Hibua Lamo: Simbolis Persatuan Masyarakat Pesisir Halmahera Utara

Hibua Lamo: Simbolis Persatuan Masyarakat Pesisir Halmahera Utara

Share on facebook
Share on twitter
Share on linkedin
Share on whatsapp

Halmahera Utara adalah satu Kabupaten di Provinsi Maluku Utara. Jarak yang mesti ditempuh dari Kota Ternate ke pusat Kabupaten Halmahera Utara, Tobelo adalah sekitar 223km. Waktu tempuhnya beragam bisa 4-6 jam tergantung laju kendaraan. Selama perjalanan dari Pelabuhan Sofifi, mata kita akan disuguhi pemandangan hijau dari pepohonan rimbun. Didominasi pohon kelapa sebagai bahan utama kopra hasil bumi unggulan Halmahera Utara.

Arti Hibua Lamo

Di Tobelo sendiri ada satu bangunan yang begitu menarik perhatian. Adalah “Hibua Lamo” yang merupakan simbolis persatuan adat istiadat di Halmahera Utara. Dulunya bernama Hibualamo namun diperkirakan terjadi perubahan semenjak masyarakat Halmahera Utara memiliki kontak dengan kesultanan Ternate. Perubahan nama juga ini sebagai salah satu dampak dari konflik berdarah di Maluku – Maluku Utara tahun 1999-2001. Pergeseran yang terjadi dikarenakan pengaruh pemerintahan serta sejarah berdarah yang dilatarbelakangi kepentingan agama.

Memiliki arti “Rumah Besar” Hibua Lamo digunakan untuk pelbagai kepentingan umum. Seperti berkumpul untuk menyelesaikan masalah dengan aturan adat, sebagai penanda ketika bermukim di sebuah kampung, tempat syukuran hasil bumi masyarakat, dan sebagai tempat untuk membicarakan kepentingan bersama. Makna rumah besar juga disematkan karena dahulu jika ada orang yang datang menghadiri undangan rapat adat dan lain-lain dari jauh, Hibua Lamo dijadikan tempat tinggal sementara.

Hibua Lamo (Dokumentasi Pribadi)

Pergeseran Fungsi

Zaman dahulu, Hibua Lamo dijadikan sebagai tempat pemujaan para leluhur atau nenek moyang. Masuknya ajaran agama Islam dan Kristen pun membuat perubahan dalam peruntukannya. Dari yang dahulu merupakan tempat pemujaan leluhur atau nenek myang menjadi tempat membicarakan kepentingan bersama. Apapun hal yang menyangkut kepentingan bersama dibicarakan secara adat di Hibua Lamo.

Rumah Besar dilandasi dua nilai falsafah “Nanga Tau Mahirete” dan “Ngone O’Ria Dodoto”. Nanga Tau Mahirete berarti rumah kita bersama sedangkan Ngone O’Ria Dodoto adalah rumah orang bersaudara. Dua landasan falsafah tersebut digunakan sebagai landasan menjalani kehidupan yang membuat masyarakat terhindar dari berbagai pengaruh arus pemikiran yang berpotensi memicu perpecahan. Ngone O’Ria Dodoto juga dimaknai bahwa semua yang termasuk dalam persatuan Hibua Lamo berasal dari ibu yang sama. Sehingga mampu meredam perpecahan karena rasa persaudaraan yang kental secara filosofi yang dipertahankan hingga saat ini. 

Simbolis Perdamaian dan Kekayaan Hasil Bumi

Hibua Lamo merupakan simbolis perdamaian yang mampu meredam perpecahan akibat konflik saudara yang merupakan sejarah kelam masyarakat Maluku Utara. Merangkul tiga daerah besar yakni Tobelo, Galela, dan Loloda dengan landasan falsafah Nanga Tau Mahirete dan Ngone O’Ria Dodoto Halmahera Utara menjadi tempat pertama yang mendeklarasikan perdamaian.

Hibua Lamo merupakan corak yang sangat mencerminkan masyarakat pesisir di tiga daerah  tersebut. Terlihat dari simbol perahu di atap bangunan dengan tulisan HIBUALAMO. Serta ada satu bangunan seperti aula terbuka yang berbentuk perahu. Perahu dapat dimaknai sebagai kendaraan utama yang digunakan masyarakat pesisir. Baik untuk urusan niaga (berdagang), mencari hasil laut, bepergian dari satu tempat ke tempat lain, dan lain sebagainya. Tobelo sendiri merupakan pelabuhan utama untuk perdagangan hasil bumi masyarakat Halmahera Utara seperti kopra, pala, sagu, dan lain-lain.

Hibua Lamo (Dokumentasi Pribadi)

Kedua simbol bangunan berupa perahu di kawasan Hibua Lamo menandakan eratnya hubungan masyarakat pesisir dengan kendaraan yang dipakai beraktifitas. Bangunan Hibua Lamo dapat dikatakan sebagai wujud material budaya, pencapaian jati diri masyarakat Halmahera Utara. Rumah Besar merupakan aktualisasi dari sekian banyak pesan tentang keterikatan mendasar hubungan manusia dengan alam.

 

Penulis: Nur Herliati Hidayah Herman, sehari-hari beraktifitas sebagai Staff Pengorganisasian Rakyat WALHI Sulawesi Selatan. Memiliki lapak dan toko buku bernama Candu Book. Sesekali menulis dan mengirimkan tulisan pada platform online atau blog sendiri. Juga pernah terlibat dalam kolektif penulisan dengan KBJ dan Urban Social Forum dengan tema “Siasat Seni di Kala Pandemi”. Motto “It’s not the way you plan it, but it’s how you make it happen”.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *