Wilayah pesisir dan pulau kecil di Kawasan Timur Indonesia, termasuk Kepulauan Sangihe memiliki kekayaan sumber daya alam yang cukup besar didukung oleh adanya ekosistem penting meliputi hutan hujan tropis, bakau, padang lamun dan terumbu karang.
Selain itu juga memiliki kekayaan sumberdaya hayati laut dengan potensi keragaman dan nilai ekonomis yang tinggi disamping keindahan dan jasa lingkungan lainnya. Sangihe juga memiliki potensi yang kaya akan hasil pertanian dan perkebunan seperti kelapa, pala, sagu dan karet serta hasil perikanan.
Selain memiliki kekayaan keanekaragaman hayati dan potensi pertanian, perkebunan serta perikanan, masyarakat di kepulauan Sangihe juga dikenal memiliki kearifan tradisional dalam mengelola dan menjaga wilayah penghidupan.
Dalam bahasa Sangihe dikenal kalimat mebuntuang mendiaga nusa yang berarti bersama-sama menjaga dan merawat pulau. Mengelola dan menjaga alam secara arif tercermin dari beragam kegiatan masyarakat kepulauan Sangihe sehari-hari.
Potensi Laut Kepulauan Sangihe
Kepulauan Sangihe merupakan salah satu kabupaten yang terletak di sebelah utara Provinsi Sulawesi Utara antara 20 4’13” – 40 44’ 22” LU dan 1250 9’ 28” – 1250 56’ 57” BT, memiliki Luas Wilayah ± 59.785 Ha atau ± 597,85 Km².
Soemitro Mile, dinas PUPR menjelaskan dengan wilayah administratif yang terbagi atas 15 Kecamatan, Kepulauan Sangihe sendiri memiliki 137 pulau, yang terdiri dari 4 pulau-pulau kecil terluar, 26 pulau berpenghuni dan 111 pulau lainnya tidak berpenghuni.
“Besarnya potensi ini didukung dengan rencana pola ruang wilayah pada wilayah laut sekitar Kabupaten Kepulauan Sangihe seperti kawasan lindung pada ekosistem mangrove seluas 209,71 hektar, kawasan konservasi mencapai 164.029,02 hektar dan kawasan pencadangan konservasi di laut seluas 22.172,75,” terangnya.

Frans Guber Ijong, guru besar Politeknik Negeri Nusa Utara menjelaskan potensi perikanan yang ada di Kepulauan Sangihe sangat besar. Luas wilayah perairan Kabupaten Kepulauan Sangihe sendiri hanya 2 persen atau 3.400 km2 dari seluruh luas WPPNRI 716.
“Potensi perikanan tangkap Kabupaten Kepulauan Sangihe 34.000 ton, yang termanfaatkan kurang dari 25 persen,” ujar Prof Ijong, dalam sharing session Jaring Nusa pada Selasa (21/1/2025).
Umumnya, lanjut Prof Ijong, nelayan tradisional yang menggunakan alat tangkap pancing hand-line dan lng line. Pabrik es dan cold storage belum tersedia dan tidak memadai di Tahuna. Nelayan kurang memahami proses kemunduran mutu ikan setelah ikan ditangkap. Penerapan metode pengesan selama proses penangkapan dan distribusi masih kurang baik.
“Keberanian pemerintah untuk menjadi sektor perikanan sebagai andalan masih minim. Banyak slogan tapi eksekusi ke lapangan tidak berpihak kepada nelayan,” ungkapnya.
Besarnya potensi laut di Kepulauan Sangihe juga diakui oleh Bernard Tuwokona Pilat, Penasehat Perkumpulan Selamatkan Sangihe I Kekendage yang menyebut jika masyarakat telah turun temurun memanfaatkan hasil laut secara bijak. Karakteristik uni, langka dan spesifik menjadi ciri khas Sangihe.
“Praktik pengelolaan SDA berkelanjutan sudah menjadi prinsip sejak dahulu. Berpedoman dalam kearifan lokal, ujarnya
“Kearifan lokal yang diwariskan itu sesungguhnya menjadi patokan dalam menjalani kehidupan masyarakat. Ini menjadi salah satu tujuan dalam rangka menjaga keseimbangan alam,” tambahnya.
Ia juga menjelaskan jika secara umum sektor pertanian, kehutanan dan perikanan menjadi lapangan usaha dengan kontribusi terbesar Kepulauan Sangihe.
“Kabupaten sangihe sesungguhnya harus hidup dari potensi laut. Sedangkan potensi pertanian dan perkebunan adalah penyangga,” tegasnya.
Terancam Tambang Ilegal
Jull Takaliuang, Direktur Yayasan Suara Nurani Minaesa menjelaskan kondisi krisis iklim yang semakin parah sangat berdampak terhadap lingkungan dan masyarakat Kepulauan Sangihe.
“Ketika musim ombak datang pasti akan ada ancaman di pesisir, ketika hujan akan ada ancaman banjir,” ujarnya.

Kondisi ini menurutnya semakin diperparah dengan ancaman nyata yang sedang mengancam kehidupan masyarakat dan lingkungan di Kepulauan Sangihe melalui pertambangan.
“Tapi satu hal lain yang paling menakutkan adalah kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh praktik tambang ilegal,” tambahnya.
Perusakan tambang yang dimulai dari masuknya PT TMS pada tahun 2021, setelah mengantongi IUP mulai dari 2021-2054. Sejak 2021 itu terjadi aktivitas penambangan di lokasinya di Kampung Bowone.
“Sedimentasi sudah menjadi 1,5 meter tingginya. Sampai hari ini mereka beroperasi. Mereka terkadang dikawal untuk mobilisasi alat berat ke lokasi tambang,” terang Jull, yang juga merupakan bagian dari SSI.
Kerusakan yang terjadi di lokasi area pertambangan lebih dari 30 hektar sudah menjadi lahan operasi pertambangan ilegal. Kalaupun ada penegakan hukum itu hanya bersifat sementara, tidak serius.
Ia menjelaskan jika upaya litigasi panjang yang telah dilakukan oleh masyarakat Sangihe seolah diabaikan oleh pemerintah dan perusahaan. Pasca putusan MK, PT TMS bekerja sama dengan CV Mahamu Hebat Sejahtera untuk mengelola tambang.
“Sudah ada upaya dari kementerian ATR/BPN untuk masuk ke Desa Bowone untuk melakukan survei lahan 65 hektar yang sudah mendapatkan izin lingkungan PT TMS,” ujarnya.
“Yang lucu adalah pemerintah kabupaten dan DPRD pergi ke Jakarta memfasilitasi masyarakat untuk pertambangan rakyat kepada Kementerian ESDM,” tambah Jull.

Ia dengan tegas mempertanyakan fungsi hukum dan semua gugatan yang dilalui oleh masyarakat terhadap kemenangan mereka untuk mempertahankan pulau terbesar dari pertambangan.
“Kita bingung, masyarakat yang sudah menempuh jalur hukum dan telah menang, tapi tidak ada upaya konkret. Jadi kepada siapa ktia bersandar?,” tambah Jull.
Dampak Luas Mengintai
Prof. Ijong mengungkap jika aktivitas pertambangan yang beroperasi di Pulau Sangihe menjadi ancaman nyata dan serius dengan melihat dampaknya dalam skala lebih luas.
“Cerita tentang tambang emas akan menjadi bom waktu, dari tambang akan terkontaminasi, asam sianida dipakai untuk melunakkan bebatuan. Ketika mengekstrak emas akan menggunakan merkuri,” ujarnya.
“Ketika merkuri lepas akan masuk ke pesisir, bakau. Tempat ikan kecil memakan plankton yang telah terkontaminasi oleh merkuri,” tambahnya.
Menurutnya, selain merkuri, zat yang berbahaya lainnya adalah arsen. Arsen sendiri hasil proses pertambangan dari galian. Dalam batasan tertentu arsen akan menjadi racun.

Hal itu kata dia disebut dengan bioakumulasi. Bioakumulasi sendiri merupakan proses panjang dengan terjadinya penumpukan zat-zat tertentu dalam tubuh organisme.
“Ikan juvenile akan dimakan ikan layang, anakan ikan layang akan dimakan ikan besar. Terjadi bioakumulasi. Paling rentan adalah kerang,” terangnya.
“Orang Sangir sangat gemar makan kerang, dan ketika kontaminasi terjadi. Kerang yang terkontaminasi akan terjadi juga di sangihe. Apakah ada sisi penurunan populasi? Ada,” tambahnya.
Jull Takaliuang juga menyebut masyarakat di Kepulauan Sangihe telah memanfaatkan alam secara bijak untuk mendapatkan penghidupan yang sejahtera. Beroperasinya tambang jelas akan menghancurkan semua itu.
“Karena sumber kehidupan masyarakat selain yang ada di laut yang nanti akan terpapar zat-zat beracun. Maka didaratannya kehidupan bergantung kepada sagu, pala, cengkeh yang dihasilkan oleh warga akan terganggu jika tambang terus beroperasi,” tandasnya.
Prof Ijong juga menegaskan bahwa masyarakat di Kepulauan Sangihe hidup dari besarnya potensi laut yang harus terus terjaga.
“Sebenarnya harus hidup dari sumber daya perikanan itu sendiri. Kita tidak bisa mengandalkan sepenuhnya daratan apalagi kontur daratan kita berbukit terjal. Jadi ketika kontur tanahnya berubah akibat pertambangan, maka menjadi ancaman terhadap keberlangsungan hidup masyarakat,” tandanya.
Foto utama: Aksi protes menolak pertambangan yang beroperasi di Pulau Sangihe. (Foto: SSI)