Saat ini, masyarakat di Kabupaten Kolaka, khususnya di Kecamatan Pomalaa, tengah diliputi rasa gelisah dan takut akibat adanya bendungan konsesi tambang nikel yang berada di wilayah mereka.
Keresahan ini muncul sebagai dampak dari program ambisius “HILIRISASI” yang dicanangkan oleh pemerintah Indonesia, yang justru membuka pintu bagi investasi asing untuk mengeksploitasi sumber daya mineral di Kolaka.
Sepanjang Februari 2025 Satya Bumi, Public Citizen dan WALHI Sulawesi Tenggara melakukan investigasi untuk melihat kondisi bentang alam di Proyek Kawasan Industri Pomalaa, Kabupaten Kolaka untuk aktivitas pertambangan nikel.
Temuan mereka menunjukkan terdapat 9 perusahaan yang beroperasi di Kabupaten Kolaka. Dari investagasi yang dilakukan, PT. Vale Indonesia yang beroperasi di Kabupaten Kolaka bertindihan dengan kawasan hutan lindung seluas 5176.054 Ha. Hutan lindung sejatinya memiliki fungsi esensial sebagai sistem penyangga ekosistem. Selain itu juga menjadi rumah bagi habitat flora dan fauna di Sulawesi Tenggara.

“Menanggapi wilayah konsesi PT. Vale Indonesia yang mencakup Kecamatan Pomalaa, Baula, Tanggetada, dan Wundulako pastinya akan berpengaruh buruk terhadap hutan primer yang ada di Kabupaten Kolaka dan tentu saja membawa kerentanan terhadap potensi bencana alam mendatang,” ujar Satya Bumi dalam siaran persnya.
Temuan lainnya juga menunnjukkan kawasan pembangunan PT. IPIP bersebelahan dengan Cagar Alam Lamedai seluas 635,16 ha yang terdapat di Kabupaten Kolaka. Sebagaimana penetapan kawasan cagar alam sesuai dengan Peraturan Daerah Provinsi Sulawesi Tenggara Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi Sulawesi Tenggara Tahun 2014-2034.
Selain dari perusahaan yang beroperasi, temuan yang didapatkan juga menunjukkan aktivitas pertambangan dan pembangunan kawasan industri Pomalaa berdampa terhadap perubahan profesi dari masyarakat.

“Dari 20 pekerja yang kami wawancarai, 80% para pekerja menyadari dampak lingkungan yang ditimbulkan dari aktivitas pertambangan nikel dan proyek pembangunan kawasan industri Pomalaa, namun tak dipungkiri status menjadi seorang pekerja tambang sudah menjadi keterpaksaan tuntutan ekonomi yang harus dipilih disaat profesi menjadi petani dan nelayan sudah tidak mendatangkan keuntungan ekonomi bagi mereka,” jelasnya.
“Banyak di antara pekerja lokal juga mengalami diskriminasi di lingkungan pekerjaan mereka yang selalu dibandingkan dengan tenaga kerja asing. Di samping itu adanya perbedaan bahasa antara pekerja lokal dan pekerja asing, sering membahayakan keselamatan pekerja,” tambahnya.
Realitas yang dihadapi para pekerja, warga, nelayan, dan petani akibat pembangunan kawasan industri Pomalaa demi memenuhi kebutuhan bahan baku baterai mobil listrik, pada kenyataannya justru menghadirkan penderitaan dan kesengsaraan bagi masyarakat.
Foto utama: Perubahan bentangan alam dan pencemaran air laut, Kabupaten Kolaka, Sulawesi Tenggara. 26 Februari 2025. (Foto: Didi Hardiana/Satya Bumi)