Search
Close this search box.
Search

Merdeka Tanpa Keadilan Iklim

Merdeka Tanpa Keadilan Iklim

Siaran Pers Koalisi Keadilan Iklim
Merespons Pidato Kenegaraan Presiden Joko Widodo

Jakarta, Senin, 21 Agustus 2023. Pidato kenegaraan Presiden Joko Widodo, yang disampaikan pada Rapat Paripurna DPR 16 Agustus 2023, belum menunjukkan urgensi pemerintah mewujudkan Keadilan Iklim. Padahal dalam pidato tersebut, Presiden menyebutkan, perubahan iklim menimbulkan ancaman serius terhadap pembangunan dan ekonomi dunia termasuk Indonesia.

“Rancangan APBN 2024 hanya mengangkat capaian pertumbuhan ekonomi dan tahun politik, namun luput mengedepankan komitmen dan upaya nyata dalam penanganan perubahan iklim yang berkeadilan,” ujar Torry Kuswardono, Direktur Eksekutif Yayasan PIKUL sekaligus Dinamisator Koalisi Keadilan Iklim.

Lampiran pidato presiden telah memasukan ketahanan lingkungan dan perubahan iklim sebagai misi pembangunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024.

“Namun, kami mencermati bahwa lingkungan hidup dan perubahan iklim masih dilihat secara sektoral. Pertumbuhan ekonomi diperlakukan sebagai semata pertumbuhan. Pemerintah tidak memperhitungkan kerusakan lingkungan hidup dan dampak perubahan iklim sebagai faktor pengurang pertumbuhan ekonomi. Padahal, kenyataannya, kerugian akibat kerusakan lingkungan hidup dan dampak perubahan iklim cukup besar, serta berdampak pada progres ketahanan dan kesejahteraan Masyarakat,” ujar Torry.

“Perubahan iklim hanya muncul beberapa kata dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024 dan di beberapa bab Lampiran Pidato Presiden sebagai salah satu isu yang perlu mendapatkan perhatian. Namun ide-ide besar dalam Lampiran Pidato Presiden belum menjawab persoalan mendasar terkait perwujudan keadilan iklim, salah satunya manfaat bagi kelompok paling rentan di masyarakat, seperti petani dan nelayan, Masyarakat Adat dan Komunitas Lokal, penyandang disabilitas, anak-anak dan lansia, dan kaum miskin perkotaan,” tambah Torry.

“Secara umum, kami mengapresiasi arahan presiden soal transformasi ekonomi hijau. Pemanfaatan nilai ekonomi hayati dan investasi hijau memang harus didorong sepenuh tenaga. Namun, kami melihat bahwa fakta di lapangan, niatan tersebut dijalankan secara sebaliknya. Ekonomi hijau kerap disederhanakan sebagai perdagangan karbon, dengan penguasaan ekonomi masih berada pada kekuatan elite,” kata Nadia Hadad, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan.

“Sementara, rakyat yang paling berpotensi terkena dampak malah tetap terpinggirkan. Ditambah belum adanya kerangka pengaman yang harus diterapkan untuk memastikan mekanisme ini benar-benar akan menurunkan emisi. Akhirnya, ekonomi hijau hanya menjadi sebuah alat untuk menyejahterakan elite, tapi mengabaikan urusan emisi,” tambahnya.

“Konsep pembangunan rendah karbon dan ekonomi hijau seharusnya dilandaskan pada kesadaran batas ekologis dan ketersediaan sumber daya alam yang tidak kekal. Pertumbuhan yang hanya berdasarkan Produk Domestik Bruto (PDB) belum tentu menjamin bahwa rakyat sejahtera. Ekonomi hijau harus dibentuk dengan meletakkan daya tampung dan daya dukung alam sebagai dasar. Ekonomi akan tumbuh dengan baik jika berbentuk sirkular dan bukan linear, terdesentralisasi dan bukan desentralisasi, diversifikasi tanaman dan bukan monokultur,” urai Nadia.

“Begitu juga soal transisi energi. Spirit melakukan transisi energi adalah hal yang patut dihargai. Namun, kebijakan yang diambil masih berkutat pada aspek BBN (bahan bakar nabati) yang bahan bakunya didominasi kelapa sawit, yang berisiko mendorong deforestasi. Transisi energi juga semata berfokus pada narasi penjualan kendaraan listrik tanpa memandang sumber tenaga listrik. Persoalan mendasar transisi energi, yakni penutupan PLTU (Pembangkit Listrik Tenaga Uap) dan penghentian penambangan batu bara, masih sangat lambat implementasinya. Padahal, pembukaan lahan untuk BBN maupun penjualan kendaraan listrik dengan tetap mempertahankan PLTU sama sekali tak memecahkan persoalan. Kebijakan ini hanya seperti memindahkan luka dari satu bagian ke bagian lain,” tambah Nadia.

“Pidato presiden membanggakan capaian pencapaian pertumbuhan ekonomi nasional melalui Proyek Strategis Nasional (PSN) dan program-program unggulan. Namun pencapaian-pencapaian ini menimbulkan pertanyaan seberapa jauh PSN sejalan dengan agenda mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. Tidak ada evaluasi bagaimana PSN memiliki peta jalan spesifik tentang penurunan emisi dan bagaimana PSN menaikkan atau menurunkan kapasitas adaptasi wilayah, bahkan beberapa PSN justru menambah ancaman krisis iklim” kata Puspa Dewi, Kepala Divisi Kampanye Walhi.

Menurut Dewi, fakta menunjukkan bahwa aksi mitigasi dan adaptasi perubahan iklim masih bersifat terpisah. Berbagai indikator pembangunan tidak memasukkan indikator penurunan emisi dan kemampuan adaptif. Aksi mitigasi terutama di sektor energi dan FOLU (forest and other land use) juga belum memiliki skema dan menjamin transisi dan resiliensi berkeadilan. Terbukti dengan terjadinya trade-off bahkan pengorbanan lingkungan dan warga di berbagai tempat demi mencapai tujuan mitigasi, misalnya dalam hilirisasi nikel untuk mendukung elektrifikasi. Kerusakan lingkungan, konflik sosial, hingga bencana ekologis menjadi bagian inheren dari tindakan mitigasi dan adaptasi perubahan iklim saat ini,” kata Dewi.

Dewi Rizki, Direktur Sustainable Governance–Strategic Focus KEMITRAAN menyampaikan, “Penanganan dampak perubahan iklim membutuhkan tata kelola yang menjamin terwujudnya pembangunan yang berkelanjutan dalam konteks tersebut, presiden perlu mencanangkan prinsip-prinsip tata kelola penanganan dampak perubahan yang transparan, akuntabel, berkeadilan dan menjangkau seluruh lapisan masyarakat, terutama kelompok rentan, yang selama ini belum tersentuh oleh pembangunan berkelanjutan.”

Selain dari tata kelola, Dewi juga menyoroti masalah pendanaan perubahan iklim yang masih sangat jauh dari terpenuhi, mengingat sebagian besar wilayah terdampak adalah daerah-daerah yang tidak banyak menyumbang sumber daya alamnya namun secara masif terimbas dampak perubahan iklim, terutama di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. “Untuk mewujudkan keadilan iklim, kelompok rentan dan terpinggirkan di wilayah-wilayah yang terkena dampak perubahan iklim harus menjadi prioritas, mengingat mereka tidak memiliki kapasitas untuk menanggulangi permasalahan yang mereka hadapi secara mandiri,” pungkas Dewi Rizki.

Koalisi Keadilan Iklim melihat situasi saat ini semakin membuka kesenjangan keadilan iklim di Indonesia. Tidak ada kemerdekaan tanpa sebuah keadilan. Untuk itu, Koalisi Keadilan Iklim mendesak agar Pemerintah:

Pertama, merancang dan menerapkan agenda perubahan iklim sebagai agenda pembangunan nasional dengan parameter dan indikator transisi berkeadilan, adaptasi efektif, serta integritas lingkungan dan sosial. Pemerintahan selanjutnya perlu memiliki dasar untuk memperbaiki strategi pembangunan agar sejalan dengan prinsip-prinsip dan perwujudan keadilan iklim.

Keduasecara serius menerapkan transisi energi yang berkeadilan iklim (just transition) dengan membuat peta jalan yang jelas terhadap pensiun dini PLTU batubara, peralihan penggunaan minyak dan gas dan akselerasi penggunaan energi terbarukan agar terjadi penurunan emisi secara riil dan memastikan tidak adanya warga maupun lingkungan yang dikorbankan dalam upaya penurunan emisi.

Ketiga, memperluas perlindungan hutan alam, gambut, dan mangrove yang belum terlindungi kebijakan dengan memperkuat mekanisme perlindungan dan pengelolaan berbasis masyarakat. Selain itu, penyelesaian tumpang-tindih, pengawasan, dan penegakan hukum terhadap seluruh bentang hutan alam.

Keempat, memfokuskan diri pada upaya penciptaan mobilitas yang berkelanjutan yang meletakkan transportasi publik yang aman, layak bagi semua kelompok masyarakat, dan berkelanjutan untuk menurunkan emisi dari sektor transportasi, mengurangi polusi udara, dan kemacetan yang menjadi problem utama transportasi di perkotaan.

Kelima, melakukan evaluasi dan transformasi proyek-proyek strategis nasional agar menjadi model pembangunan wilayah berketahanan dan berkeadilan iklim dengan emisi yang rendah serta meningkatkan kemampuan adaptasi, menyelesaikan konflik tanah dan sosial yang mengedepankan keselamatan dan kesejahteraan warga lokal.

Keenam, menyelesaikan berbagai persoalan tata kelola sumber daya alam dengan memberikan jaminan pada Masyarakat Adat dan Komunitas Lokal, termasuk penyelesaian hak atas tanah, pengesahan RUU Masyarakat Adat, dan kasus-kasus perizinan yang menjadi sumber korupsi.

Ketujuh, menerima usulan masyarakat sipil untuk memulai pembahasan RUU Keadilan Iklim melalui partisipasi yang mengakar dan melibatkan berbagai komponen masyarakat khususnya kelompok rentan, perempuan, disabilitas, generasi muda, Masyarakat Adat dan Komunitas Lokal, buruh, petani, nelayan dan kelompok lainnya, dan memastikan pelibatan kelompok rentan tersebut berdasarkan ekoregion yang telah ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan.

***

Catatan editor:
Koalisi Keadilan Iklim adalah gerakan masyarakat sipil yang mendorong perlunya kebijakan terkait iklim dan lingkungan yang berkeadilan. Koalisi ini diinisiasi oleh Yayasan Pikul, Yayasan Madani Berkelanjutan, Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), dan Kemitraan untuk Pembaharuan Tata Kelola (KEMITRAAN).

Koalisi ini sedang terus berkembang mendorong terwujudnya keadilan iklim melalui advokasi kebijakan dan perundang-undangan, perluasan wacana keadilan iklim, dan mengembangkan gerakan keadilan iklim yang lebih inklusif. Termasuk di antaranya adalah mendorong pembahasan RUU Keadilan Iklim bersama sejumlah organisasi masyarakat sipil lain seperti ICEL, YLBHI, Aksi!, KRKP, YAPPIKA, PUSAKA, TUK Indonesia, 350.org, Solidaritas Perempuan, CoAction Indonesia, dan sejumlah organisasi lain.

Data pendukung:

  1. Terdapat peningkatan risiko ancaman bahaya dan dampak perubahan iklim di Indonesia. Dalam 10 tahun terakhir (2013-2022) Badan Nasional Penanggulangan Bencana merekam terjadinya bencana terkait cuaca dan iklim sebanyak 28.471 kejadian yang mengakibatkan 38.533.892 orang menderita, 3,5 juta lebih orang mengungsi, dan lebih dari 12 ribu orang terluka, hilang, dan meninggal dunia.
  2. Walhi mencatat bahwa hilirisasi nikel terbukti telah memporak porandakan bentang alam di Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Selatan, dan Maluku Utara, baik di darat maupun di pesisir, laut, dan pulau-pulau kecil. Sampai dengan tahun 2022, konsesi lahan untuk tambang nikel di Indonesia mencapai 1.037.435,22 hektar. Dari jumlah itu, lahan seluas 765.237,07 hektare berada dalam kawasan hutan.
  3. Berdasarkan analisis Madani, terdapat 9,7 juta hektare hutan alam yang belum dilindungi kebijakan (di luar PIPPIB, PIAPS, dan izin/konsesi) yang mendesak untuk segera dilindungi agar Indonesia dapat mencapai target FOLU net sink 2030. Sementara itu, deforestasi masih saja terjadi di area izin dan konsesi. Madani mencatat 62% deforestasi pada periode 2021-2022 terjadi di area yang dikelola perusahaan.

 

Kontak media:
Torry Kuswardono, Dinamisator Koalisi Keadilan Iklim, t.kuswardono@gmail.com, 0811-383-270
Nadia Hadad, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan, nadia@madaniberkelanjutan.id, 0811-132-081
Puspa Dewi, Kepala Divisi Kampanye WALHI, puspadewy@walhi.or.id, 0878-2289-7111
Dewi Rizki, Direktur Sustainable Governance–Strategic Focus KEMITRAAN, dewi.rizki@kemitraan.or.id, 0811-8453-112

 

*Sumber tulisan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *