Praktik Baik dan Tantangan Penguatan Ekonomi Berbasis Komunitas di Kawasan Timur Indonesia

Praktik Baik dan Tantangan Penguatan Ekonomi Berbasis Komunitas di Kawasan Timur Indonesia

Share on facebook
Share on twitter
Share on linkedin
Share on whatsapp

Jaring Nusa KTI kembali menggelar sharing session pada Kamis (8/12/2022). Pada sharing session tersebut mengangkat tema Praktek-Praktek Resiliensi dan Penguatan Ekonomi Masyarakat Pesisir Pulau Kecil di Kawasan Timur Indonesia. Kegiatan ini diselenggarakan secara daring melalui zoom meeting.

Ditengah banyaknya permasalahan yang harus dibenahi dalam pengelolaan wilayah pesisir, sebenarnya di banyak wilayah telah tumbuh kesadaran dari masyarakat untuk mempertahankan kelestarian wilayah pesisir dan laut.

Tidak hanya dalam aspek menjaga kelestarian ekosistem namun juga berbagai upaya yang dikembangkan untuk memperbaiki tata Kelola pengurusan wilayah pesisir termasuk mendorong peningkatan ekonomi komunitas.

Peningkatan ekonomi komunitas melalui pengelolaan pesisir yang berkelanjutan merupakan strategi untuk mendorongkan perubahan yang terjadi di masyarakat terutama terkait resilience sekaligus meningkatkan taraf hidup komunitas.

Mangrove Penguat Ekonomi Komunitas

Andi Anwar, Direktur Yayasan Bonebula yang berbasis di Donggala, Sulawesi Tengah mengungkap jika tantangan yang dihadapi di Donggala dan Teluk Palu secara umum yakni degradasi lahan mangrove yang semakin masif.

Saat ini luasan mangrove di Kabupaten Donggala sebesar 1531,47 Hektar tersebar di 14 Kecamatan dari 16 Kecamatan. Kondisi mangrove tersebut turut mengalami degradasi.

“Kami melakukan riset bersama Yayasan Konservasi Laut (YKL) Indonesia mendapatkan dalam 4 tahun (2015-2019) terjadi penurunan luasan sebesar 12% dari 66,89 Ha menjadi 59,11 Ha atau sebesar 7.78 Ha,” jelasnya.

Ia juga menjelaskan jika saat ini luas Mangrove di Teluk Palu 59,11 Hektar, sebanyak 98% berada di Kecamatan Banawa Kabupaten Donggala yaitu 58,21 Ha. Data dari Kemenkomar (saat ini Kemenkomarves) mengungkap sebanyak 768 Hektar dalam kondisi kritis.

“Kami memproyeksikan jika tidak adanya partisipasi bersama maka yang dikhawatirkan mangrove akan semakin terkikis,” ujarnya.

Menurutnya terdapat tiga tantangan yang dihadapi dalam konservasi mangrove di Donggala. Pertama yakni minimnya pengetahuan dan keterampilan para pegiata mangrove. Kemudian dari segi kebijakan perlindungan dan pelestarian mangrove yang belum menjadi prioritas para pihak. Terakhir perlunya kesadaran dan kepedulian masyarakat pesisir dalam pengelolaan mangrove secara berkelanjutan.

“Ada masalah yang dihadapi kita sebagai pegiat mangrove di Donggala yaitu degradasi lahan dan alih fungsi lahan. Kebijakan yang belum tegas dalam memberikan sanksi terkait alih fungsi lahan,” ungkapnya.

“Pelibatan masyarakat untuk secara bersama melindungi dan melestarikan mangrove di wilayah mereka. Selain itu penguatan pegiat mangrove secara pengetahuan sangat dibutuhkan, tambahnya.

Sejak 2019, Yayasan Bonebula turut mendorong perbaikan dan pengelolaan mangrove di Donggala dan Teluk Palu. Sampai saat ini terdapat 7 kelompok dampingan untuk melakukan rehabilitasi dan pengelolaan mangrove.

“Saat ini, sejak 2019 kami dorong dan kami mengintervensi kebijakan di level pemerintah daerah. Sudah ada draft Ranperda perlindungan dan pengelolaan mangrove yang berkejalanjutan,” ungkapnya.

Yayasan Bonebula turut berkontribusi dalam penguatan ekonomi berbasis mangrove melalui 7 kelompok binaan mereka. Produk-produk dari hasil olahan mangrove turut dikembangkan seperti sirup, kripik, kopi hingga aneka makanan. Selain dari pemanfaatan buah mangrove, terdapat pula pengembangan wisata edukasi.

“Saat ini lagi mengembangkan mendorong jasa lingkungan bersama kelompok tani Baturoko terkait wisata pendidikan pesisir. Harapannya bisa berbagi pengetahuan dengan masyarakat yang lebih luas sekaligus juga meningkatkan pendapatan kelompok tani,” ujarnya.

Kasna, Ketua Kelompok Tani Mangrove Baturoko memberikan testimoninya. Ia menyebut jika latar belakang lahirnya lantaran adanya kesadaran dari masyarakat akibat peristiwa tsunami dan abrasi yang telah mengambil sebagian besar wilayah pemukiman. Sekitar 100 kk telah berpindah pemukiman akibat degradasi lahan tersebut.

“Dalam keseharian kelompok kami bekerja dari berdasarkan program yang telah kami susun yang juga didampingi oleh Yayasan Bonebula,” jelasnya.

“Kami telah berhasil merehabilitasi lebih dari 10 hektar di desa kami. Kami saat ini sedang uji coba untuk membesarkan kepiting dalam hutan mangrove,” tambahnya.

Pengelolaan Perikanan Berbasis Masyarakat

Di Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat juga turut melakukan pengelolaan berbasis masyarakat pada sektor perikanan. Pengelolaan tersebut disebut dengan istilah awik-awik.

Amin Abdullah selaku Direktur Lembaga Pemberdayaan Sumber Daya Nelayan (LPSDN) yang berbasis di Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat turut menjelaskan jika awik-awik merupakan pranata atau aturan yang dibuat dan ditaati oleh masyarakat secara bersama utk mengatur hubungan antar manusia dan manusia dengan lingkungannya.

“Jadi perairan di Lombok Timur itu dibagi menjadi 7 pengelolaan awik-awik. Dasar hukumnya yakni Perda No. 09 Tahun 2006 dan Perda No 10 Tahun 2006. Jadi adanya pengakuan yang dilakukan oleh masyarakat melalui awik-awik,” jelasnya.

Adapun aturan awik-awik itu sendiri yakni merupakan Kesepakatan tentang wilayah kelola (Kawasan Teluk Jor). Aturan-aturan pemanfaatan Teluk Jor (teknologi penangkapan ikan, Pengusahaan dan penempatan jaring apung, pelarangan penggunaan alat-alat yang merusak). Kemudian aturan pemeliharaan dan konservasi habitat pesisir (mangrove, sumber daya ikan, terumbu karang, padang lamun, pasir laut).

Selain itu terdapat pula aturan mengenai denda bagi pelanggar. Terakhir yakni penetapan Lembaga pemangku Awik-awik Teluk Jor (LPATJ) sebagai lembaga pengelola.

LPSDN bersama Pemerintah Desa dan masyarakat di 2 desa telah menginisiasi lahirnya awik-awik pengelolaan perikanan di Teluk Jor, Kecamatan Jerowaru, Kab. Lotim.

“Luas Perairan atau wilayah kelola awik-awik di Teluk Jor sebesar 1.700 Ha. Di inisiasi oleh LPSDN pada tahun 2013. Begitu banyak aktivitas masyarakat di Teluk Jor,” jelasnya.

Selain itu LPSDN sendiri dalam kerja-kerjanya telah melakukan berbagai upaya dalam meningkatkan ekonomi dan menjaga lingkungan di pesisir dan laut Lombok Timur. Ia menjelaskan jika LPSDN telah membentuk 3 koperasi dan pembentukan 3 kelompok perempuan pengolah hasil perikanan.

“LPSDN membentuk dan memperkuat kelompok perempuan pengolah hasil perikanan yang berhubungan erat dengan ekosistem mangrove,” ujarnya.

