Search
Close this search box.
Search

WALHI Kritik Izin Pertambangan Untuk Ormas Keagamaan

WALHI Kritik Izin Pertambangan Untuk Ormas Keagamaan

Agenda Pekan Rakyat Lingkungan Hidup 2024 yang diselenggarakan WALHI di Padarincang, Banten menjadi momen untuk mengingatkan kembali betapa besarnya dominasi kekuatan ekonomi politik “pebisnis sumber daya alam” yang secara langsung akan mempengaruhi dinamika lingkungan hidup dan sosial di masyarakat.

Pada momen istighosah akbar yang merupakan bagian dari rangkaian Pekan Rakyat Lingkungan Hidup yang  digelar pada 5 Juni 2024, WALHI menyatakan bahwa kebijakan yang saat ini dijalankan oleh pemerintahan yang berkuasa telah mempercepat kerusakan lingkungan dan seringkali mengabaikan peri kehidupan rakyat dan malah membangkang amanat konstitusi dan perundang-undangan.

Pembangkangan konstitusi dan perundang-undangan yang paling baru dan paling menunjukkan karakter rezim yang hanya mementingkan kekuasaan ketimbang keselamatan rakyat nampak dari dikeluarkannya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 Tahun 2024 yang merupakan perubahan atas Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 96 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara, yang mengatur pemberian Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) tambang pada wilayah eks PKP2B (Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara) kepada Ormas Keagamaan.

Pemberian prioritas IUPK kepada Ormas Keagamaan, bahkan jika dilangsungkan melalui badan usaha yang berafiliasi dengan ormas-ormas yang diatur melalui PP ini adalah bentuk pembangkangan Konstitusi dan bahkan Undang-Undang yang ada, karena Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Mineral dan Batubara dengan jelas menyatakan bahwa prioritas pemberian IUPK hanya kepada Badan Usaha Milik Negara atau Daerah (BUMN/BUMD) dan badan usaha swasta pemberian IUPK diharuskan melalui proses lelang.

Pemberian IUPK pada wilayah eks PKP2B kepada ormas keagamaan juga menunjukkan bahwa bagi rezim Presiden Joko Widodo, izin pertambangan bukanlah mekanisme untuk melakukan pembatasan, pengendalian dan perlindungan terhadap dampak lingkungan dari akibat yang bisa dimunculkan dari aktivitas pertambangan, namun hanya menjadi alat transaksi kekuasaan dan obral sumber daya alam terutama pada sektor tambang batubara.

Hampir 5 juta hektar lahan telah diubah menjadi kawasan pertambangan batubara, dengan setidaknya hampir 2 juta hektarnya berada di kawasan hutan, dan tren perusakan ini tidak akan segera menurun karena Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral sendiri terus mendorong peningkatan produksi batubara di Indonesia dari tahun ke tahun (2021: 609 juta ton; 2022: 618 juta ton; 2023: 625 juta ton; 2024: 628 juta ton).

Kontribusi batubara pada sektor energi juga membawa Indonesia menjadi  penghasil emisi terbesar kesembilan di dunia dengan 600 juta ton CO2 dari sektor energi pada tahun 2021. Konsesi pertambangan batubara juga merupakan ancaman bagi budidaya agraris di Indoensia.

Luasan tambang batubara dilaporkan mencakup 19 persen dari areal persawahan yang ada dan 23 persen lahan yang tersedia untuk budidaya padi baru. Hingga 15 persen kawasan yang diperuntukkan bagi budidaya perkebunan juga berisiko dibuka dan ditambang untuk produksi batubara, sehingga menimbulkan risiko terbesar bagi ketahanan pangan di masa mendatang.

Besarnya luasan pertambangan batubara, terutama yang berada pada wilayah yang penting baik secara ekologis maupun pada Wilayah Kelola Rakyat menyebabkan konflik pertambangan menjadi terus mengemuka. Dalam catatan WALHI sepanjang periode pemerintahan Presiden Joko Widodo telah ada 827 kasus kekerasan, intimidasi dan kriminalisasi yang dialami oleh rakyat dalam kasus-kasus terkait perjuangan lingkungan hidup, Sebagian besar dari kasus ini adalah pada wilayah-wilayah pertambangan.

Pemberian izin tambang bagi ormas keagamaan justru akan membuat ormas-ormas ini nantinya berakhir bertikai dengan warga anggotanya sendiri. Adalah sesuatu yang ironis bagi ormas keagamaan yang dibentuk untuk tujuan mulia penyebaran ajaran kebaikan jika harus berakhir menyebabkan konflik baik dengan masyarakat secara umum, lebih-lebih dengan warga anggotanya sendiri karena pemberian izin tambang ini.

Pemberian prioritas IUPK kepada Ormas Keagamaan juga berisiko besar akan berakhir menjadi bancakan para pemain tambang yang secara keahlian teknis dan tata niaga-nya telah memiliki pengalaman pada bisnis tambang.

Kebutuhan kemampuan mobilisasi sumber daya untuk mendukung operasi teknis dalam bisnis tambang serta penguasaan terhadap tata niaga batubara bukanlah kemampuan yang sekarang dimiliki oleh ormas-ormas keagamaan, karena memang ormas keagamaan tidak dibentuk untuk tujuan bisnis tambang.

Kekosongan kemampuan ini bisa menjadi celah bagi pemain lama bisnis tambang untuk mengambil alih operasi pertambangan dari IUPK yang diberikan prioritasnya kepada ormas keagamaan.

Pada akhirnya ini hanya akan berakhir menjadi operasi bisnis tambang pada umumnya yang berisiko tinggi memicu kerusakan lingkungan dan pelanggaran hak asasi manusia, namun kali ini para pemain tambang yang mendapatkan keuntungan, dan ormas-ormas keagamaan yang mendapatkan getah dari lunturnya nama baik mereka akibat dampak yang ditimbulkan bisnis pertambangan.

Hal ini akan menjadi pukulan besar dari upaya berbagai tokoh dan kelompok-kelompok keagamaan yang secara tekun menjadi pendamping bagi advokasi lingkungan hidup di berbagai daerah di Indonesia.

Di Padarincang, Banten, tempat di mana WALHI menyelenggarakan Pekan Rakyat Lingkungan Hidup, justru tokoh-tokoh dari pesantren menjadi tulang punggung perjuangan warga melawan ancaman perusakan sumber-sumber mata air baik dari proyek privatisasi air maupun dari proyek energi geothermal.

Jika ormas-ormas keagamaan menerima tawaran pemerintah untuk mengelola bisnis pertambangan, ini akan bertolak belakang dengan semangat pelestarian lingkungan hidup yang diperjuangkan tokoh-tokoh agama di berbagai daerah, seperti yang ada di Padarincang ini.

Upaya pemberian izin tambang kepada ormas keagamaan hanya akan menjadi pembenaran terhadap segala perusakan yang telah terjadi di Indonesia.

Dengan implikasi yang besar terhadap lingkungan hidup dan kehidupan warga di Indoensia, WALHI mengajak ormas-ormas keagamaan untuk menolak pemberian izin pertambangan yang ditawarkan oleh pemerintah, dan justru berhimpun kembali dengan berbagai perjuangan pelestarian lingkungan yang juga digalang oleh tokoh-tokoh keagamaan di berbagai wilayah untuk memulihkan kembali Indonesia dari daya rusaknya lingkungan akibat dari rusaknya demokrasi dan sistem politik Indonesia.

Di antara semakin parahnya tatanan ekologis dan kepemimpinan politik yang semakin membawa kerusakan dalam kehidupan warga, kepemimpinan spiritual dari ormas-ormas keagamaan harusnya menjadi salah satu jawaban untuk mempertahankan dan memulihkan ruang hidup dan sumber-sumber penghidupan warga.

*Rilis WALHI

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *