Keputusan pemerintah dengan mengeluarkan sejumlah peraturan terkait penambangan sedimen kemudian disusul dengan peraturan tentang ekspor sedimen dan pasir laut merupakan kebijakan yang sangat ekstrim. Kebijakan ini ekstrim karena telah menganulir sejumlah kebijakan yang melarang penambangan pasir dan ekspor pasir laut yang telah berlaku selama 20 tahun.
Pada Mei 2023 lalu, pemerintah mengeluarkan PP Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut. Disusul terbitnya Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 33 Tahun 2023 tentang Peraturan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut.
Terakhir dilengkapi dengan dikeluarkannya Permendag Nomor 20 Tahun 2024 pada 29 Agustus 2024 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 22 tahun 2023 tentang Barang Yang Dilarang Untuk Diekspor dan dan Permendag Nomor 21 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua atas Permendag Nomor 23 Tahun 2023 tentang Kebijakan dan Pengaturan Ekspor. Dengan demikian pelaksanaan dari paket kebijakan penambangan sedimen dan pasir laut beserta tujuan ekspor akhirnya dieksekusi oleh pemerintah.
PP 26 tahun 2023 dan turunannya telah mengkerdilkan aturan-aturan sebelumnya di era Presiden Megawati dan Susilo Bambang Yudhoyono untuk menangani dan menghentikan penambangan dan ekspor pasir laut yang merusak lingkungan secara masif dan menimbulkan kerugian ekonomi. Pada tahun 2002, Presiden Megawati mengeluarkan Inpres No. 2 tahun 2002 tentang Pengendalian Penambangan Pasir Laut.
Kemudian disusul dengan keluarnya Keppres No. 33 tahun 2002 tentang Pengendalian dan Pengawasan Pengusahaan Pasir Laut. Selanjutnya pemerintah mengeluarkan kebijakan untuk menghentikan sementara kegiatan penambangan pasir laut melalui keputusan bersama tiga kementerian.
Lima tahun kemudian, pada era Presiden SBY, pemerintah mengeluarkan peraturan larangan Ekspor Pasir, Tanah dan Top Soil (termasuk tanah pucuk atau humus). Dengan demikian seharusnya penambangan dan ekspor pasir laut yang terbukti merusak sudah tidak ada lagi.
Publik patut bertanya apa latar yang mendasari keputusan pemerintah mengeluarkan kebijakan penambangan sedimen hingga berniat menjualnya ke luar negeri. 20 tahun larangan penambangan dan penjualan pasir laut keluar negeri tentu dengan alasan yang sangat kuat, melindungi kepentingan wilayah dan rakyat Indonesia.
Pesisir dan Laut Semakin Terancam
Asmar Exwar, Dinamisator Jaring Nusa menyebut dengan mengesampingkan kebijakan larangan yang telah ada selama puluhan tahun tentu saja terdapat hal krusial di belakangnya. Ekspor pasir laut akan mendatangkan cuan, terlepas berapa banyak yang diperoleh oleh perusahaan pemilik konsesi dan distributor serta berapa pemasukan untuk negara. Namun diluar itu, ekspor sedimen dan pasir laut tentu sangat menguntungkan negara yang memerlukan material untuk menambah luas areal daratannya.
“Keputusan pemerintah yang secara terencana mengeluarkan sejumlah peraturan yang bermuara pada tujuan melakukan ekspor sedimen dan pasir laut merupakan kebijakan ekstrim,” ujarnya
“Kebijakan ini lahir di tengah dorongan yang cukup kuat untuk melestarikan dan memulihkan laut, melestarikan sumber daya ikan, melindungi pesisir dan pulau kecil Indonesia serta masyarakat dari berbagai ancaman yang merusak,” tambah Asmar.
Sebagai negara yang memiliki 17.508 pulau, Indonesia adalah negara yang memiliki kerentanan tinggi terhadap dampak perubahan iklim sebagaimana sedang dihadapi dunia saat ini.
Kerentanan ini dapat dilihat di berbagai wilayah pesisir yang mengalami bencana iklim seperti abrasi, cuaca ekstrim, dan kenaikan muka laut cukup signifikan dalam rentang waktu satu dekade terakhir. Selain itu, faktanya kerusakan sumber daya pesisir, laut serta pulau kecil akibat penambangan juga cukup masif dan sangat mengkhawatirkan.
Menurutnya, masyarakat di wilayah pesisir dan pulau kecil menghadapi 2 tekanan yang besar, pertama tekanan oleh dampak krisis iklim, kedua adalah tekanan oleh kebijakan yang melahirkan proyek-proyek yang merusak ekosistem pesisir dan laut seperti penambangan pasir dan reklamasi.
“Ini merupakan ancaman yang serius bagi kehidupan masyarakat di sekitar 12.500an desa dan kelurahan tepi laut yang notabene kehidupan masyarakatnya dipengaruhi oleh sumber daya pesisir laut yang sehat,” terangnya.
“Belum puas melakukan penambangan di pulau kecil, kini pesisir dan laut juga akan di tambang untuk dijual di dalam dan keluar negeri. Ini ironis ditengah banyaknya jargon visi maritim dan negara maritim dikumandangkan selama satu dekade ini,” lanjut Asmar
Dampak yang sangat merusak dari tambang pasir laut setidaknya telah diketahui secara meluas. Satu contoh kasus yakni dampak tambang pasir laut di perairan Galesong, Takalar, Sulawesi Selatan.
Abrasi pantai yang dahsyat telah menimpa wilayah pesisir yang melingkupi kecamatan Galesong, Galesong Utara dan Tamasaju. Abrasi pantai yang menggerus daratan pesisir bervariasi antara 2 meter hingga 15 meter.
Menggerus wilayah pemukiman masyarakat, dermaga, pemakaman dan fasilitas umum lainnya. Abrasi di pesisir pantai Kabupaten Takalar, pada tahun 2016 hingga 2017 berlangsung masif. Selain itu juga merusak areal-areal penangkapan ikan nelayan lokal dalam radius 2-8 mil dari pesisir.
Kemudian dampak penambangan pasir laut untuk tujuan reklamasi di perairan pulau Kodingareng, telah menyebabkan kerusakan wilayah tangkap nelayan lokal secara permanen. Wilayah penambangan pasir laut tersebut merupakan wilayah tangkap produktif nelayan lokal.
Sebagai bagian dari wilayah tangkap masyarakat kepulauan Spermonde, sekitar lokasi penangkapan ikan Copong Lompo. Jumlah penduduk di Pulau Kodingareng sebanyak 5.828 jiwa atau 1.456 KK dimana hampir 90% penduduk Pulau Kodingareng menggantungkan hidup mereka di laut sebagai nelayan.
Penyebab abrasi dan kerusakan wilayah tangkap nelayan adalah proyek reklamasi dan tambang pasir laut yang dilakukan sejak tahun 2016 di Kota Makassar. 23 juta kubik pasir laut telah dikeruk dari dasar laut sekitar perairan Galesong. Ketika itu, sejumlah 16 izin usaha tambang pasir laut di perairan Galesong dengan total luasan mencakup 34.000 hektar.
Jaring Nusa dengan tegas menolak segala bentuk eksploitasi sumber daya laut yang tidak berpihak pada ekosistem dan masyarakat adat dan lokal. Sehingga Jaring Nusa Mendorong pemerintahan yang baru untuk membatalkan PP 26 tahun 2023 tentang Pengelolaan Sedimentasi di Laut serta aturan turunannya.