Hari Keanekaragaman Hayati atau Biodiversity Day diperingati setiap tanggal 22 Mei. Tujuan peringatan hari Kehati adalah untuk meningkatkan pemahaman dan kesadaran serta menumbuhkan kecintaan terhadap keanekaragaman hayati atau biodiversitas.
Tema Hari Keanekaragaman Hayati Internasional 2023 adalah “From Agreement to Action: Build Back Biodiversity”, yang bertujuan untuk mempromosikan tindakan dalam mendukung Kunming-Montreal Global Biodiversity Framework (KM – GBF).
Jaring Nusa Kawasan Timur Indonesia turut memperingati melalui kegiatan diskusi yang diselenggarakan secara hybrid melalui zoom meeting dan offline di Ternate, Maluku Utara.
Kegiatan ini digelar pada Senin (22/05/2022). Diskusi ini bekerjasama dengan anggota Jaring Nusa KTI, Perkumpulan Pakativa.
Menjaga dan Memperluas Kawasan Konservasi
Amehr Hakim, Direktorat Konservasi dan Keanekaragaman Hayati Laut menjelaskan jika Kementerian Kelautan dan perikanan sendiri telah menentukan 5 strategi kebijakan dan program konservasi laut. Diantaranya perluasan kawasan konservasi laut, perikanan tangkap terukur berbasis kuota.
Ia juga menyampaikan jika target global dengan menetapkan kawasan konservasi 30% juga sedang dilakukan oleh pemerintah. Saat ini luas kawasan konservasi di Indonesia mencapai 28,9 juta hektar.
“Kawasan konservasi kita mencapai 8,7%. Kurang dari 2% merupakan zona inti. Kita di tahun 2030 target kawasan konservasi 10 persen. DI tahun 2045 kita harapkan kawasan konservasi sudah sampai 30%,” jelasnya.
Menurutnya ada dua upaya kunci yang dilakukan yaitu menambah luasan kawasan konservasi laut dan meningkatkan kualitas kawasan konservasi laut. Perluasan dan pengelolaan efektif kawasan konservasi menjadi salah satu program prioritas yang perlu disosialisasikan.
Selain itu adanya pembangunan perikanan budidaya laut, pesisir dan darat yang ramah lingkungan. Pengelolaan pesisir dan pulau kecil hingga pengelolaan sampah plastik di laut.
“Harapannya akan mengurangi tekanan dan dampak negatif kegiatan manusia, melestarikan dan menjaga kualitas ekosistem laut dan layanan ekosistemnya,” terangnya.
Ia juga menekankan jika upaya konservasi yang dilakukan bukan hanya dilindungi, dampaknya terhadap masyarakat. Untuk itu perlu adanya upaya dari semua pihak untuk mencapai target konservasi.
“Perlu adanya kolaborasi untuk mencapai tujuan kawasan konservasi. Harus ada integrasi bukan hanya ekologi dari secara multidimensi,” tandasnya.
Sementara itu tak dapat dipungkiri jika wilayah pesisir, laut dan pulau kecil keanekaragaman hayati Indonesia juga kian terancam, secara perlahan hutan mangrove dan terumbu terancam terus mengalami penyusutan. Hal itu juga termasuk di Maluku Utara.
Zulham Harahap, akademisi Universitas Khairun mengungkap jika pengembangan kawasan konservasi di Maluku Utara tidak berjalan dengan baik.
“Pembangunan kawasan konservasi di Maluku Utara sendiri menurutnya masih berjalan dengan lamban. Pengelolaan yang ada masih sangat terbatas,” terangnya.
Ia juga menekankan jika area konservasi yang ada di Maluku Utara harus melibatkan masyarakat bukan hanya dari segi partisipasi namun juga kebutuhan di daerah.
“Dalam konteks menentukan kawasan konservasi harus dilihat kondisi masyarakat setempat dan juga kebutuhan daerah. Kami berharap dari KKP dan KLHK dapat membantu pengelolaan kawasan konservasi di Maluku Utara,” jelasnya.
Peran Masyarakat Adat dan Lokal dalam Konservasi
Cindy Julianti, dari Sekretariat WG ICCAs Indonesia dalam pemaparannya menerangkan jika kawasan konservasi akan berjalan dengan baik dengan pelibatan masyarakat adat dan lokal.
“Bicara konservasi bukan hanya menetapkan, setelah itu kita berharap ada perbaikan. Justru kita harus mengikutsertakan masyarakat adat,” terangnya.
Menurutnya ada 3 pergeseran paradigma konservasi berbasis HAM. Pertama masyarakat adat dan lokal sebagai subjek dan aktor konservasi.
Lalu terdapat penyelenggaraan konservasi berdasarkan prinsip inklusifitas, partisipasi, kolaboratif dan kearifan lokal. Terakhir adalah konservasi adalah kepentingan bersama umat manusia.
“Masyarakat adat dan lokal memiliki pengetahuan tentang wilayahnya sendiri. Ke depan pendekatan konservasi lebih bisa mengikutsertakan seluruh masyarakat. Menekankan bagian tanggungjawab semua manusia,” jelasnya.
“Penetapan kawasan konservasi perlu persetujuan atas dasar informasi awal tanpa paksaan dari pemilik kearifan lokal,” tambahnya.
WG ICCAs sendiri dalam kerjanya telah melakukan upaya registrasi 467 ribu hektar AKKM. 169,8 ribu hektar di kawasan konservasi. Untuk masyarakat pesisir sendiri terdapat 1251 titik wilayah kelola. Terdapat 60 titik di kawasan konservasi.
“Ketika melibatkan lebih banyak orang dalam pengelolaan konservasi, mereka justru akan menjadi agen yang membantu menyebarluaskan kebijakan. Bukan dengan cara mengambil ruang hidup, tapi justru menjadikan sebagai proses pembelajaran bersama dan berkolaborasi, tegasnya.
Pentingnya RUU KSDAHE
Dari WG ICCAs sendiri terkait RUU KSDAHE memiliki beberapa rekomendasi. Pertama harus mampu menjadi jawaban permasalahan penyelenggaraan dengan prinsip inklusifitas, keterbukaan, partisipasi, kolaborasi dan afirmasi dalam penyelenggaraan konservasi.
“Perubahan yang komprehensif terhadap penyelenggaraan konservasi sangat urgent. Dibutuhkan untuk menjawab tantangan global dari krisis keanekaragaman hayati, krisis iklim, kebutuhan pembangunan berkelanjutan,” terang Cindy.
Kedua RUU KSDAHE harus berasaskan nilai-nilai kearifan lokal dan mengadopsi pengetahuan tradisional tentang konservasi masyarakat. Selain itu juga harus menjadi partisipasi masyarakat dan persetujuan dengan informasi diaswal tanpa paksaan.
“RUU KSDAHE perlu memastikan pengakuan dan perlindungan terhadap masyarakat adat dan lokal, pembagian manfaat yang adil dan pencegahan biopiracy,” tambahnya.
Sementara dari Yayasan Konservasi Laut (YKL) Indonesia sendiri turut memberikan rekomendasinya terhadap komisi IV DPR RI terkait RUU KSDAHE. Ia menjelaskan jika RUU ini masih kurang menyentuh isu pesisir laut dan pulau kecil.
Padahal menurutnya pesisir, laut dan pulau kecil merasakan dampak paling nyata terhadap perubahan iklim. Tentunya akan sangat berpengaruh terhadap kehidupan masyarakatnya.
“Kami menemukan RUU KSDAHE masih sangat berbasis darat. Hal ini berdampak terhadap penguatan kawasan konservasi pesisir laut dan pulau kecil ke depannya,” jelas Nirwan Dessibali, Direktur YKL Indonesia.
Hal ini juga turut dilihat dari peran Kementerian Kelautan dan Perikanan yang masih minim dalam RUU KSDAHE. Terlihat juga dari nomenklatur yang tidak memasukkan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan.
“Kewenangan KKP walaupun secara regulasi sudah ada, namun dalam RUU ini memiliki peran yang minim untuk sektor laut,” tandasnya.
“Sudah seharusnya wilayah pesisir, laut dan pulau kecil turut dimasukkan dalam lanjutan RUU KSDAHE,” tambahnya.