Lemahnya Narasi Kedaulatan Pangan, Perikanan Berkelanjutan dan Konservasi Berbasis Lokal di Pesisir dan Pulau Kecil dalam Visi-Misi Capres dan Cawapres

Lemahnya Narasi Kedaulatan Pangan, Perikanan Berkelanjutan dan Konservasi Berbasis Lokal di Pesisir dan Pulau Kecil dalam Visi-Misi Capres dan Cawapres

Share on facebook
Share on twitter
Share on linkedin
Share on whatsapp

Masyarakat serta ekosistem pulau-pulau kecil termasuk juga wilayah pesisir pulau besar, telah menghadapi berbagai ancaman dan degradasi lingkungan. Pengaruh krisis iklim, berubahnya musim penangkapan, hilangnya lahan penduduk di daerah pesisir karena abrasi, konflik agraria, konflik ruang termasuk konflik wilayah tangkap nelayan dan kesehatan lingkungan merupakan hal yang telah terjadi saat ini. 

Terancamnya ketersediaan sumberdaya dan akses pangan masyarakat pulau kecil harus mampu ditangani kedepan. Disisi lain pada aspek kebijakan dan tata kelola perikanan juga terus menjadi permasalahan saat ini, dimana posisi nelayan kecil masih sangat rentan dan marginal.

Persoalan akses dan ketersediaan pangan penduduk pulau kecil urgen untuk diantisipasi melalui strategi dan kebijakan oleh pemerintahan ke depan. Selain itu juga menyangkut tata kelola sumber daya perikanan serta pengelolaan kawasan konservasi dalam kebijakan nasional.

Untuk itu Jaring Nusa kembali menggelar serial diskusi yang kedua dengan mengusung tema Mewujudkan kedaulatan pangan, perikanan berkelanjutan dan konservasi berbasis lokal di pesisir dan pulau kecil. Kegiatan ini diselenggarakan pada Kamis (18/01/2024) yang berlangsung secara daring.

Minimnya narasi visi-misi maritim

Nirwan Dessibali yang merupakan Direktur Yayasan Konservasi Laut (YKL) Indonesia memaparkan potret para pasangan calon perihal visi-misi yang berkaitan dengan kedaulatan pangan, perikanan berkelanjutan dan konservasi berbasis lokal di pesisir dan pulau kecil.

“Berdasarkan dokumen resmi dari 3 pasangan capres dan cawapres. Bukan untuk saling melemahkan dan belum implementatif,” ujarnya.

Ia menjelaskan untuk pasangan nomor urut satu untuk pangan disebutkan kemandirian pangan sebanyak 8 kali dan pangan sebanyak 31 kali. Sedangkan nomor urut 2 menyebutkan swasembada pangan sebanyak 8 kali dan pangan sebanyak 31 kali. Pasangan nomor urut 3 sendiri menyebutkan kedaulatan pangan sebanyak 2 kali dan pangan sebanyak 14 kali.

“Masing-masing pasangan calon punya istilah khusus terkait dengan kedaulatan pangan. Nomor urut satu menggunakan kata kemandirian pangan, nomor urut 2 menggunakan swasembada pangan dan nomor urut 3 menggunakan kedaulatan pangan,” terangnya.

Pada isu perikanan berkelanjutan, nomor urut 1 menyebutkan perikanan berkelanjutan sebanyak 1 kali dan perikanan sebanyak 8 kali. Sementara nomor urut 2 menyebutkan perikanan lestari sebanyak 1 kali dan perikanan sebanyak 17 kali. 

Untuk pasangan nomor urut 3 menggunakan perikanan budidaya berkelanjutan sebanyak 1 kali. Selain itu juga disebutkan kelestarian sumber daya ikan sebanyak 8 kali dan perikanan sebanyak 8 kali.

Nirwan Dessibali memaparkan hasil kajiannya mengenai narasi kedaulatan pangan, perikanan berkelanjutan dan konservasi berbasis lokal di pesisir dan pulau kecil di Visi-Misi Capres dan Cawapres, Kamis (18/01/2023)

“Nomor urut 1 hanya 1 kali disebutkan. Sementara nomor urut 2 terdapatkan perikanan lestari dan nomor urut 3 menggunakan perikanan budidaya berkelanjutan serta kelestarian sumber daya ikan,” jelasnya.

“Dengan melihat dari awal jumlah kata bisa menggambarkan ketiga calon pasangan ini. Terkait perikanan berkelanjutan tidak terlalu kuat,” tambahnya.

Sementara pada isu konservasi laut, pasangan nomor urut 1 menyebutkan kelestarian lingkungan kepulauan sebanyak 1 kali. Sedangkan nomor urut 3 menggunakan kata pelestarian lingkungan laut sebanyak 1 kali.

Pada nomor urut dua tidak disebutkan kata-kata kunci seperti konservasi laut, konservasi lokal, konservasi berbasis masyarakat, perlindungan laut, konservasi pesisir, perlindungan pesisir hingga konservasi dan pulau.

“Isu konservasi laut berbasis masyarakat juga tidak masuk. Sementara masyarakat memiliki peran penting dalam mengelola sumber daya alam di pesisir dan pulau kecil,” jelasnya.

“Banyak program yang dilakukan di kegiatan pesisir, namun berbicara dengan ketiga tema masih sangat kurang yang menyasar pesisir, laut dan pulau kecil,” tandasnya.

Ancaman pangan dan air di pulau kecil

Laksmi Adriani Savitri, pengawas FIAN Indonesia turut memaparkan terkait kondisi pangan di pulau kecil khususnya di wilayah Kawasan Timur Indonesia (KTI). Ia menjelaskan jika para Capres dan Cawapres berkaitan dengan pangan masih dilihat hanya sebatas komoditi. 

“Dari ketiga calon, kami tidak melihat komitmen bahwa pangan sebagai hak asasi manusia (HAM). Sejauh ini ketiga pasangan calon masih melihat pangan semata-mata hanya sebagai komoditi,” ujarnya.

Ia juga menjelaskan beberapa penyebab struktural terjadinya krisis pangan dan air di pulau kecil. Diantaranya overfishing, pencemaran DAS akibat aktivitas industri ekstraktif, deforestasi. 

Hal ini menyebabkan hilangnya akses ke sumberdaya hutan dan budidaya. Lalu diperparah dengan perubahan iklim yang sedang terjadi.

“Hampir semua bukan semata-mata penyebab natural dan alam, tapi berasal dari struktur yang lahir dari kebijakan yang tidak memihak masyarakat di pulau kecil,” terangnya.

Krisis pangan dan air di wilayah kepulauan adalah fenomena gunung es yang sudah terjadi lama dan berulang, tapi diabaikan oleh negara,” tambahnya.

Selain itu terdapat ancaman-ancaman baru yang semakin memperparah kondisi masyarakat dan sumber daya alam di pulau kecil. Ia mencontohkan melalui program pemerintah Lumbung Ikan Nasional (LIN) di Provinsi Maluku yang menurutnya adalah konsep food estate yang sama dengan di darat.

Kami melihat (LIN) tidak ada bedanya food estate di darat. Integrasi komoditi ikan pada pasar global secara menyeluruh yang sangat terkait akan ambisi ekspor dan hilirisasi,” ujar Laksmi.

“Disaat yang sama LIN direncanakan di wilayah laut disaat lautnya telah mengalami overfishing,” tambahnya.

Hal ini menurutnya akan semakin memperlemah posisi nelayan kecil dan tradisional.

“LIN ini sebuah bentuk dari privatisasi wilayah penangkapan ikan. Sudah banyak keluhan bagaimana nelayan kecil dan tradisional mengeluh hasil tangkapan dari 1 hingga 10 mil,” ujarnya.

Ia juga menyoroti terkait kelaparan yang beberapa kali terjadi di pulau kecil yang menurutnya sebagai fenomena gunung es.

“Pulau-pulau kecil terutama, memiliki angka stunting yang sangat tinggi. Jika melihat stunting di pulau yang memiliki konsesi tambang terdapat angka stunting yang tinggi,” jelasnya.

Stunting di pulau-pulau yang terdapat konsesi tambang (Paparan materi Laksmi Adriani Savitri)

Sebagai salah satu langkah yang dapat diambil dalam mengatasi adalah menggaungkan kembali pangan lokal pada masyarakat di pulau kecil. Ia mendorong untuk menjaga dan membangun sistem pangan lokal. Ia mencontohkan pengalaman di Nusa Tenggara Timur.

“Bersama Keuskupan Larantuka dan kelompok petani, dari rawan pangan ke kaya pangan, kembali ke selera asal yakni sorgum,” terangnya.

Ia juga menyerukan perubahan dari bawah dan dari atas untuk mengatasi persoalan pangan di pulau kecil. Dari bawah sendiri yakni dengan memperkuat sistem pangan lokal berbasis kelas sosial, keadilan gender dan relasi antar-generasi.

Sementara dari atas melalui kebijakan spesifik berbasis karakter sosial ekologis & budaya kepulauan berperspektif hak atas pangan dan gizi.

“Semua ini adalah satu untaian panjang yang menyebabkan pertaruhan atas kualitas generasi muda di masa mendatang,” tandasnya.

Wahyudin, dari Yayasan Hutan Biru turut menanggapi terkait dengan ketahanan pangan dengan menggunakan pendekatan masyarakat adat. Menurutnya, pengelolaan wilayah secara adat memberikan dampak positif saat krisis melanda.

“Beberapa masyarakat yang tetap menjaga adatnya tetap aman sebagai jaring pengaman sosial pada saat Covid-19. Harusnya itu dijadikan sebagai role model dalam pengelolaan pangan berbasis masyarakat,” 

Praktik baik dari Malaumkarta

Toriyanus Kalami, masyarakat adat Malaumkarta, Papua Barat turut memberikan pengalaman masyarakat adat Malaumkarta dalam pengelolaan wilayah berbasis masyarakat lokal. Ia menjelaskan jika pemanfaatan ruang telah ada sejak lama.

“Di suku Moi tidak mengenal zona pemanfaatan terbuka. Mereka punya zona itu hanya mengenal zona inti dan zona pemanfaatan terbatas dan zona inti khusus,” ujarnya.

Dari segi regulasi, masyarakat adat Malaumkarta telah memiliki beberapa aturan diantaranya Peraturan Bupati Sorong Nomor 07, Tahun 2017 Tentang Pengelolaan MHA Egek di Malaumkarta. Selain itu wilayah laut juga sudah dimasukkan dalam Wilayah Zonasi Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP-3-K), sebesar 4.000 Ha . Selain itu terdapat Perda Nomor 10 Tahun 2017, tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat.

Peraturan Bupati Sorong Nomor 06 Tahun 2020 tentang Percepatan Pemetaan Tanah Adat dan  Ruang Kelolah MHA. Suku Moi di Kabupaten Sorong dan turunannya di Perbup No. 06 tahun 2020. Unit Kelola MHA sendiri dibuat oleh Dewan Adat Suku Moi.

“Kami menyumbangkan dokumen konservasi ke pemerintah papua barat. Dokumen ini juga menjadi pemicu untuk perlindungan pengelolaan wilayah adat di daerah lainnya,” jelas Tori.

Peta potensi Masyarakat Hukum Adat (MHA) Malaumkarta Raya (Paparan materi Toriyanus Kalami)

Sementara itu terkait konsep pengelolaan masyarakat adat, ia menjelaskan jika pengelolaannya mengikuti zona-zona yang telah ada dalam ruang adat serta hanya pada zona pemanfaatan terbatas.

“Ketika hari ini pemerintah bicara laju deforestasi, sebenarnya masyarakat adat punya konsep tersendiri dalam menjaga sumber daya alamnya,” terangnya.

“Dari proses-proses yang berjalan, kami telah deklarasi untuk penggunaan kawasan laut atau perairan. Kami deklarasi juga untuk perlindungan satwa dan hutan. Banyak pihak yang mendukung upaya kami,” tambahnya.

Sementara itu, upaya-upaya yang dilakukan oleh masyarakat Malaumkarta diantaranya mempromosikan konsep serta praktek–praktek baik masyarakat adat. Terutama tentang pengetahuan  penggunaan ruang kelola kehidupan masyarakat adat yang dilakukan atau dipraktekkan secara berkelanjutan.

Selain itu juga mempromosikan mengedukasi  pengetahuan lokal masyarakat adat, terhadap sistem pengelolaan SDA secara berkelanjutan.

“Sains tradisional, ini hampir dilakukan tapi kami berusaha mengembalikan nilai-nilai ini ke dalam masyarakat. Selain itu kajian-kajian valuasi ekonomi penting dilakukan untuk mempertegas potensi sumber daya masyarakat adat,” terangnya.

Sementara itu terkait dengan pengelolaan pulau kecil, Zulham Harahap, akademisi Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Khairun, Ternate turut memberikan contoh lain yang mampu mengatasi memberikan dampak positif tanpa adanya industri ekstraktif.

“Ada beberapa pengelolaan pulau kecil yang dapat diapresiasi. Membangun pulau kecil tanpa pendekatan ekstraktif seperti di Bunaken dan Raja Ampat,” ujarnya.

Ia juga menggarisbawahi untuk memperhatikan pengelolaan pulau kecil sebab akan berkaitan dengan generasi mendatang.

“Kalau satu generasi rusak, itu yang harus dikhawatirkan,” terangya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *