Di wilayah timur Indonesia, beberapa organisasi masyarakat sipil telah melakukan berbagai upaya bersama masyarakat untuk mendorong praktek konservasi alam.
Terutama ditujukan sebagai pada upaya melestarikan dan merestorasi ekosistem yang terancam atau telah mengalami degradasi dan berkontribusi pada keberlanjutan sumber kehidupan masyarakat.
Namun dalam prakteknya pula, berbagai persoalan juga menjadi bagian dari dinamika pengelolaan konservasi berbasis masyarakat, seperti konflik tenurial, ketidakpastian status lahan, ancaman alih fungsi lahan, dampak perubahan iklim, pencemaran, regulasi dan kebijakan terkait status areal konservasi oleh masyarakat.
Terkait hal ini Jaring Nusa yang merupakan aliansi dari 18 CSO di KTI melakukan sharing session untuk membedah dinamika pengelolaan konservasi berbasis masyarakat di wilayah timur Indonesia.
Buka Tutup Gurita dari Torosiaje
Torosiaje merupakan salah satu desa di Kabupaten Pohuwato di Gorontalo. Sebagian besar masyarakatnya berprofesi sebagai nelayan. Mangrove bagi masyarakat torosiaje merupakan sumber kehidupan.
Torosiaje sendiri merupakan perkampungan terapung di atas laut yang banyak di huni oleh masyarakat suku Bajo. Nurain Lapolo menjelaskan jika masyarakat suku Bajo hidup dengan memanfaatkan hasil laut dan punya hubungan yang sangat erat.
“Masyarakat suku Bajo terkenal sebagai pengembara laut, salah satu tempat yang banyak dihuni oleh etnis Bajo adalah Torosiaje,” terang Ain yang juga merupakan Direktur Japesda.
“Mereka sadar tidak bisa lepas dari kehidupan laut dan pesisir, karena memanfaatkan keduanya sebagai sumber penghidupan,” tambahnya.
Area konservasi di Desa Torosiaje sendiri meliputi sekitar 72.748 hektar, yang terdiri dari hutan mangrove, terumbu karang, dan pulau-pulau. Upaya perlindungan diperkuat lagi dengan inisiatif progresif dengan menerapkan metode bukan tutup kawasan selama periode tertentu yang dijalankan oleh masyarakat.
“Kami sama dengan nelayan mengimplementasikan buka tutup kawasan. Kegiatan ini dilakukan dengan tujuan penerapan penangkapan gurita dengan memperhatikan aspek perlindungan habitat dan keberlanjutan siklus hidup gurita,” jelas Ain.
Hingga saat ini terdapat 16 titik lokasi tangkap gurita yang dikelola dan dimanfaatkan secara berkelanjutan. Selain itu terdapat 2 titik lokasi di areal mangrove yang disepakati sebagai tempat ritual adat suku Bajo Torosiaje.
“Alam itu sangat dekat dengan mereka, sehingga alam itu harus dijaga dengan baik. Mereka percaya keanekaragaman hayati berjalan seirama,” terangnya.
Dampak dari sistem buka tutup yang diterapkan bukan hanya memperbaiki kualitas ekosistem tapi juga meningkatkan hasil tangkapan gurita.
Penutupan sementara di 2 Pulau Torosiaje seluas 281 hektar. Pada periode 9 Oktober 2022 – 9 Januari 2023, hasil tangkapan setelah area penutupan dibuka sebesar 236,5 kg yang didapat oleh 30 nelayan.
“Masyarakat mendapatkan nilai ekonomi dari praktik konservasi yang dilakukan yaitu bertambahnya bobot gurita sehingga menambah jumlah penghasilan mereka,” ujarnya.
“Disisi lain, mereka mendapatkan ikan yang lebih banyak dan besar, juga habitat terumbu karang makin sehat,” tambahnya.
Kegiatan buka tutup gurita yang dijalankan nelayan juga mendapatkan dukungan dari Pemerintah Desa Torosiaje melalui pembentukan Peraturan Desa tentang Perikanan Gurita Berbasis Masyarakat.
Namun disisi lain terdapat beberapa tantangan yang dihadapi dalam pengelolaan berbasis masyarakat yang selama ini dijalankan di Desa Torosiaje.
Beberapa tantangan menurut Ain yakni masih terdapat praktik destruktif yang dikhawatirkan akan berdampak tehadap kerusahakan ekossitem dan keanekaragaman hayati.
Terdapat ancaman alih fungsi lahan menjadi tambah, termasuk pencemaran air akibat limbah buangan hasil tambak.
“Berdampak pada usaha KIA warga, budidaya rumput laut dan usaha budidaya lainnya di wilayah pesisir,” terangnya.
Selain itu adanya konflik tenuria dan ketidakpastian status lahan yang menurutnya dikhawatirkan tata kelola yang diterapkan oleh nelayan skala kecil justru tidak dihargai bahkan kalah dengan kepentingan inudstri skala besar.
“Belum adanya kepastian regulasi dan kebijakan terkait status areak konservasi berbasis masyarakat,” ujarnya.
Menjaga Mangrove Teluk Palu
Mangrove menjadi ekosistem penting bagi masyarakat bukan hanya manfaat ekologi melainkan juga sebagai sumber penghidupan. Mangrove memainkan peran krusial dalam menjaga keseimbangan ekologi pesisir dan menjadi benteng alami terhadap berbagai ancaman lingkungan.
Di Teluk Palu, mangrove telah berperan dalam menjaga beberapa wilayah dari tsunami yang melanda pada tahun 2018. Hal itu disampaikan oleh Andi Anwar, Direktur Bonebula yang berbasis di Donggala, Sulawesi Tengah.
Ia menjelaskan bahwa Kabupaten Donggala adalah wilayah konsentrasi persebaran mangrove. Luasnya mencapai 58,21 ha atau 98% dari total luasan mangrove Teluk Palu yang pada tahun 2019 mencapai 59,11 ha.
“Tahun 2015 luasan Mangrove di Teluk Palu 66,89 ha menurun sekitar 7,78 hektar pada tahun 2019,” terangnya.
Menurutnya, terdapat beberapa ancaman yang menyebabkan degradasi mangrove di Teluk Palu. Reklamasi pantai, pembuangan material bangunan pasca bencana dan perluasan pemukiman di sempadan pantai.
Pada riset kolaborasi yang dilakukan oleh Bonebula, YKL Indonesia dan Yayasan Kehati menjelaskan jika ancaman dan gangguan terhadap ekosistem mangrove di Teluk Palu umumnya disebabkan oleh pemanfaatan dan penggunaan lahan.
Hal tersebut berdampak pada wilayah intertidal. Upaya rehabilitasi dan konservasi di tingkat tapak harus ditopang oleh upaya pengendalian ancaman alih fungsi lahan dan pemanfaatan wilayah darat.
Lalu masih rendahnya kesadaran dan kapasitas masyarakat dalam pemanfaatan pengelolaan mangrove. Hal ini juga diperparah oleh minimnya perlindungan dan pelestarian mangrove dari para pihak.
“Para pihak belum memprioritaskan pemanfaatan mangrove berkelanjutan. Sehingga degradasi mangrove terus terjadi,” jelas Anwar.
“Di level daerah, sudah ada perda meski begitu masih banyak kekurangan salah satunya tidak memasukkan fungsi ekonomi dan sanksi tegas terhadap pengrusakan mangrove,” terangnya.
Bonebula sendiri telah melakukan upaya dalam menjaga mangrove di Teluk Palu. Salah satunya dengan melakukan berbagai pelatihan terhadap masyarakat dalam pengelolaan berkelanjutan mangrove.
“Sampai saat ini kita membentuk 50 champion yang menjadi fasilitator untuk rehabilitasi mangrove pada berbagai daerah di Sulawesi Tengah,” ujarnya.
Peran Penting Komunitas
Pemerintah, organisasi non-pemerintah, dan komunitas lokal di seluruh dunia menyadari bahwa perlindungan ekosistem laut adalah kunci untuk memastikan keberlanjutan ekologi dan ketahanan terhadap perubahan iklim.
Hal itu, menurut Dedi S Adhuri turut memberikan ruang yang besar bagi komunitas lokal yang telah berkontribusi terhadap ekosistem laut memainkan peran penting.
“Sebenarnya gerakan konservasi itu mendekati komunitas. Kelihatan dari gerakan konservasi saat ini komunitas memiliki peran sangat penting,” terang Dedi yang merupakan peneliti senior BRIN.
Ia menjelaskan pengelolaan konservasi harus dikelola secara inklusif. Menguatkan peran yang besar dari komunitas karena pengetahuan pengelolaan sumber daya alam memiliki kekhasan dari setiap wilayah.
“Menjadikan konservasi sebagai wujud pengelolaan yang lebih murah karena sebagian fungsi-fungsi pengelolaan dilakukan secara sukarela oleh komunitas,” jelasnya.
Pengelolaan berbasis komunitas bervariasi dari satu tempat ke tempat lain. Hal itu menjadi tantangan untuk merumuskan kebijakan yang bisa mengakomodasi keberagaman itu.
Hal itu dapat dilihat dari upaya yang dilakukan oleh masyarakat di Pulau Tanakeke, Kabupaten Takalar. Rio Ahmad, Direktur Blue Forest juga turut membeberkan pentingnya ekosistem mangrove dalam menjaga keberlangsungan hidup masyarakat.
“Kita meyakini mangrove adalah akarnya laut, tempat hidup berbagai ekosistem yang dapat dimanfaatkan,” ujarnya.
Ia menjelaskan upaya yang telah dilakukan oleh Blue Forest di Pulau Tanakeke, Sulawesi Selatan. Rehabilitasi mangrove yang dilakukan bersama masyarakat memberikan dampak positif.
“Hasil perikanan paling besar di tanakeke terutama pada rumput lautnya. Kerja Blue Forest dalam perbaikan ekosistem mangrove related karena wilayah sangat dekat antara ekosistem mangrove dan perairan,” terangnya.
Meskipun nilai ekosistem mangrove sangat besar, ekosistem ini terus menghadapi tekanan. Degradasi mangrove tidak hanya mengancam keanekaragaman hayati, tetapi juga mengurangi kemampuan dalam menghadapi dampak perubahan iklim.
Rio Ahmad juga mendorong upaya-upaya yang dilakukan masyarakat lokal dalam pengelolaan berkelanjutan di berbagai wilayah di Indonesia mampu memberikan pembelajaran hingga ke tingkat global.
“Kita mendorong ada perlintasan pengetahuan apa yang sudah dimiliki di tingkat lokal dan mengintegrasikan ke tingkat global,” harapnya
“Kita juga mendorong tata kelola baik dari dalam kawasan konservasi dan konteks perlindungan dan pemulihan ekosistem,” tambahnya.
Ia juga mendorong kehadiran negara dalam pengelolaan berkelanjutan yang dilakukan di berbagai daerah.
“Mendekatkan kehadiran negara dalam pengelolaan konservasi di tingkat tapak. Pendampingan teknik secara reguler diperlukan. Kita juga memfasilitasi multipihak untuk pemulihan ekosistem,” imbuhnya.
Muhammad Yusuf, Direktur Pendayagunaan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, Ditjen Pengelolaan Kelautan dan Ruang Laut KKP turut memberikan tanggapan mengenai upaya yang telah dilakukan oleh masyarakat dalam mengelola wilayahnya.
Ia menjelaskan jika upaya yang dilakukan pada berbagai daerah memberikan masukan dan tambahan data ke pemerintah untuk membuat kebijakan yang mendorong perlindungan wilayah kelola khususnya pada pesisir, laut dan pulau kecil.
“Semakin banyak upaya yang dilakukan oleh masyarakat maka banyak (data) yang dilaporkan untuk dapat dijadikan sebagai area perlindungan atau kawasan OECM,” terangnya.