Kelompok tersebut adalah Kelompok Perempuan Ingin Maju Desa Pare Mas yang mengolah cangkang kepiting menjadi kerupuk cangkang kepiting. Kelompok Perempuan Pesisir Samudera, KP Surya Bakti, dan kelompok yang lainnya mengolah dan membuat Terasi Udang yang bahan bakunya dari udang rebon. Terakhir adalah Kelompok Pengolah Garam Halus “KUKUS SIE” dan Kelompok Perempuan Petambak Garam Repok Bembek.

Tantangan Ekonomi Komunitas di Maluku Utara

Pakativa yang merupakan salah satu organisasi berbasis di Maluku Utara turut berperan dalam peningkatan ekonomi berbasis masyarakat di wilayah dampingan mereka. Achmad Rusdi Rasjid selaku manajer program Pakativa menjelaskan saat ini tantangan yang dihadapi dalam pengelolaan berbasis komunitas di Maluku Utara cukup beragam dilihat dari letak geografisnya.

“Maluku Utara sendiri masuk dalam daerah MGP yakni merapi, pertemuan jalur gempa, lingkar pasifik dan pulau-pulau kecil,” ujarnya.

Dari total luasan hutan yang ada di Maluku Utara sebesar ± 2.519.623,91 Ha berdasarkan SK.302/MenHut-II/2013, sebanyak 33.153,66 Ha untuk Pinjam Pakai Kawasan Hutan untuk kegiatan pertambangan. Sebanyak 535.744 Ha untuk Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Alam (IUPHHK-HA). Sebanyak 59.138 Ha Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Tanaman Industri (IUPHHK-HTI).

Selain itu terdapat 19.438 Ha untuk Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Tanaman Rakyat (IUPHHK-HTR). Sebanyak 17.565,07 Ha pelepasan Kawasan Hutan untuk perkebunan.

“Banyaknya investasi sektor kehutanan membuat terjadi degradasi lahan yang berdampak kepada ekonomi masyarakat. Banyak yang bergantung terhadap hasil hutan,” ungkapnya.

“Berangkat dari realita tersebut maka Pakativa sendiri dibentuk untuk berperan dalam membangun tatanan sistem ekonomi masyarakat yang kuat dan berdaya guna untuk khalayak banyak yang menunjang kelestarian alam dan lingkungan hidup,” tambahnya.

Saat ini terdapat 3 Desa dampingan Pavatika untuk penguatan ekonomi. Desa tersebut yakni Desa Gumira, Desa Posi Posi dan Desa Samo. Aktivitas di 3 Desa tersebut mencakup penguatan pengelolaan kampung partisipatif dalam pengelolaan dan perlindungan hutan. Konsolidasi pemuda untuk mendukung inisiatif kampung dan perlindungan hutan di Maluku Utara. Terakhir yakni pengembangan kebijakan pembangunan berkelanjutan untuk Maluku Utara.

“Dari inisiatif yang dilakukan dengan pemerintah daerah mendapatkan respon positif dari masyarakat. Paling tidak masyarakat bisa mandiri dengan pembelajaran bersama yang kita lakukan,” terangnya.

Sementara itu dalam diskusi tersebut juga mendapat tanggapan dari M. Rijal Idrus selaku praktisi Kelautan dan Perikan. Ia mengungkap jika peran dari organisasi yang mendampingi patut kita apresiasi lantaran masyarakat pesisir kurang mendapat perhatian.

“Kemandirian masyarakat menjadi sangat penting didorong untuk di wilayah pesisir. Kurang mandiri secara ekonomi dan secara sosial terpinggirkan. Peran pemerintah masih jauh dari cukup,” ungkapnya.

“Perlu pendekatan yang sistematis dan tidak bisa secara temporer,” tambahnya.

Menurutnya penting melihat penguatan dan pengembangan kapasitas masyarakat. Tantangannya juga adalah pengelolaan sumber daya alam di wilayah laut dari ancaman luar.

“Kapasitas dari masyarakat pesisir perlu dikuatkan. BPS mengungkap juga jika kemiskinan banyak berasal dari pesisir. Kedaulatan pangan harusnya dimulai dari pesisir karena Indonesia merupakan negara kepulauan,” jelasnya.

 

Penulis: Muhammad Riszky

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *