Search
Close this search box.
Search

Perubahan Iklim Memperburuk Kerentanan Masyarakat di Wilayah Spermonde

Perubahan Iklim Memperburuk Kerentanan Masyarakat di Wilayah Spermonde

Masyarakat yang hidup di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, khususnya nelayan, tidak luput dari berbagai dampak bencana ekologis dan persoalan iklim. Sejumlah penelitian telah menunjukkan bahwa perubahan temperatur air laut memicu penurunan tangkapan nelayan.

Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) melansir pada tahun 2022 terdapat 2.401.540 jiwa nelayan dan jumlahnya meningkat dari tahun sebelumnya yakni 2.359.264 jiwa nelayan. Sebagian besar di antaranya atau 85% nelayan di Indonesia adalah skala kecil.

Ditambah dengan faktor eksploitasi berlebih akibat tata kelola yang buruk, penurunan hasil tangkapan akan berlipat ganda hingga mengancam kelangsungan hidup stok ikan. Data dari Destructive Fishing Watch menyebut proyeksi kerugian ekonomi pada situasi pengelolaan yang buruk dapat mencapai 28-30% pada 2050.

Melihat hal tersebut, Jaring Nusa menggelar sharing session dengan mengangkat tema krisis iklim dan tantangan pengelolaan perikanan di KTI. Kegiatan yang dirangkaikan dengan peringatan Hari Ikan Nasional digelar secara daring dan luring pada Kamis (21/11/2024).

Tantangan Sektor Kelautan

Dari KKP sendiri menjelaskan Pengelolaan sumber daya kelautan dan perikanan Indonesia harus menempatkan ekologi sebagai panglima yang harus dijaga untuk masa depan serta akan menjadikan Indonesia sebagai poros maritim dunia.

Marhama, perwakilan dari Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Sulsel menyebut  beberapa target pemerintah dalam menjaga ekosistem laut yakni dengan melindungi laut dan memberi ruang hidup bagi sumber daya hayati di laut, pesisir dan pulau-pulau kecil sebagai sumber pangan serta memberi manfaat ekonomi secara berkelanjutan. 

Selain itu menjadi episentrum serapan karbon dunia, yang berkontribusi pada keberlangsungan hidup manusia dan pencegahan perubahan iklim global. Menjadikan produk perikanan Indonesia menjadi champion di pasal global, yang berdaya saing tinggi dan diproduksi melalui cara-cara yang ramah lingkungan.

“Pengawalan ini perlu menjadi perhatian kita semua baik melalui kegiatan pengawasan perikanan maupun pengawasan kegiatan keluatan,” ujarnya.

Visi Misi Presiden yang disinkronkan dengan KKP berserta DKP Sulsel. (Paparan materi DKP Sulsel)

Ia menjelaskan ada empat strategi yang diterapkan dalam pengelolaan dan perlindungan sektor kelautan dan perikanan. Pertama yakni adaptasi perubahan iklim dengan memperluas kawasan konservasi laut.

“Laut merupakan rumah bagi sebagian besar terumbu, karang dunia, lamun, dan 17% karbon biru global. Kemudian dampak pada Masyarakat pesisir dalam adaptasi perubahan iklim,” kata Marhamah.

Kedua adalah penyelamatan sumber daya laut melalui kebijakan Penangkapan Ikan Terukur dan  Pengendalian Penangkapan Ikan.

“Pembatasan ikan yang boleh ditangkap untuk menjaga keseimbangan stok ikan dan menghindari penangkapan ikan yang ilegal,” jelasnya.

Selanjutnya adalah meningkatkan pengawasan pada penangkapan ikan lepas pantai dan mengenakan sanksi tegas terhadap pelanggar. Masyarakat sebagai kontributor pertumbuhan ekonomi melalui pengembangan budaya pesisir dan laut

“Memperluas budidaya laut untuk meningkatkan produksi dan memenuhi kebutuhan pasar dalam negeri dan luar negeri,” terangnya.

“Terakhir adalah ekosistem kelautan dan perikanan yang sehat dengan pembersihan sampah plastik di laut. Tentunya tidak hanya sektor perikanan, tapi banyak sektor dapat berkontribusi dengan banyak sektor,” pungkasnya.

Pentingnya Perikanan di KTI

Sebagian besar masyarakat di Kawasan Timur Indonesia (KTI) bergantung pada perikanan sebagai sumber utama pendapatan, baik melalui penangkapan ikan tradisional maupun budidaya. Kegiatan ini menjadi pilar ekonomi bagi banyak keluarga nelayan.

Sektor perikanan menciptakan berbagai jenis pekerjaan, dari nelayan hingga pengolahan ikan, distribusi, dan penjualan, yang sangat penting untuk mengurangi angka pengangguran di wilayah tersebut.

“Sektor perikanan signifikan dalam mengurangi angka pengangguran,” terang Nita Rukminasari, guru besar perikanan Universitas Hasanuddin.

KTI memiliki ekosistem laut yang kaya, termasuk terumbu karang, mangrove, dan padang lamun. Keragaman hayati ini mendukung berbagai spesies ikan dan organisme laut lainnya, memberikan peluang bagi penangkapan dan budidaya ikan.

“Kita memiliki kawasan Wallacea. Khusus terumbu karang, kita berada dalam kawasan hotspot terumbu karang dunia. Kita memiliki urutan ketiga tertinggi biodiversitas laut di dunia,” jelasnya.

“Wilayah KTI memiliki biodiversitas yang penting dibanding wilayah lainnya. Jadi wilayah KTI itu sangat unik keanekaragaman hayati,” tambahnya.

Potret terumbu karang di wilayah Spermonde, Sulawesi Selatan. (Foto: YKL Indonesia)

Ia juga menjelaskan jika KTI dikenal memiliki beberapa spesies ikan unggulan, seperti tuna, cakalang, dan barang-barang perikanan lainnya yang memiliki nilai ekonomi tinggi.

Ikan merupakan sumber protein hewani yang penting bagi masyarakat. Di daerah dengan akses terbatas terhadap berbagai sumber pangan, perikanan dapat membantu memenuhi kebutuhan gizi populasi lokal.

Perikanan bukan hanya aspek ekonomi, tetapi juga merupakan bagian integral dari budaya masyarakat lokal. Banyak tradisi, ritual, dan kebiasaan masyarakat di KTI yang terkait erat dengan kegiatan perikanan.

“Salah satu indikator terjadinya perubahan iklim adalah terjadinya suhu permukaan laut. Selain itu dampaknya juga berpengaruh terhadap peningkatan pengasaman laut, perubahan pola curah hujan hingga peristiwa ekstrem,” jelas Prof. Nita.

Data dari KKP tahun 2020 menunjukkan sektor perikanan mengalami penurunan, dengan beberapa daerah di KTI menunjukan penurunan tajam.

“Untuk ikan demersal seperti ikan kakap dan kerapu di beberapa daerah seperti Maluku dan Papua menurun 30 hingga 40 persen. Hal itu berdampak terhadap nelayan kecil,” ujarnya.

Penurunan hasil tangkapan sering dikaitkan dengan penangkapan berlebih dan praktik penangkapan yang tidak berkelanjutan.

Tantangan pengelolaan perikanan di KTI

Pada kesempatan tersebut ia juga menjelaskan beberapa tantangan pengelolaan perikanan di KTI yaitu penangkapan ikan berlebihan, teknologi penangkapan yang tidak ramah lingkungan, dan kelemahan tata kelola perikanan.

“Penanda dari overfishing adalah ukuran ikan yang ditangkap nelayan semakin kecil,” katanya.

Selain itu terdapat keterbatasan kapasitas sumber daya manusia, pengelolaan ikan yang tidak berkelanjutan dan kurangnya data dan informasi hingga konflik penggunaan sumber daya.

“Yang harus kita lakukan adalah melaksanakan kebijakan yang telah dikeluarkan oleh pemerintah. Kita juga harus memberikan edukasi kepada masyarakat pesisir terkait dengan adaptasi perubahan iklim,” jelasnya.

Ia menyebut pentingnya partisipasi dalam pengelolaan sumber daya. Menggunakan pendekatan berbasis masyarakat dalam pengelolaan sumber daya perikanan dapat memperkuat rasa kepemilikan dan tanggung jawab di kalangan komunitas, yang penting untuk keberlanjutan jangka panjang.

“Ada kearifan lokal di hidup dimasyarakat yang harus dilestarikan. Umumnya kearifan lokal itu yang betul-betul memelihara lingkungan, supaya ikannya terjaga, lautnya juga terjaga,” terang Prof. Nita.

“Kita juga harus memperbanyak forum diskusi. Dari situ kita bisa mengetahui masalah yang terjadi. Supaya kita tahu bagaimana menemukan solusi bersama,” tambahnya

Kerentanan Ekonomi Nelayan Kecil di Spermonde

Sita, salah satu perempuan dari Pulau Kodingareng turut membeberkan dampak perubahan iklim yang dirasakan oleh masyarakat khususnya nelayan di Pulau Kodingareng.

“Iklim sekarang sangat berdampak di pulau kami. Air laut sudah naik di jalan raya. Biasanya di bulan 12, tapi bulan ini sudah naik ke rumah-rumah warga,” ujarnya.

Jarak tempuh nelayan sudah sangat berbeda jauh dari sebelumnya. Menurut Sita, biasanya nelayan menjadi ikan di sekitar pulau, namun sekarang harus jauh ke luar wilayah penangkapannya.

“Nelayan sekarang sudah jauh melaut. Dulu 2-3 mil, tapi sudah jauh. Bahkan ada yang melaut ke daerah Lombok, Selayar, Gorontalo hingga Ternate,” terangnya.

“Hal itu karena susahnya ikan. Dampaknya terhadap nelayan kecil. Belum lagi harganya murah dipasaran,” tambah Sita.

Kondisi tersebut juga berimbas terhadap anak-anak di Pulau Kodingareng. Ia menyebut jika kondisi perekonomian masyarakat yang menurun berdampak pada anak-anak yang putus sekolah.

“Anak-anak yang putus sekolah dikarenakan harus ikut orang tuanya merantau. Yang menyambung hidupnya pernikahan diri. Dia akan memikul beban yang sama dengan orang tuanya. Yang dirasakan saat ini pula kodingareng setelah ada Boskalis (penambangan pasir laut),” jelasnya.

“Sekarang ini kodingareng dalam keadaaan kritis. Itupun kalau ada yang melanjutkan sekolah dan kuliahnya, orang tuanya bukan nelayan,” pungkas Sita.

Secara umum, kondisi yang ada di Pulau Kodingareng tidak jauh berbeda dengan beberapa pulau di wilayah Spermonde. Prof. Nita, menjelaskan beberapa temuan penelitiannya menunjukkan terjadinya penurunan hasil penjual Ikan.

Hasil riset kerentanan ekonomi nelayan di 4 pulau liokasi penelitian. (Foto: Paparan Nita Rukminasari)

“Studi yang saya lakukan menunjukkan sebanyak 31.7% mengatakan mengalami penurunan harga jual ikan yang sangat banyak dan 33.9% mengatakan mengalami penurunan banyak,” jelasnya.

Nelayan mengatakan bahwa 10 tahun lalu, jumlah ikan yang ditemukan/ditangkap melimpah, namun saat ini sudah jauh berkurang.

“Nelayan menangkap ikan cukup paling jauh 500-1 km dari pesisir, sekarang harus jauh sekali. Otomatis bensin harus banyak,” tambahnya.

Nelayan khawatir dengan usaha penangkapan ikan akibat perubahan iklim. Berdampak pada adanya perubahan biaya operasional yang dirasakan oleh nelayan. 

