Search
Close this search box.
Search

Ekstraktivisme Mengorbankan Ekologi dan Akses Masyarakat Lokal Terhadap Ruang Laut

Ekstraktivisme Mengorbankan Ekologi dan Akses Masyarakat Lokal Terhadap Ruang Laut

Ekosistem alami pesisir dan juga pulau kecil sangat rentan terganggu oleh limbah pertambangan, polusi air dan udara, serta kerusakan habitat yang disebabkan oleh aktivitas industri ekstraktif. Selain dampak ekologis, ancaman pertambangan dan industri ekstraktif juga memberikan pengaruh yang kuat pada kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat. 

Banyak petani dan nelayan yang kehilangan mata pencaharian mereka akibat kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh kegiatan pertambangan. Kehadiran perusahaan pertambangan seringkali mengakibatkan konflik dengan masyarakat setempat terkait tenurial dan sumber daya alam, konflik perebutan ruang antara modal dan ruang hidup masyarakat.

Jaring Nusa Kawasan Timur Indonesia kembali menggelar seri diskusi yang ketiga untuk membedah visi Misi Capres-Cawapres, melihat masa depan negara Kepulauan Indonesia. Diskusi yang digelar melalui zoom meeting pada Rabu (7/02/2024) untuk membaca secara kritis pandangan calon presiden-wakil presiden yang tertuang didalam visi-misi mereka terkait isu hilirisasi industri dan penataan ruang.

Visi Misi Capres-Cawapres

Muhammad Al Amin, Direktur WALHI Sulawesi Selatan menjelaskan ketiga pasangan calon presiden dan wakil presiden bertumpu pada sektor industri sebagai strategi utama dalam meningkatkan perekonomian nasional. Ketiga pasangan calon akan menjalankan hilirisasi dan industrialisasi yang membedakan adalah basis industrinya. 

“Dari membaca semua dokumen yang ada memang semua kandidat masih menyadarkan pembangunan ekonomi indonesia pada sektor industri. Sebagai strategi utama pemerintah untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi,” ujarnya.

“Ada yang mengolah mineral atau tambang. Ada yang mengolah hasil pertanian, perkebunan dan perikanan,” tambah Amin.

Dalam visi misinya, paslon Anies-Muhaimin menggunakan 78 kata industri atau industrialisasi. Hilirisasi dan industrialisasi. Membangun kawasan industri berbasis bioregion dan keunggulan di masing-masing daerah yang didasari kebutuhan masyarakat, riset dan inovasi.

“Industri disandarkan pada sektor agro maritim melalui proses riset, inovasi dan kebutuhan masyarakat saat ini. Pasangan ini juga membangun kawasan industri bioregion,” terangya.

“Target pertumbuhan ekonomi sebesar 5,2 persen dari industrialisasi,” tambahnya.

Sementara itu, untuk pasangan Prabowo-Gibran, memasukan 50 kata industri atau industrialisasi pada visi misinya. Arah pembangunan industri berbasis sumber daya alam, khususnya mineral dengan tetap melanjutkan melanjutkan program hilirisasi di berbagai sektor dengan meningkatkan pembangunan pabrik smelter.

“Calon nomor 2, akan memberikan kemudahan bagi pelaku usaha yang ingin membangun industri dengan keringanan bahkan menghapus PPN,” terangnya.

“Dalam kurun waktu 3 tahun terakhir sektor publik smelter cukup banyak memberikan pemasukan nasional. Ini yang dilihat oleh pasangan ini ingin melanjutkan pembangunan smelter,” tambahnya.

Pada pasangan Ganjar-Mahfud, menggunakan 37 kata industrialisasi di dalam visi misinya. Menjadikan riset dan inovasi sebagai fondasi industrialisasi.

“Membangun ekonomi biru dengan membangun Industri Maritim. Selain itu targetnya terjadi pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 7 persen,” ujarnya. 

Pada isu pembangunan pesisir dan pulau kecil, Amin menilai ketiga pasangan memiliki agenda masing-masing. Seperti pada pasangan Anis-Muhaimin dengan memperkuat kapasitas masyarakat pesisir terhadap adaptasi dampak perubahan iklim dan bencana ekologis. 

Sementara itu Prabowo-Gibran ingin meningkatkan nilai tambah setiap potensi sumber daya pesisir seperti perikanan tangkap, budidaya udang, budidaya garam, budidaya rumput laut, dan budidaya lobster melalui industrialisasi yang berkelanjutan. 

Pada pasangan Ganjar-Mahfud, ingin melakukan Penghijauan wilayah pesisir, ruang terbuka hijau memadai dan mitigasi bencana. Selain itu juga menjalankan tata kelola laut yang inklusif dan berkelanjutan dan mengatasi pencemaran laut.

Polusi Udara dan Polusi Air yang Disebabkan oleh Industri Pengolahan Nikel di Morowali, Sulawesi Tengah (Foto: WALHI Sulsel)

Amin juga menyinggung mengenai dampak hilirisasi industri nikel di Sulawesi. Ia menyebut jika dampak dari masifnya pertambangan nikel telah menyebabkan kerusakan ekologis serta penghidupan masyarakat.

“Di Sulawesi Tengah, hasil perikanan menurun drastis, nelayan mulai frustasi. Mulai belajar menjadi buruh pabrik. Menciptakan industrialisasi mineral dalam 3 tahun terakhir mengakibatkan pencemaran serta menurunnya hasil tangkapan produksi perikanan tangkap,” ujarnya.

Masyarakat harus menangkan ikan lebih jauh dan tidak sedikit nelayan. Selain itu, kata Amin, di banyak tempat di Sulawesi tenggara, kegiatan pertambangan nikel menimbulkan pencemaran yang diakibatkan meluapnya perpindahan sedimentasi di laut.

“Resiko dampak hilirisasi khususnya mineral akan berdampak pada kelestarian dan ekosistem masyarakat. Pemberitaan hari ini, harga nikel menurun secara signifikan,” terangnya. 

Biaya cost pemulihan lingkungan tidak pernah menurun, akan ikut meningkat. Biaya pemulihan dan biaya sosial bagi masyarakat terdampak dengan harga nikel di pasaran tidak setara.

Ocean Grabbing di Indonesia

Ocean grabbing merupakan tindakan perampasan hak masyarakat pesisir yang telah memanfaatkan, mengontrol dan mengakses ruang laut maupun sumber daya yang terkandung di dalamnya. Caranya adalah melalui dikomodifikasi dan monetisasi melalui berbagai kebijakan.

Muhammad Karim, akademisi Universitas Trilogi menjelaskan ocean grabbing juga dapat dilakukan melalui proses tata kelola yang tidak wajar sehingga melemahkan keamanan atau kehidupan manusia. Hal tersebut berdampak pada menurunnya kesejahteraan dan kerusakan ekologi.

Privatisasi perikanan lewat perdagangan dan penyewaan kuota menyebabkan nelayan tidak dapat mengakses karena sudah dikapling oleh pemegang kuota. Akibatnya, keuntungan terakumulasi dan dikonsolidasikan di tangan beberapa pemegang kuota saja.

“Nelayan sebagai peminjam kuota berada di ambang bahaya kelangsungan hidup dan menghadapi potensi kebangkrutan”, ujarnya.

“Di beberapa negara, nelayan tradisional tidak mampu bersaing dengan kapal-kapal besar sehingga kuotanya dijual. Di Indonesia kemungkinannya akan terjadi,” tambahnya.

Menurutnya, pemegang kuota secara bertahap menjadi pemilik ikan di laut dibandingkan sebagai pengguna sumber daya sesungguhnya. Lebih parahnya, nelayan semakin menjadi bukan nelayan lagi.

“Dalam sistem kuota itu bisa dipindah tangan, diperjualkan belikan. Masalahnya, ketika disusun, PIT tidak pernah diajak diskusi masyarakat lokal,” terang Karim, yang juga merupakan peneliti Pusat Kajian Pembangunan dan Peradaban Maritim.

Data ekspor perikanan Indonesia tahun 2021-2023 (Foto: Presentasi Muhammad Karim)

Menurutnya, paling tidak terdapat 20 kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah berpotensi mengakibatkan perampasan laut. Sehingga ia mendorong kebijakan politik yang mengutamakan hak-hak masyarakat lokal dan juga berpihak pada keberlanjutan ekosistem di pesisir, laut dan pulau kecil.

“Masyarakat lokal yang telah mempraktikkan cara hidup ekologis mampu menjadi role model dalam pembangunan. Tidak bisa lagi ada perampasan. Harusnya dikembalikan pada hak-hak masyarakat,” tegasnya.

Ia juga mendorong kepada pemerintah yang akan menjabat untuk melihat kebijakan yang mengubah. Pertama perubahan paradigma politik pembangunan kelautan dan perikanan yang berorientasi pertumbuhan yang bersifat eksploitatif dan ekstraktif karena mengejar pertumbuhan.

Selain itu penting mendorong pemikiran ekonomi alternatif yang berbasiskan budaya dan khas kepulauan nusantara. Penting juga adanya reforma agraria di sektor kelautan dan perikanan skala kecil. Terakhir adalah mereformasi perikanan tangkap nasional secara radikal yang memposisikan tradisional, masyarakat lokal dan adat sebagai produsen pangan nasional.

Dampak Ekstrativisme 

Ekstraktivisme merupakan paham yang menjustifikasi penghilangan bahan mentah atau alam dalam jumlah yang sangat besar, terutama untuk melayani kepentingan pihak lain dengan pengelolaan minimal. 

Parid Ridwanuddin, Manajer Pesisir dan Laut WALHI menilai wujud ekstraktivisme di Indonesia dapat dilihat dari lahirnya produk hukum melalui UU Minerba dan UU Cipta Kerja.

Pada Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 pada pasal 28a tertulis mengenai pertambangan mineral dan batubara adalah seluruh ruang darat, ruang laut, termasuk ruang dalam bumi sebagai satu kesatuan wilayah yakni kepulauan Indonesia, tanah di bawah perairan dan landas kontinen.

Menurutnya, hal itu berdampak pada keberlangsungan ekosistem dan merugikan masyarakat luar. Pada salah satu pasal lainnya, ia menjelaskan jika UU Minerba ini melemahkan posisi masyarakat yang berjuang atas lingkungannya. 

“UU minerba ini sangat bahaya. Contohnya, nelayan di Bangka Belitung yang berjuang melindungi wilayah lautnya mendapatkan intimidasi. Nelayan di takut-takuti,” ungkapnya.

“Sekarang terlihat persatuan negara dan private sektor menjadi satu yang tidak bisa dipisahkan. Di dalam perkembangannya yang terjadi adalah pertautannya sudah sangat kuat,” tambahnya.

WALHI dalam rilisnya mencatat, sejak tahun 2014 lebih dari 800 orang yang dikriminalisasi karena mempertahankan ruang hidupnya. 

Selain itu ia juga turut membeberkan watak ekstraktivisme dalam UU Cipta Kerja. Dalam aturan tersebut, menegaskan bahwa kawasan inti konservasi dapat diubah menjadi kawasan eksploitasi, terutama untuk kepentingan Proyek Strategis Nasional (PSN).

“Saya khawatir upaya-upaya yang telah dilakukan masyarakat terancam. Sudah ada upaya perlindungan yang dilakukan oleh masyarakat, tetapi watak ekstraktivisme itu merupakan wilayah yang harus ditaklukkan, itu bisa menjadi ancaman ke depan,” jelasnya.

Berkaitan dengan wujud upaya perlindungan wilayah tangkap nelayan juga diutarakan oleh Cliff Matulessy yang merupakan Direktur LMMA Indonesia. Ia menjelaskan jika industri ekstraktif telah mengarah ke semua sektor pesisir, laut dan pulau kecil.

“Lombok Utara sampai Lombok Timur semuanya industri udang. Kalau tidak salah, terdapat 82 industri. Belum lagi di Sumbawa. Masyarakat nelayan dipindahkan suka-suka,” terangnya.

Ia juga menilai pengembangan industri ekstraktif berupa pengembangan pariwisata tidak memberikan dampak signifikan terhadap masyarakat lokal, tetapi lebih kepada investor.

“Ruang itu kalau tidak direbut, kita tidak dapat apa-apa. Pengembangan kawasan pariwisata tidak mengikutkan masyarakat, tetapi hanya para investor,” tegasnya.

Banyaknya praktik baik dalam pengelolaan masyarakat adat dan lokal (Foto: Presentasi Cliff Martulessy)

Selain itu ia juga mendorong untuk memanfaatkan ruang yang tersedia untuk dikelola masyarakat melalui cara-cara yang sesuai aturan. Ia mencontohkan mengenai pendampingan yang dilakukan oleh LMMA Indonesia di wilayah Kawasan Timur Indonesia.

Terdapat 5 provinsi dengan 10 Kabupaten/Kota dengan total 278 desa yang telah mendapatkan aturan perlindungan atas ruang kelolanya. Total daerah perlindungannya mencapai 1.362.771 hektar.

“Untuk mengambil alih mengelolah ruang, bagaimana desa memanfaatkan ruangnya untuk ekonomi. Masyarakat desa harus memiliki peraturan desa supaya memiliki posisi tawar,” ujarnya.

Yando Zakaria, seorang Antropolog juga memberikan pandangannya dalam diskusi tersebut. Menurutnya penting untuk mencoba melihat wilayah tangkap nelayan dan juga nelayan kecil dilihat dari kewenangan desa. Wilayah tangkap itu atau nelayan kecil bisa dilihat sebagai kewenangan yang bersumber dari hak asal usul atau kewenangan desa berbasis lokal.

“Kita bisa mendapatkan titik temu, sehingga wilayah tangkap nelayan itu bisa. Itu menjadi contoh untuk bisa diterapkan di daerah lain.” 

Ia juga menerangkan jika dapat melihat kewenangan desa sebagai kewenangan atas hak asal usul. Jika tidak diatur dalam undang-undang sektoral dapat diperjuangkan melalui undang-undang non sektoral.

“Ada kewenangan yang efektif yang dilakukan pemerintah yang lebih rendah tidak bisa dilakukan oleh pemerintah yang lebih tinggi. Kegiatan atau tradisi mengelola wilayah tangkap tadi itulah yang dijadikan kewenangan desa yang berbasis hak asal usul,” terangnya. 

Untuk itu Parid mendorong agar perlunya advokasi di tingkat nasional pada sektor kebijakan untuk mengakui wilayah kelola masyarakat khususnya yang berkaitan dengan wilayah tangkap tradisional.

“Perlu adanya pengakuan terhadap wilayah tangkap tradisional. Berikutnya adalah mendorong pengakuan perikanan skala kecil sebagai sistem pangan. Itu yang harus kita dorong advokasinya,” ungkapnya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *