Search
Close this search box.
Search

Refleksi CSO: Political Will Reforma Agraria yang Berpihak Pada Masyarakat Pesisir dan Pulau Kecil Masih Lemah

Refleksi CSO: Political Will Reforma Agraria yang Berpihak Pada Masyarakat Pesisir dan Pulau Kecil Masih Lemah

Jaring Nusa kembali menggelar sharing session yang diadakan pada Jumat (18/08/2023). Sharing session yang digelar secara daring ini mengangkat tema reforma agraria, tinjauan atas kebijakan dan pengakuan ruang hidup masyarakat di pesisir, laut dan pulau kecil.

Pengelolaan wilayah pesisir laut dan pulau kecil selama ini telah banyak menimbulkan konflik antar pelaku kepentingan dalam melakukan aktivitas pengelolaan dan pembangunannya.

Sedangkan pada konsideran TAP MPR Nomor IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam disebutkan jika masalah utama dalam pengelolaan LH-SDA adalah eksploitasi berlebihan yang menyebabkan penurunan kualitas lingkungan dan ketimpangan struktur penguasaan pemilikan SDA

Untuk itu perlu adanya upaya implementasi kebijakan pengakuan wilayah kelola rakyat melalui reforma agraria merupakan langkah strategis untuk mendorongkan perubahan struktur agraria di level komunitas/tapak.

Klaim Capaian Reforma Agraria Ala Pemerintah

Klaim capaian dari pemerintah sendiri dalam hal pengakuan hak menurut Erwin Dwi Ristianto, Deputi Program Perkumpulan HuMa tidak seutuhnya dilihat sebagai capain yang memuaskan.

Beberapa capaian yang diklaim oleh pemerintah antara lain telah ditetapkan hutan adat sebanyak 153.322 hektar dengan jumlah SK yang keluar sebanyak 108. Selain itu capaian reforma agraria melalui legalisasi aset seluas 4.140.028 hektar.

Ia menyebut jika terdapat banyak konflik agraria yang terjadi. Selain itu juga terdapat ketimpangan ekonomi khususnya di wilayah pesisir.

“Hingga Maret 2023 terjadi 561 konflik agraria dan sumber daya alam dengan luas area konflik mencapai 5,10 juta hektar. Sebanyak 870.468 jika masyarakat adat/lokal menjadi korban,” terangnya dengan mengutip data dari tanakita.id.

Pemaparan materi Erwin Dwi Ristianto, Deputi Program Perkumpulan HuMa.

Capaian tersebut juga dilihat oleh Dewi Kartika, Sekretaris Jenderal KPA sebagai hal yang tidak dilihat seutuhnya terkait dengan reforma agraria.

“Yang dilaporkan oleh pemerintahan saat ini per Juli 2023, memang capaian paling besar dari tanah. Penerbitan sertifikat tanah biasa, yang sifatnya non konflik dan non ketimpangan,” ujarnya.

Klaim legalisasi aset seluas 4 juta hektar lebih menurutnya masih belum jelas. “Tidak pernah dibuka konsesi mana yang sudah ditertibkan,” tambahnya.

Implikasi yang menempatkan tanah sebagai komoditas dan konsepsi aset dan akses reform yang orientasinya pertumbuhan ekonomi, menurutnya malah akan banyak menimbulkan konflik dengan masyarakat. 

“Mengatasi ketimpangan penguasaan yang semakin tajam. Termasuk soal pemulihan dan pengakuan hak,” terangnya.

Political Will Wilayah Pesisir, Laut dan Pulau Kecil

Nurhasan Ismail, Guru besar Fakultas Hukum UGM menerangkan jika aturan yang menyangkut reforma agraria sudah memiliki ragam produk aturan. Namun sayangnya masih terjadi hambatan terkait dengan pengelolaannya.

“Jadi secara yuridis sebenarnya tidak ada persoalan. UUPA merupakan produk yang sudah baik dalam mengakomodir reforma agraria. Dalam praktiknya, masih menjadi hambatan, terangnya.

Terkait dengan wilayah pesisir, laut dan pulau kecil masih terdapat hambatan-hambatan dalam pengelolaannya. Ia mendorong agar adanya kepastian hukum bagi masyarakat yang dalam beberapa kasus sering dibenturkan lintas kementerian antara ATR/BPN dan KKP.

Gunawan, Penasehat Senior IHCS menerangkan jika kedaulatan rakyat yang mengarah kepada kemakmuran, tidak hanya sekadar wilayah kelolanya. Ia mendorong peran rakyat lebih bermakna dalam perencanaan dan pembentukan peraturan.

Pemaparan materi Gunawan, Penasehat Senior IHCS

“Untuk mencapai tujuan kemakmuran rakyat, pendistribusian kembali pemilikan atas tanah dan pembatasan pemilikan luas tanah, sehingga penguasaan atau pemilikan tanah tidak terpusat pada sekelompok orang tertentu,” ujarnya.

Dalam hal pemberian wilayah kelola wilayah pesisir, pengelolaannya tidak boleh mengabaikan hak individu, hak kolektif, hak masyarakat adat.

“Pemberian konsesi di perairan pesisir yang tidak boleh menimbulkan privatisasi, diskriminasi secara tidak langsung, menghilangkan hak tradisional yang bersifat turun temurun, dan mengancam penghidupan nelayan,” terangnya.

Data dari BPS pada tahun 2018 sebanyak 20 hingga 48 persen nelayan Indonesia masih miskin. Data tahun 2019 juga masih menunjukkan 90 persen atau 14,58 juta jiwa belum berdaya secara ekonomi.

Menurut Erwin hal itu menunjukkan jika politik hukum pada wilayah pesisir, laut dan pulau kecil masih lemah sehingga kebijakan yang dihasilkan juga masih belum mampu mengangkat kehidupan nelayan dan ruang hidupnya.

“Melihat wilayah pesisir, laut dan pulau kecil sebagai komoditas dan pemanfaatannya yang tidak diimbangi oleh kehati-hatian dalam melindungi lingkungan hidup. Sehingga terlalu memberi keutamaan terhadap pemodal secara timpang, jelasnya.

“Benar bahwa pemberian hak tapi disisi lain pemberian konsesi masih terus diberikan,” tambahnya.

Peta kawasan konservasi perairan dan kawasan konservasi pesisir dan pulau-pulau kecil tahun 2019 (KKP, 2019)

Dewi Kartika juga mendorong untuk terus mengembangkan model reforma agraria pada pesisir, laut dan pulau kecil yang diakuinya masih bias darat.

“Model reforma agraria harus terus menerus dikembangkan, termasuk di pesisir laut dan pulau kecil. Tantangan kita kalau mendorong itu, jangan sampai terjebak hanya bias darat,” jelasnya.

“Sampai sekarang yang belum terlalu terkonsolidasi secara utuh bagaimana konteks gerakan nelayan terhadap hak-hak agrarianya,” tambahnya.

Hal senada juga disampaikan oleh Kasmita Widodo, Kepala Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA) menjelaskan jika wilayah ruang kelola di wilayah pesisir, laut dan pulau kecil masih kurang secara luasan.

“Tantangannya adalah untuk mengkonsolidasikan semua ruang wilayah kerja masyarakat untuk mengetahui wilayah pesisir dan pulau kecil,” ujarnya.

Secara umum, luas wilayah adat yang yang diakui berdasarkan data dari BRWA mencapai 26,9 juta hektar yang tersebar di 32 provinsi. Sebanyak 1.336 peta yang telah diakui. Sementara itu untuk sebaran di pesisir, laut dan pulau kecil hanya sekitar 5,59 juta hektar.

Menurutnya Kasmita jika pemetaan ruang kelola sangat penting untuk melihat potensi dan upaya perlindungan secara berkelanjutan. 

“Gerakan pemetaan wilayah ruang kelola pesisir dan pulau kecil harus terus dimaksimalkan. Ini menjadi sangat penting terkait dengan kerja advokasi,” terangnya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *