Koalisi Masyarakat Sipil yang tergabung dalam Gerakan Energi Terbarukan mempertanyakan komitmen pemerintah untuk menjalankan transisi energi, menyusul sejumlah regulasi yang dinilai menjadi disinsentif peralihan ke energi terbarukan.
Sejumlah regulasi ini yakni Peraturan Menteri (Permen) ESDM tentang Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) atap, Peraturan Presiden (Perpres) soal penangkapan dan penyimpanan karbon, serta Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Kebijakan Energi Nasional (KEN).
Permen ESDM No. 2 Tahun 2024 tentang Sistem Pembangkit Listrik Tenaga Surya Atap (PLTS atap) memuat dua perubahan yang justru akan menurunkan minat masyarakat memasang PLTS atap, khususnya sektor rumah tangga dan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).
Pertama, ekspor kelebihan produksi listrik PLTS atap ke jaringan listrik PT PLN (Persero) tidak lagi diperhitungkan sebagai pengurangan tagihan. Kedua, pengembangan PLTS atap akan mengikuti sistem kuota yang ditetapkan oleh PLN dengan periode pendaftaran dua kali dalam setahun.
Persoalannya, ekspor listrik ke jaringan PLN merupakan daya tarik PLTS atap. Tanpa ketentuan ini, masyarakat perlu mengeluarkan biaya lebih besar untuk memasang baterai. Tak hanya itu, jangka waktu pengembalian modal PLTS atap juga akan lebih panjang menjadi 9-10 tahun.
Padahal, dengan ketentuan ekspor kelebihan listrik 100% seperti pada beleid yang saat ini berlaku, biaya pemasangan PLTS atap bisa kembali dalam empat hingga lima tahun.
“Regulasi ini sebuah kemunduran, lantaran akan menurunkan partisipasi masyarakat untuk memasang PLTS atap. Pasalnya, tidak hanya menghambat konsumen rumah tangga, aturan baru ini juga mempersulit industri yang ingin memasang PLTS atap. Artinya, aturan baru PLTS atap ini menunjukkan kebijakan pemerintah yang semakin jauh dari komitmen untuk melakukan transisi energi,” kata Jeri Asmoro, Digital Campaigner 350.org Indonesia.
Padahal, menurut Reka Maharwati, Koordinator Enter Nusantara, antusiasme masyarakat terhadap pemasangan PLTS atap di area rural dan urban sudah cukup tinggi. Contohnya, pemasangan PLTS atap menjadi upaya masyarakat Desa Sembalun, Nusa Tenggara Barat dan komunitas Masjid Al-Muharram Taman Tirto Yogyakarta, untuk mencapai mimpi mandiri energi.
“Saya yakin banyak masyarakat lain yang ingin memasang PLTS atap di rumahnya atau bahkan diberdayakan untuk kolektif di masyarakat. Seharusnya pemerintah bisa menggandeng antusias ini untuk berkolaborasi dan menciptakan skema baru yang lebih bisa menguntungkan masyarakat,” tegas Reka.
Senada, Hadi Priyanto, Juru Kampanye Energi Terbarukan Greenpeace Indonesia, mengungkapkan bahwa transisi energi berkeadilan hanya bisa direalisasikan jika masyarakat dilibatkan.
“Partisipasi masyarakat merupakan salah satu kunci agar target bauran energi bisa tercapai, namun dengan berbagai revisi aturan yang ada semakin menunjukan ketidakseriusan pemerintah dalam upaya transisi energi. Prinsip keadilan dan demokratisasi energi yang selama ini digaungkan dalam program JETP hanya akan menjadi omon-omon tanpa langkah nyata untuk melepaskan diri dari ketergantungan energi fosil,” tambahnya.
Sama halnya dengan Permen PLTS atap, draft RPP KEN berisikan penurunan target bauran energi terbarukan dari 23% menjadi 17-19% pada 2025 juga menghambat percepatan transisi energi.
Dalam dokumen Dewan Energi Nasional (DEN) soal draft RPP KEN, bauran energi terbarukan sampai 2030 ditargetkan sebesar 19-21%, dan hanya akan meningkat pada 2040 menjadi 38-41%.
Deon Arinaldo, Manajer Program Transformasi Energi, Institute for Essential Services Reform (IESR) memaparkan, draft RPP KEN membuat Indonesia baru mencapai puncak emisi pada 2035. Capaian ini 7-10 tahun lebih lambat dari kebutuhan membatasi kenaikan temperatur rata-rata global dibawah 1,5°C sesuai laporan Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC).
Jadi, RPP KEN mengancam tercapainya Persetujuan Paris dan komitmen netral karbon pada 2060 atau lebih cepat yang sudah ditarget pemerintah.
Puncak emisi yang tertunda berarti Indonesia harus mengakselerasi transisi energi dalam kurun waktu yang lebih pendek (setelah 2035), sehingga biaya dan dampak sosial akan lebih besar dan sulit dimitigasi.
Draf ini juga sudah berdampak pada perspektif berbagai aktor, seperti investor dan pengembang energi terbarukan, terkait keseriusan pemerintah untuk mendorong pengembangan energi terbarukan.
“Hal ini juga menandai bahwa penurunan target bauran energi primer pada 2025 dan 2030, terutama porsi energi terbarukan seperti surya dan angin, dapat menghambat gotong royong transisi energi. Pasalnya, energi terbarukan yang bisa memungkinkan demokratisasi energi seperti energi surya, porsinya kecil,” ujar Deon Arinaldo.
“Dukungan lebih besar justru diberikan ke proyek skala besar seperti pembangkit fosil dengan teknologi penyimpanan karbon (Carbon Capture Storage, CCS) ataupun nuklir. Jadi draft RPP KEN kurang memihak transisi energi bersama masyarakat,” tambahnya
Rencana perubahan KEN juga bertentangan dengan komitmen Kesepakatan JETP Indonesia yang menargetkan bauran energi terbarukan lebih dari 44% pada 2030. Perubahan KEN dikhawatirkan akan berimbas pada revisi komitmen JETP tersebut. Selain itu, sebagai payung besar perencanaan energi nasional, draft RPP KEN juga berpotensi melemahkan upaya-upaya transisi ke energi terbarukan yang telah dijalankan di daerah.
Karpet Merah Solusi Palsu
Tak hanya menjadi disinsentif bagi pengembangan energi terbarukan, kebijakan pemerintah justru mendorong solusi palsu sebagai strategi transisi energi. Langkah ini sangat fatal lantaran dapat mengunci Indonesia pada ketergantungan energi fosil, yang berujung pada kegagalan mencapai netral karbon.
Dalam revisi KEN misalnya, hingga 2060, pemerintah masih berencana mengoperasikan pembangkit listrik berbasis energi fosil dan ‘menghijaukannya’ dengan teknologi penangkapan dan penyimpanan karbon (CCS). Selain itu, pemerintah juga berencana mengoperasikan pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) pada 2032, serta pemanfaatan bahan bakar gas untuk transportasi dan rumah tangga hingga 2060.
Dukungan pemerintah terhadap solusi palsu juga ditunjukkan dengan diterbitkannya Perpres No 14 Tahun 2024 tentang Penyelenggaraan Kegiatan Penangkapan dan Penyimpanan Karbon.
Regulasi ini membuka kesempatan bagi perusahaan untuk menyuntikkan dan menyimpan emisi karbon ke reservoir bawah tanah. Padahal, Laporan IEEFA menunjukkan, dari 13 proyek CCS dengan total 55% kapasitas dunia, sebanyak tujuh proyek berkinerja buruk, dua proyek gagal, dan satu proyek dihentikan operasinya. Penerapan teknologi CCS dikhawatirkan menjadi upaya greenwashing yang melanggengkan pembangkit listrik berbasis energi fosil.
Ketiga regulasi tersebut menimbulkan pertanyaan terkait seberapa serius pemerintah mendorong pengembangan energi terbarukan. Hal ini mengingat, dalam lima tahun terakhir, capaian bauran energi terbarukan nasional selalu di bawah target.
“Regulasi akan menjadi landasan hukum jangka panjang untuk memastikan langkah-langkah transisi energi dilakukan secara sah. Kalau landasan hukumnya dibuat justru berkebalikan dengan target yang diucapkan pemerintah, lalu komitmen transisi energinya di mana?” kata Agung Budiono, Direktur Eksekutif Yayasan Indonesia CERAH.
“Kalau regulasinya justru terus menerus diarahkan untuk tetap memanfaatkan energi fosil, investor yang tertarik untuk berbisnis energi terbarukan akan mundur karena tidak mendapat kepastian hukum. Padahal masalah kita justru ada pada kepastian hukum,” tambahnya.