Search
Close this search box.
Search

#SaveAru: Cabut PBPH dan Setop Dagang Karbon di Kepulauan Aru

#SaveAru: Cabut PBPH dan Setop Dagang Karbon di Kepulauan Aru

Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) dan Gubernur Maluku diminta mencabut Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH) PT Wana Sejahtera Abadi (WSA) dan menghentikan proses perizinan perdagangan karbon Melchor Group di Kabupaten Aru, Maluku. Permintaan tersebut disampaikan Koalisi #SaveAru dalam sebuah surat pernyataan sikap pada 15 Desember 2023.

Dalam surat itu, koalisi yang terdiri dari aktivis organisasi masyarakat sipil, perempuan, pemuda dan mahasiswa, masyarakat adat dan masyarakat lokal di Kepulauan Aru, menyatakan penolakan rencana investasi PBPH PT WSA, dan perdagangan karbon PT Alam Subur Indonesia juga PT Bumi Lestari Internasional, anak Perusahaan Melchor Group Indonesia.

Koalisi menjelaskan, Kepulauan Aru (Jargaria) adalah gugusan pulau kecil di tengah laut Arafura. Ada lebih 800 pulau kecil yang dipisahkan oleh selat-selat sempit, yang sering disalah-tafsirkan sebagai sungai. Luasan hutan alam Aru mencapai sekitar 705.000 hektare atau sekitar 85% dari luas daratannya.

Daratan pulau di Aru terbentuk atas batuan karst dengan topografi yang rendah. Hal tersebut menyebabkan tidak adanya daerah aliran sungai (DAS) yang luas di Kepulauan Aru. Sehingga ketersediaan dan akses air tawar di beberapa pulau sangatlah terbatas, yang mengharuskan sebagian masyarakat menggantungkan kebutuhan air bersih dari curah hujan.

Bumi Jargaria, dari ujung timur Batu Goyang sampai utara Waria Lau telah dibagi habis dan dikuasai oleh masyarakat adat Aru melalui hak petuanan (hak penguasaan secara adat). Wilayah petuanan menjadi identitas bagi masyarakat adat Aru karena di sanalah adat istiadat dan budaya dilahirkan.

“Menjaga tanah dan hutan Aru tetap lestari diyakini sebagai pesan yang dititipkan oleh nenek moyang kepada mereka untuk diteruskan sampai kepada anak cucu generasi mendatang,” kata Koalisi #SaveAru dalam surat pernyataan sikapnya.

Tanah, karst, hutan, mangrove, sungai dan laut beserta segala macam yang ada di dalamnya, kata Koalisi, memiliki keterikatan yang kuat dengan kehidupan masyarakat adat Aru. Di kala laut sedang bergelombang tinggi (musim barat), berburu dan meramu ke hutan menjadi sumber penghidupan. Di kala laut sedang tenang (musim timur), mereka akan pergi menangkap ikan di selat atau laut, mencari bia (kerang) dan menangkap kepiting di hutan mangrove.

Koalisi melanjutkan, tak hanya dari sumber laut dan hutan, berladang berbagai sumber makanan pokok selain sagu (Metroxylon sagu), seperti padi (Oryza sativa), jagung pulut (Zea mays ceratina Kulesh), ubi jalar (Ipomoea batatas), gembili (Dioscorea esculenta), singkong (Manihot esculenta), dan sayur-sayuran lokal, memampukan sebagian masyarakat Aru memenuhi kebutuhan pokoknya sendiri secara mandiri dan berdaulat.

Pada 2022, kata Koalisi, Pemerintah Kabupaten Kepulauan Aru mengeluarkan Peraturan Daerah (Perda) tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat Aru Ursia-Urlima dan dasar hukum bagi masyarakat adat Aru melakukan upaya hukum untuk mendapatkan pengakuan atas pengelolaan wilayah adat mereka.

Saat ini masyarakat sedang berproses melakukan pemetaan partisipatif wilayah adatnya, dan ini sudah dilakukan oleh Komunitas di Lorang dan Kobamar. Peta partisipatif masyarakat adat ini diharapkan bisa memberikan gambaran wilayah kelola masyarakat dan untuk menghindari potensi konflik penguasaan lahan di kemudian hari.

“Selain itu, hasil pemetaan partisipatif ini diharapkan dapat menjadi acuan dalam pengembangan perencanaan ruang dan pengelolaan wilayah berbasis masyarakat adat Aru,” ujar Koalisi.

Menurut Koalisi, penolakan masyarakat Aru atas investasi skala besar berbasis tanah yang berpotensi merusak alam dan menghancurkan sumber air dan sumber penghidupan masyarakat sudah terjadi berulang kali. Pada 2013, masyarakat Aru menolak rencana investasi perkebunan tebu milik Menara Grup yang luasnya mencapai hampir 70% luas daratan Aru. Pada 2018, masyarakat Aru kembali menolak izin peternakan sapi terluas se-Indonesia sekitar 61.000 hektare di Aru bagian selatan.

“Saat ini, masyarakat Aru dan Koalisi #SaveAru kembali menyerukan penolakan terhadap investasi PT WSA dan Melchor Group Indonesia,” ucap Koalisi.

Koalisi kemudian membeberkan, PT WSA memperoleh izin PBPH Hutan Alam seluas 54.560 hektare di Pulau Wokam dan Woham. Ada empat kecamatan, yaitu Aru Utara Timur Batuley (Desa Kobamar dan Kompane), Sir-Sir (Desa Bardefan dan Goda-Goda), Pulau-Pulau Aru (Desa Gorar, Lau-Lau, Tungu, Tunguwatu, dan Nafar), dan Kec. Aru Tengah (Desa Selibata-Bata dan Wakua), yang terdampak oleh aktivitas Perusahaan ini.

Kehadiran PT WSA di Kepulauan Aru meresahkan dan berpotensi menimbulkan konflik. Kegiatan pemanfaatan hutan yang akan dilakukan oleh PT WSA tergolong aktivitas berisiko tinggi dan membutuhkan biaya lingkungan yang sangat besar.

Alasannya, karena area konsesi PT WSA berada di dua pulau kecil yaitu P. Wokam (140.000 hektare) dan P. Woham (30.400 hektare). Selain itu, PT WSA juga tidak melakukan tahapan usaha sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Permen LHK) No. 8 Tahun 2021 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan Hutan di Hutan Lindung dan Hutan Produksi.

“PT WSA tidak melakukan sosialisasi secara jujur dan terbuka kepada masyarakat, tidak membuat rencana kerja, dan tidak melakukan inventarisasi hutan,” kata Koalisi.

Kemudian, Melchor Group Indonesia atau Melchor Tiara Pratama (MTP) merupakan perusahaan induk dari empat group perusahaan besar, yaitu Perisai Alam Sejahtera, Muller Karbon Kapital, Rantai Oxygen Indonesia (ROXI), dan Melchor Artha Lestari. Di Aru, melalui anak Perusahaan Muller Karbon Kapital, yaitu PT Bumi Lestari Internasional dan PT Alam Subur Indonesia, grup ini berupaya mengembangkan proyek perdagangan karbon yang diberi nama Cendrawasih Aru Project seluas 591.957 hektare.

Juni 2022, Pemerintah Provinsi Maluku telah mengeluarkan surat rekomendasi izin PBPH untuk kedua Perusahaan tersebut seluas 191.955 hektare. Keberadaan MTP di wilayah kelola masyarakat Aru berpotensi meminggirkan hak-hak masyarakat atas ruang sumber daya alam yang selama ini menjadi sumber penghidupan masyarakat.

Terakhir, dengan penuh kesadaran dan terhadap komitmen pemenuhan Hak Asasi Manusia, lingkungan dan melawan perubahan iklim, Koalisi menyampaikan sejumlah permintaan.

Kepada Menteri LHK beserta jajaran Kementerian LHK:

  1. Menghentikan aktivitas perusahaan dan mencabut izin PBPH PT Wana Sejahtera Abadi di Kabupaten Kepulauan Aru.
  2. Menghentikan proses perizinan PBPH anak perusahaan Melchor Group, yaitu PT Bumi Lestari Internasional dan PT Alam Subur Indonesia di Kabupaten Kepulauan Aru.
  3. Meninjau kembali kebijakan kawasan hutan di Provinsi Maluku khususnya di Kabupaten Kepulauan Aru.
  4. Melakukan audit perizinan dan konsesi berbasis sumber daya alam di Provinsi Maluku khususnya di Kabupaten Kepulauan Aru.
  5. Memberikan sanksi tegas, hingga pencabutan izin, bagi yang terbukti melanggar hukum.

Kepada Gubernur Maluku beserta jajaran Pemerintah Provinsi Maluku:

  1. Sesuai kewenangannya untuk menghentikan aktivitas perusahaan PT Wana Sejahtera Abadi di Kabupaten Kepulauan Aru.
  2. Sesuai kewenangannya untuk segera menghentikan proses perizinan PBPH anak perusahaan MTP, yaitu PT Bumi Lestari Internasional dan PT Alam Subur Indonesia di Kabupaten Kepulauan Aru.
  3. Meninjau kembali dan merevisi kebijakan Rencana Tata Ruang dan Wilayah Provinsi Maluku khususnya Kabupaten Kepulauan Aru.
  4. Sesuai kewenangannya untuk tidak lagi memberikan izin dan rekomendasi terhadap segala macam industri/konsesi berbasis sumber daya alam yang berpotensi merusak hutan dan merampas ruang hidup masyarakat adat Aru.
  5. Meninjau kembali kebijakan kawasan hutan di Provinsi Maluku khususnya di Kabupaten Kepulauan Aru.
  6. Melakukan audit perizinan dan konsesi berbasis sumber daya alam di Provinsi Maluku khususnya di Kabupaten Kepulauan Aru.
  7. Memberikan sanksi tegas, hingga pencabutan izin, bagi yang terbukti melanggar hukum.

Foto: Tampak dari ketinggian hamparan mangrove di Kepulauan Aru (Foto: adychandra.com)

Sumber: betahita.id

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *