tahun, penumpukan emisi di atmosfer, serta deforestasi hutan skala besar yang menghilangkan kemampuan alam untuk memulihkan dirinya. Sehingga bebas dari ekstraktivisme adalah langkah yang harus segera diambil.

Yang perlu dilakukan adalah berhenti menerbitkan izin (lebih dari sekadar moratorium) usaha pertambangan, hak guna usaha perkebunan sawit monokultur, izin di sektor kehutanan, pembangkitan listrik berbasis batubara dan gas, serta pembangunan industrial lainnya yang dibalut Proyek Strategis Nasional (PSN).

Kawasan Industri Bantaeng (KIBA) merupakan salah satu Proyek Strategis Nasional (Foto: WALHI Sulawesi Selatan)

Sebab, jika pembongkaran karbon fosil di bawah tanah dan mengubahnya menjadi batubara, energi listrik, bensin, solar, membutuhkan banyak mesin untuk menggali dan mengekstrak karbon dan kemudian membakarnya menjadi bahan bakar fosil, ia akan tetap berada di atmosfer dalam waktu yang sangat lama.

Tutupan hutan, lautan dan tanah di dunia ini dapat menyerap banyaknya karbon ini, namun tentu saja tidak mampu menyerap dengan cepat dan banyak, untuk menahan keseimbangan CO2 di atmosfer bumi. Akibatnya, penumpukan ini akan terus memperparah situsi iklim.

Apalagi, jika hutan sebagai penyerap karbon harus berubah menjadi konsesi-konsesi sawit skala besar dan konsesi-konsesi pertambangan batubara dan nikel, kita akan semakin sulit keluar dari krisis iklim.

Namun, mengkonservasi hutan tanpa rekognisi hak rakyat juga langkah yang keliru. Fakta membuktikan bahwa, tangan-tangan rakyatlah yang selama ini menjaga dan memulihkan hutan tersisa di Indonesia.

Bahkan, semakin keliru jika memberikan hak kepada korporasi untuk mengkonservasi hutan melalui izin-izin restorasi ekosistem, yang telah terbukti menggusur rakyat dan menjadikan konsesi tersebut sebagai objek offset yang stok karbonnya diperdagangkan.

Negara-negara maju juga seharusnya mengoreksi kebijakan mereka yang terus mempertahankan industri fosil sembari mendapatkan keuntungan dari praktik perdagangan karbon dengan skema offset. Pertanggungjawaban mutlak atas loss and damage harus ditujukan pada pemulihan alam dan pemulihan hak rakyat yang selama ini terlanggar.

 

Tulisan ini bersumber dari Kertas Posisi WALHI, Perdagangan Karbon; Jalan Sesat Atasi Krisis Iklim.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *