Budidaya ikan di keramba merupakan kegiatan cukup menarik untuk dilakukan. Didukung oleh perairan yang strategis, pembudidaya ikan di Desa Kahu-Kahu, sisi timur Pulau Pasi, Kabupaten Selayar, Provinsi Sulawesi Selatan, memanfaatkan perairan yang dilindungi oleh Pulau Selayar dan Pulau Pasi dari gelombang musim timur dan barat.
Budidaya ini sangat cocok dijadikan selingan bagi nelayan setempat menghadapi krisis iklim dan hasil tangkap yang tidak menentu.
Daeng Masikki, lelaki berusia 80 tahun sedang santai di keramba yang terpasang di perairan antara Pulau Pasi dan Pulau Selayar. Sembari duduk dan sesekali melihat ikan yang dikerambanya.
Keramba tersebut baru setahun lebih ia gunakan. Ia membeli dari seorang nelayan yang berada di Benteng, pusat Kabupaten Selayar. Menurutnya budidaya ikan di keramba sangat sesuai di usianya yang sudah tua sebab tidak memerlukan lahan yang besar dan modal yang tinggi.
“Murahji, saya beli ini 1,5 juta. Baru 1 tahun lebihmi ini.” tuturnya.
Di kerambanya terdapat ikan copa’ yang dibudidayakan. Terdapat pula udang lobster dan kerapu sunu, namun saat kami berkunjung lobster dan kerapu yang dibudidayakan sudah dipanen.
Untuk sekali panen ikan copa’ dibutuhkan waktu sekitar setahun untuk proses pertumbuhan. Ikan tersebut dijual 10 ribu hingga 20 ribu rupiah per ekor tergantung ukurannya.
Keramba tersebut merupakan milik anaknya, namun ia tinggal bermalam di keramba tersebut untuk menjaga dan mengawasinya. Mustakin (50) menjadi temannya saat ia sedang di keramba.
“Nanti siang baru pulang (ke rumah) kalau sudah dikasih makan pulang ke rumah. Sore baru turun lagi kesini (keramba),” ujarnya.
Tangkapan ikan menurun menjadi alasan
Bagi masyarakat nelayan di Pulau Pasi, keramba sebagai salah satu alternatif untuk mendapatkan ikan di tengah situasi hasil tangkapan yang menurun. Ia menjelaskan jika keramba menjadi salah satu alternatif yang dapat dijalankan lantaran ikan sulit untuk didapatkan.
Sewaktu muda ia merupakan nelayan produktif mencari ikan. Lokasi tangkapnya di sekitar Pulau Pasi.
“Agak susahmi sekarang kalau kita pergi cari ikan. Ikan sudah kurang, ikan sudah mulai habis,” ujarnya.
Menurutnya jumlah nelayan yang ada di Pulau Pasi terus bertambah dibanding saat ia masih muda dulu. Selain itu, maraknya nelayan dari luar yang masuk ke perairan Pulau Pasi juga menyebabkan penangkapan yang berlebih dan berbanding terbalik dengan daya dukung lingkungannya.
“Dari barat ke timur keliling pulau (Pasi) palingan hanya ada 10 orang nelayan yang menggunakan jaring. Makanya dulu kita santai-santai saja untuk mendapatkan ikan,” terangnya.
“Sekarang, nelayan sudah terlalu banyak, tidak ada lagi kesempatan untuk hidup dan tumbuh besar itu ikan. Makanya kita ambil ini (keramba) untuk sampingan, bagaimana kita bisa lanjut hidup,” tambahnya.
“Kalau di Selayar tidak ada yang sampai jauh menangkap ikan, di sekeliling pulau saja,” ujarnya.
Proses budidaya tanpa biaya
Mulai dari mendapatkan bibit hingga penyiapan pakan dilakukan tanpa mengeluarkan biaya sepeserpun. Ikan-ikan yang dibudidayakan awalnya hanyalah ikan kecil hidup yang didapat dari alat tangkap Bubu atau Jaring, kemudian dikumpulkan berdasarkan jenis dan ukurannya dalam satu keramba.
Sedangkan untuk pakan, ikan-ikan kecil menjadi makanan bagi ikan copa’ yang dibudidayakan. Ikan tersebut didapatkan dari jaring yang dipasang di sekitar keramba. Selain itu, sisa-sisa ikan yang tidak laku di pasar juga menjadi penyetok pakan gratis bagi Daeng Masikki.
“Karena kalau kita beli pakan, tidak ada untungnya, malah rugi. Biasanya juga pa’bagang mendapatkan ikan-ikan kecil. Jadi yang tidak laku di pasar, kami dikasikan itu,” tuturnya.
Meskipun sistem keramba belum dimanfaatkan dengan baik oleh seluruh masyarakat setempat, Daeng Masikki menunjukan upaya-upaya apa yang dapat dilakukan untuk menghadapi krisis iklim dan jumlah tangkapan yang kian menurun.
*Tulisan merupakan bagian dari liputan khusus Jaring Nusa KTI di Kabupaten Selayar. Penulis: Muhammad Riszky dan Nurul Fadli Gaffar.