Berdasarkan catatan Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI), penambahan 188 kasus di tahun 2021 tersebut merupakan jumlah tertinggi yang diterima SBMI dalam satu tahun. Ini menjadikan total kasus ABK perikanan yang ditangani oleh SBMI sejak 2013 sebanyak 634 kasus. SBMI, Human Rights Working Group (HRWG) dan Greenpeace Indonesia menilai Presiden Republik Indonesia, sebagai kepala negara, punya tanggung jawab untuk menghentikan praktik eksploitasi ini, alih-alih terkesan melakukan pembiaran sehingga turut “berkontribusi” melanggar HAM.
“Upaya advokasi yang dilakukan SBMI terkait kasus-kasus yang dialami ABK Indonesia yang bekerja di kapal asing, sering kali terkendala oleh adanya tumpang tindih kewenangan dan belum adanya Peraturan Pemerintah tentang Penempatan dan Pelindungan Awak Kapal Niaga dan Awak Kapal Perikanan sebagai aturan turunan UU Nomor 18 Tahun 2017 tentang PPMI,” kata Ketua Umum SBMI, Hariyanto Suwarno.
Salah satu tumpang tindih aturan yang harus segera dituntaskan menurut Hari adalah soal implementasi PP 22 tahun 2022. Aturan ini menegaskan penerbitan izin Perusahaan Perekrutan dan Penempatan Awak Kapal (SIUPPAK) yang diterbitkan oleh Kemenhub harus dikonversi ke Surat Izin Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia (SIP3MI) yang diterbitkan oleh Kemenaker.
“Kemenhub harusnya sadar bahwa mereka sudah tidak punya kapasitas mengurus awak kapal perikanan migran,” tegas Hari.
Dalam laporan “Kajian Pelanggaran HAM terhadap ABK di Asia Tenggara: Pembiaran Perbudakan Modern” HRWG menggarisbawahi kekosongan Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Perlindungan (RPP) ABK Indonesia yang seharusnya sudah keluar selambat-lambatnya pada 2019, atau dua tahun sejak terbitnya Undang-Undang Nomor 18 tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (UU PPMI). Proses pembahasan RPP ini pun berjalan lamban akibat beragam konflik kepentingan di antara kementerian dan lembaga.
Laporan Greenpeace Indonesia dan SBMI, pada ABK mengalami kondisi kerja buruk atau kerja paksa sesuai dengan 11 indikator kerja paksa ILO seperti kekerasan, penipuan, isolasi, pembatasan gerak, lembur berlebihan, pemotongan upah dan jeratan hutang. Tak hanya pada ABK, eksploitasi juga dilakukan terhadap sumber daya tangkapan laut. Stok ikan di beberapa daerah perairan menurun drastis akibat penggunaan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan.
“Terbaru, Departemen Keuangan AS memberi sanksi pada Dalian Ocean Fishing Co. yang merupakan pemilik 26 kapal asal China. Kapal-kapal ini mayoritas mendapat izin menangkap tuna. Tapi faktanya, banyak AKP kita yang dipaksa secara ilegal mengambil sirip hiu atau bahkan membunuh hewan laut yang dilindungi,” kata Afdillah, Juru Kampanye Laut Greenpeace Indonesia.
Eksploitasi sumber daya laut yang berlebihan dan populasi ikan yang semakin berkurang mendorong masifnya penangkapan ikan di laut lepas, yang seringkali mengakibatkan biaya operasional yang lebih tinggi dan juga membuat ABK perikanan lebih rentan.
Rujukan: lautsehat.id; greenpeace.org