Upaya pengendalian perubahan iklim memerlukan komitmen sejumlah pihak, termasuk pemerintah pusat ataupun pemerintah provinsi, kabupaten, dan kota. Namun, selama ini implementasi program perubahan iklim masih kerap terkendala di tingkat daerah karena kurangnya pengetahuan hingga pendanaan.
Hal tersebut mengemuka dalam acara forum dialog perubahan iklim bertajuk ”Peran Strategis Organisasi Masyarakat Sipil dalam Mendorong Aksi Perubahan Iklim Berbasis Bukti” yang diselenggarakan Think Climate Indonesia di Jakarta, Kamis (12/10/2023).
Direktur Eksekutif Kemitraan Laode Muhammad Syarif mengemukakan, semua rencana aksi dan program yang berkaitan dengan perubahan iklim mayoritas berada di tingkat nasional. Namun, hasil penelitian Kemitraan menunjukkan, banyak implementasi program perubahan iklim tersebut yang masih terkendala di tingkat daerah.
”Pengetahuan aparat pemda (pemerintah daerah) di tingkat provinsi, kabupaten, dan kota ternyata belum cukup terkait isu perubahan iklim. Kemudian, hal kedua yang terpenting ialah kesiapan pendanaan untuk mengatasi perubahan iklim di daerah juga belum dianggarkan di APBD (Anggaran Pendapatan Belanja Daerah),” ujarnya.
Selain itu, hasil penelitian Kemitraan juga melihat sampai sekarang banyak pemda yang belum memiliki mekanisme kerja sama dengan swasta ataupun organisasi masyarakat sipil untuk mengatasi perubahan iklim. Padahal, upaya mengatasi perubahan iklim dengan anggaran yang besar memerlukan dukungan sejumlah pihak.
Menurut Laode, pemerintah pusat dapat berperan mengatasi kendala ini, salah satunya dengan terus meningkatkan bimbingan teknis kepada pemda di tingkat provinsi dan kabupaten/kota. Di sisi lain, perlu juga meningkatkan aspek pendanaan yang diperoleh melalui skema dari sejumlah pihak.
”Sekitar 70 persen APBD kabupaten habis untuk gaji pegawai dan pengadaan alat kantor. Oleh karena itu, perlu dorongan yang kuat dari pemerintah provinsi, apalagi bila di kabupaten tidak memiliki dinas kehutanan. Jadi, permasalahan ini bukan hanya terkait teknis, tetapi juga menyangkut perbaikan tata kelola,” ujarnya.
Perencana Ahli Pertama Direktorat Lingkungan Hidup Kementerian Perencanaan dan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas) Irfan Darliazi Yananto mengakui, terbatasnya pemahaman di daerah masih menjadi tantangan dalam program ketahanan iklim dan pembangunan rendah karbon.
Irfan menekankan, pemda tetap perlu mempertajam kembali dampak perubahan iklim dan upaya intervensi yang akan dilakukan di daerahnya masing-masing. Sebab, pemerintah pusat sudah melakukan pemetaan, dampak perubahan iklim tetap berbeda-beda di setiap daerah sehingga pemda lebih mengetahui prioritas penanganannya.
”Kami melihat capaian potensi kegiatan di level pemerintah pusat dan daerah. Kami selalu memantau aksi pembangunan rendah karbon dengan aplikasi secara daring dan sejauh ini masih sesuai dengan jalur yang ditetapkan dalam perencanaan,” katanya.
Dampak di perkotaan
Direktur Eksekutif Yayasan KotaKitaAhmad Rifai mengatakan, isu perubahan iklim juga perlu terus dikawal di sektor perkotaan. Selain karena wilayah perkotaan memiliki banyak populasi, laporan Panel Antar-pemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC) juga telah menegaskan bahwa kota-kota di dunia rentan terhadap dampak perubahan.
”Bagi wilayah perkotaan, perubahan iklim akan berdampak secara signifikan, baik dari sisi bencana, seperti banjir hingga sistem pangan. Dari studi KotaKita, dampak perubahan iklim yang nyata di Jakarta dan Semarang sebagai wilayah pesisir ialah menurunnya produksi pangan, terutama perikanan hingga 70 persen dibandingkan dengan 20-30 tahun lalu,” katanya.
Menurut Ahmad, kondisi ini pada akhirnya meningkatkan jumlah pengeluaran masyarakat perkotaan terhadap pangan. Sebagai contoh, warga di Jakarta Utara terpaksa membeli air dari sektor informal karena tidak adanya akses air bersih yang layak dan salinitas yang tinggi.
Ahmad memandang, upaya mengendalikan dampak perubahan iklim di sejumlah daerah, termasuk perkotaan, harus melalui kerja bersama dan seimbang antara pemerintah, organisasi masyarakat sipil, dan swasta. ”Organisasi masyarakat sipil dan masyarakat lainnya merupakan bagian penting dari proses menangani isu-isu perubahan iklim,” ucapnya.
Foto utama: Permukiman yang tenggelam karena abrasi selama pulhan tahun yang terjadi di Desa Sriwulan, Kecamatan Sayung, Kabupaten Demak, Jawa Tengah (Foto: Raditya Mahendra Yasa)
Sumber kompas.id