Penelitian dari Prof. Nita juga menunjukkan studi pada 4 pulau di Spermonde didominasi kerentanan level 5 yaitu gagal untuk pulih. Variabel yang digunakan untuk menghitung kerentanan ekonomi yakni pendapatan nelayan, pengeluaran nelayan dan pendapatan sampingan nelayan.

“Kalau perubahan iklim tidak dimitigasi, maka ekonomi nelayan semakin terpuruk. 79,5% nelayan berada pada rentang level 5. Paling tinggi di pulau kodingareng sebesar 86,7%,” jelasnya.

Sistem Buka Tutup Gurita

Kerentanan yang dirasakan oleh masyarakat di pulau kecil akibat perubahan iklim mendorong inisiatif dari warga untuk melindungi ekosistem laut. Di Pulau Lanjukang dan Pulau Langkai, Makassar nelayan berinisiatif untuk menerapkan sistem buka tutup gurita.

Nirwan Dessibali, Direktur Yayasan Konservasi Laut (YKL) Indonesia menjelaskan tujuan dari penerapan sistem buka tutup gurita dengan memperkuat pengelolaan perikanan gurita skala kecil berbasis masyarakat di Pulau Langkai dan Lanjukang yang melindungi sumberdaya ikan dan meningkatkan penghidupan nelayan skala kecil.

“Target kita adalah Terumbu karang dan spesies prioritas penting di perairan Pulau Langkai dan Lanjukang terlindungi,” terangnya.

Ia turut menjelaskan beberapa tahapan dalam penerapan sistem buka tutup gurita. Pertama warga bersepakat untuk menutup sementara lokasi penangkapan gurita di wilayah disepakati selama 3 bulan. 

Kemudian seluruh kegiatan penangkapan dilarang pada area buka tutup, kecuali pemancing dengan kapal yang terus bergerak. Memberi tanda batas-batas pada wilayah penutupan sementara.

Hal itu tentunya diperkuat dengan melakukan pengawasan secara bersama. Dilarang merusak/mengambil penanda buka tutup.

Peta lokasi sistem buka tutup Lanjukang, Kota Makassar. (Peta: YKL Indonesia)

“Apabila didapati pelanggaran, maka akan diberikan teguran dan pemahaman. Jika mengulangi perbuatan diberi sanksi,” jelas Nirwan.

Setelah dilakukan penerapan kurang lebih dua tahun, dampak sistem buka tutup gurita ini memberikan kontribusi baik secara ekonomi maupun ekologi.

Sistem buka tutup telah memberikan pemahaman dan pengalaman kepada nelayan bahwa ada kaitan musim penangkapan dengan lokasi yang ditutup, termasuk masa bertelur dan perkembangan gurita.

“Gurita tangkapan nelayan lebih besar sehingga harganya lebih tinggi. Peningkatan pendapatan 56,6 persen,” terangnya.

Ia menambahkan jika kondisi ekosistem terumbu karang mengalami pemulihan dengan tutupan 5 – 10 % karang hidup. Hal itu juga berdampak pada berkurangnya ancaman 6 spesies yang terancam punah secara global. Whaleshark (Rhincodon typus), thresher shark (Alopias sp.), Shortfin mako (Isurus oxyrinchus), Black tip (Carcharhinus sp.), Hawksbill sea turtle (Eretmochelys imbricata) dan Green sea turtle (Chelonia mydas).

Dampak perubahan iklim yang terjadi membuat para perempuan di Pulau Langkai membuat inisiatif dengan menciptakan produk hasil laut. Para perempuan berdaya menghadapi perubahan iklim dengan menciptakan produk hasil laut berupa sambal gurita dan abon ikan.

“Pengolahan hasil laut di Pulau Langkai sangat penting untuk dilakukan karena produk perikanan nelayan khususnya gurita sangat fluktuatif, apalagi di masa musim puncak harga menurun dengan biaya melaut hampir sebanding dengan hasil yang diperoleh,” kata Nirwan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *