Lingkungan pesisir dan laut, termasuk pulau-pulau kecil, adalah salah satu bagian bumi paling dinamis sekaligus paling rentan terhadap perubahan global.
Dari dampak perubahan iklim hingga polusi dan usaha konservasi, dinamika ekosistem pesisir dan pulau kecil menjadi fokus dari berbagai stakeholder untuk mengatasi dampaknya. Beberapa hasil riset menunjukkan tren lingkungan hidup pada pesisir, laut dan pulau kecil.
1. Krisis Global: Laut yang Memanas dan Dampaknya pada Ekosistem
Pemanasan Laut dan Heatwaves Laut
Menurut artikel yang ditulis oleh Perri Thaler di livescience, heatwaves laut ekstrim akan terjadi pada tahun 2023, yang akan mencakup lebih dari 96% permukaan laut dunia. Ini akan menjadi periode paling panas dan berkepanjangan yang pernah terjadi sejak dekade 1950-an. Gelombang panas laut ini menyebabkan pemutihan karang massal, yang mengancam ekosistem terumbu karang dan makhluk laut lainnya.
Mengapa temuan ini penting? Meskipun terumbu karang hanya menempati kurang dari 1% dasar laut, mereka mendukung sekitar 25% dari semua spesies laut. Produksi perikanan dan ketahanan pangan masyarakat pesisir terpengaruh oleh pemutihan karang karena mengurangi habitat alami ikan, kepiting, dan biota laut lainnya.
Kenaikan Suhu Laut dan Respon Ekosistem
Suhu permukaan laut akan berada di rekor tertinggi sepanjang masa di awal tahun 2025, menurut data dari Copernicus dan WMO. Gelombang panas laut terjadi di Asia Tenggara hingga Pasifik dan mencakup lebih dari lima kali luas Australia. Peningkatan intensitas badai, kerusakan habitat, dan perubahan distribusi ikan adalah semua hasil dari pemanasan ini.
Dampaknya pada Pulau Kecil dan Pesisir
Nirwan Dessibali, Direktur Yayasan Konservasi Laut (YKL) Indonesia dalam sebuah sharing session Jaring Nusa menjelaskan jika pulau-pulau kecil yang menjadi rumah bagi jutaan orang saat ini menghadapi dua tantangan. Pertama adalah peningkatan muka air laut menyebabkan abrasi pantai dan banjir, dan kedua yakni ketidakstabilan ekosistem terumbu karang yang memiliki fungsi esensial baik ekologi dan juga ekonomi.

2. Ancaman Khusus: Pulau Kecil yang Menghilang dan Dampaknya pada Masyarakat Lokal
Naiknya Muka Air Laut
Sebuah studi yang dipublikasi oleh IPCC dan riset ilmiah iklim internasional menjelaskan bahwa muka air laut global terus naik secara pasti dan makin cepat sebagai hasil pemanasan global. Hal tersebut semakin meningkat resiko eksistensi dari pulau-pulau kecil.
Pada September 2025, Jaring Nusa melakukan sharing session yang membahas mengenai adaptasi dan mitigasi dari perubahan iklim serta bencana ekologis. Diskusi tersebut mengungkap jika salah satu penyebab memperparah kondisi di pulau kecil yakni elevasi yang rendah meningkatkan risiko banjir musiman, abrasi yang intens. Bahkan beberapa pulau telah mengalami abrasi yang parah.
“Saat ini dampaknya sudah sangat terlihat pada wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, baik pada morfologi pantai, ekosistem, infrastruktur, maupun sumber daya,” terang Baharuddin Sabur, akademisi dari Universitas Lambung Mangkurat dalam sharing session Jaring Nusa.
Solusi Berbasis Lokal
Di Pesisir dan pulau-pulau kecil khususnya di Kawasan Timur Indonesia, secara turun-temurun melakukan aktivitas keberlanjutan baik secara ekonomi maupun ekologi. Contohnya termasuk pengaturan penggunaan lahan pesisir yang fleksibel, teknik bangunan tahan banjir, dan pengelolaan sumber daya laut berbasis budaya yang adaptif.
“Sistem buka-tutup ini, seperti sasi tradisional, menetapkan wilayah perairan yang ditutup sementara dari penangkapan. Dalam kasus ini, wilayah ditutup selama tiga bulan dan kemudian dibuka kembali. Nelayan masih bisa menangkap ikan di luar wilayah yang ditutup,” ujar Nirwan Dessibali, Direktur YKL Indonesia dalam sharing session Jaring Nusa.

3. Polusi dan Sampah Laut: Ancaman Berkelanjutan
Volume Sampah Laut di Indonesia
Indonesia, dengan garis pantai lebih dari 108.000 km dan sekitar 17.000 pulau, menghadapi ancaman sampah laut yang besar. KKP dalam data terbarunya menyebut jumlah timbulan sampah tahun 2025 mencapai 50,06 juta ton. Sebagian besar berujung ke laut yang menunjukkan sistem pengelolaan yang belum optimal.
Masalah utamanya yakni 40% dari total sampah tidak terkelola dengan baik di daratan, sungai, dan pesisir sehingga masuk ke laut. Selain itu plastik laut menjadi ancaman serius bagi biota laut dan kesehatan manusia melalui rantai pangan.

4. Penurunan Kualitas dan Kerusakan Habitat Laut
Kerusakan Terumbu Karang
Bleaching coral yang disebabkan oleh panas laut adalah salah satu fenomena global yang telah menyebabkan krisis terumbu karang terbesar dalam sejarah modern. Ini telah berdampak besar pada jaringan kehidupan laut dan fungsi ekosistem pesisir seperti perlindungan pantai dan perikanan.
Hasil riset yang dilakukan oleh Jala Ina pada Februari 2025 menunjukkan bahwa kondisi terumbu karang di perairan Negeri Liang berada dalam situasi yang sangat mengkhawatirkan. Penelitian yang dilakukan di tiga stasiun pengamatan menggunakan metode Underwater Photo Transect (UPT) mengungkap bahwa rata-rata tutupan karang hidup di bawah 5%, dengan rincian 2,01% di stasiun 1, 1,09% di stasiun 2, dan 3,01% di stasiun 3. Berdasarkan standar Kementerian Lingkungan Hidup (Keputusan Menteri LH No. 4 Tahun 2001), angka ini masuk dalam kategori buruk.
“Data ini adalah sinyal peringatan. Terumbu karang yang rusak tidak hanya kehilangan fungsi ekologis, tetapi juga mempengaruhi keberlangsungan ekonomi masyarakat pesisir,” ujar Yusuf Sangadji, Direktur Jala Ina dalam forum diseminasi yang diselenggarakan di Kantor Negeri Liang, 15 Mei 2025.

Overfishing dan Gangguan Ekosistem
Menurut survei global yang melibatkan ilmuwan dari 19 negara seperti dilansir oleh The Times of India, perubahan iklim, polusi dan overfishing adalah tiga ancaman utama bagi biodiversitas laut. Polusi terutama meningkat dari sampah plastik, yang ditemukan dalam hasil tangkapan hingga sekitar 5% dalam beberapa perairan pesisir.
Data dari KKP tahun 2020 menunjukkan sektor perikanan mengalami penurunan, dengan beberapa daerah di KTI menunjukan penurunan tajam.
“Untuk ikan demersal seperti ikan kakap dan kerapu di beberapa daerah seperti Maluku dan Papua menurun 30 hingga 40 persen. Hal itu berdampak terhadap nelayan kecil,” jelas Nita Rukminasari, guru besar perikanan Universitas Hasanuddin pada sharing session Jaring Nusa.
Penurunan hasil tangkapan sering dikaitkan dengan penangkapan berlebih dan praktik penangkapan yang tidak berkelanjutan.
5. Tren Positif dan Upaya Konservasi
Perluasan Kawasan Laut yang Dilindungi
Gerakan global seperti Revive Our Ocean, yang dipimpin oleh organisasi lingkungan dan program seperti Pristine Seas, mendorong target 30% lautan dunia dilindungi secara efektif pada 2030. Riset yang dirilis oleh Reuters tersebut menambahkan upaya ini mencakup penciptaan kawasan konservasi laut di banyak negara termasuk Indonesia dan Filipina.
Data terbaru menyebut hanya sekitar 8% lautan yang dilindungi saat ini, jauh dari target 30%, tetapi inisiatif ini mempercepat pembentukan marine protected areas (MPA) yang terukur. Di Kawasan Timur Indonesia praktik baik yang dilakukan mampu menjawab tantangan dan dimanika dampak perubahan iklim.

Di Malaumkarta, Papua Barat terdapat egek, sebuah sistem adat yang telah diterapkan oleh masyarakat adat untuk menjaga ekosistem lautnya agar dapat dibagi secara adil oleh warganya. Apa yang dilakukan di Malaumkarta menjadi bukti bahwa pangan bukan hanya sola produksi tetapi pembagian yang adil, meningkatkan solidaritas hingga mempertahankan tradisi yang telah lama berlangsung.
Menurut penelitian ilmiah dan laporan organisasi non-pemerintah, ancaman nyata terhadap pesisir, laut, dan pulau kecil termasuk pemanasan laut, peningkatan muka air laut, pembubaran coral, polusi plastik, dan overfishing akan meningkat dari tahun 2025 hingga 2026. Disisi lain, ada upaya terukur untuk mitigasi dan konservasi melalui wilayah laut yang dilindungi, restorasi ekosistem dan pendukung organisasi non-pemerintah untuk ekonomi biru yang adil dan berkelanjutan.
Di Pulau Lanjukang, Makassar masyarakat menerapkan sistem buka tutup penangkapan gurita. Sistem yang telah dibangun sejak 4 tahun terakhir ini upaya warga untuk berdaulat atas pangan berbasis kolektivitas warganya. Melalui pengelolaan secara partisipatif, hasil laut dapat terjaga, ekosistem lestari dan generasi selanjutnya masih dapat menikmati.
Seberapa cepat dan efektif tindakan mitigasi dilakukan, termasuk pengurangan emisi gas rumah kaca global, pengelolaan sampah yang lebih baik, dukungan ekonomi untuk komunitas lokal, dan pengembangan kawasan konservasi yang berbasis sains dan partisipatif, akan menentukan apa yang akan terjadi ke depan.
Penulis: Muhammad Riszky (Sekretariat Jaring Nusa)