Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah menetapkan Gubernur Maluku Utara, Abdul Gani Kasuba (AGK), sebagai tersangka korupsi lelang jabatan dan pengadaan barang dan jasa. Selaian AGK, KPK juga menetapkan 6 tersangka lainnya, yaitu sejumlah kepala dinas dan pihak swasta.
Dugaan korupsi yang melibatkan AGK sesungguhnya tidak hanya sebatas pelelangan jabatan dan pengadaan barang dan jasa, tetapi juga diduga terkait dengan proses penerbitan izin tambang, pembahasan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), hingga pembiaran operasi perusahaan tambang yang melanggar regulasi.
Selama dua periode menjabat sebagai gubernur Maluku Utara, AGK tercatat mengobral 54 Izin Usaha Pertambangan (IUP).
Pada periode pertama berkuasa (2014 – 2019), dari seluruh izin tambang yang diterbitkan AGK, sebanyak 26 IUP diduga abal-abal. Puluhan izin tambang itu diduga melanggar UU Minerba No 4 Tahun 2009 (sebelum direvisi menjadi UU No 3 Tahun 2020) dan PP No 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara serta Peraturan Menteri ESDM No 25 Tahun 2015 Tentang Pendelegasian Wewenang Pemberian Perizinan Bidang Pertambangan Mineral dan Batubara.
Izin-izin tambang yang bermasalah itu, empat di antaranya dikeluarkan kepada PT Halmahera Jaya Mining, PT Budhi Jaya Mineral, CV Orion Jaya, dan PT Kieraha Tambang Sentosa. PT Budhi Jaya Mineral merupakan anak perusahaan Harita Group yang beroperasi di Pulau Obi, Halmahera Selatan.
Lalu pada momentum sebelum dan pasca Pilkada 2018 lalu, dimana AGK ikut berkontestasi dan terpilih, juga mengobral 36 izin tambang. Penerbitan izin tambang pada tahun politik ini diduga sebagai bagian dari praktik ijon politik, dimana AGK berkepentingan mendapatkan dana operasional kampanye, sementara perusahaan berkepentingan mendapat jaminan hukum atas keberlanjutan investasi.
Selain itu, pada 2022 lalu, AGK juga merekomendasikan ke Kementerian ESDM untuk memunculkan 13 IUP di aplikasi MODI dan MOMI Kementerian ESDM. Langkah ini patut dibaca sebagai bagian dari transaksi gelap antara kepentingan perusahaan tambang dan Gubernur AGK.
Sebagaimana diketahui, selain AGK, terdapat enam orang lainnya yang telah ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK. Satu di antaranya atas nama Stevi Thomas (ST). ST merupakan orang penting di Harita Group, salah satu perusahaan tambang nikel terbesar yang beroperasi di Desa Kawasi, Pulau Obi, Halmahera Selatan, Maluku Utara.
ST tercatat sebagai Direktur Hubungan Eksternal PT Trimegah Bangun Persada Tbk, anak perusahaan Harita Group. Selain itu, ST juga menjabat sebagai Komisaris di PT Gane Tambang Sentosa, yang juga merupakan anak perusahaan Harita Group.
Dalam operasionalnya, perusahaan-perusahaan dibawa Harita Group ini tercatat mencaplok lahan-lahan warga, mencemari sumber air dan perairan laut, melakukan intimidasi dan kekerasan serta kriminalisasi terhadap warga, hingga terganggunya kesehatan warga yang diduga akibat operasi pembangkit listrik tenaga batubara di kawasan industri Harita.
Keterlibatan ST hingga kemudian ditetapkan sebagai tersangka diduga karena telah melakukan tindak pidana korupsi berupa suap kepada AGK, untuk kepentingan pembangunan jalan tambang milik Harita Group di Pulau Obi, Halmahera Selatan.
Dugaan tindak pidana korupsi yang melibatkan AGK dan ST menunjukkan pratik pengelolaan pertambangan di Maluku Utara yang penuh dengan transaksional. Elit politik lokal dan pengusaha tambang justru bersekongkol, mengeruk kekayaan tambang untuk kepentingan diri dan kelompok.
Praktik korupsi di sektor pertambangan ini diduga tidak hanya terkait antara AGK dengan petinggi Harita, tetapi juga diduga dengan perusahaan-perusahaan tambang lainnya, yang izinnya diterbitkan selama AGK menjabat sebagai gubernur.
Sehingga, kami melihat proses hukum terhadap AGK, Cs mestinya tidak hanya berkutat pada korupsi lelang jabatan dan proyek pengadaan barang dan jasa semata, tapi juga harus menyasar praktik korupsi di sektor pertambangan yang telah lama mengendap tanpa penegakan hukum.
Proses hukum atas AGK dan para tersangka lainnya juga mesti menjangkau aspek kerugian negara, termasuk yang dialami oleh warga, tempat di mana perusahaan-perusahaan beroperasi. Salah satunya terkait rencana operasi perusahaan tambang nikel PT Priven Lestari. Konsesi perusahaan yang mencapai hampir 5000 hektar ini, mencaplok lahan dan mengancam saru-satunya sumber air warga di Kecamatan Buli, Halmahera Timur.
Konsesi perusahaan ini juga berada di kawasan hutan. Rencana penambangan yang berlangsung di tengah derasnya penolakan warga ini, sarat dengan politik transaksional. Salah satu indikasinya melalui otak-atik RTRW Halmahera Timur untuk mengalokasikan ruang tambang di ruang hidup warga.
Foto utama: Kondisi air laut di Pulau Garaga, Kecamatan Obi, Halmahera Selatan yang tercemar aktivitas tambang. Foto : DKP Halmahera Selatan