Permasalahan tenurial di wilayah pesisir serta pemanfaatan ruang laut telah banyak menjadi sorotan publik di Indonesia. Salah satunya yakni kasus pagar laut di Tangerang, yang merupakan bentuk ocean grabbing berskala luas dan melibatkan banyak pihak terkait dalam kasus ini.
Walaupun kenyataannya, di berbagai daerah lain di Indonesia juga banyak terdapat permasalahan yang sama bahkan telah berlangsung lama. Permasalahan pengelolaan wilayah pesisir lainnya yakni; pengurangan areal tutupan mangrove, perluasan lahan tambak, perluasan areal pemukiman, reklamasi, pembangunan infrastruktur, pertambangan, dan pariwisata.
Kemudian konflik pemanfaatan sumber daya laut, wilayah tangkap atau wilayah kelola di laut, konflik perebutan sumber daya ikan, IUU fishing dan pencemaran laut. Disisi lain, pemenuhan keadilan tenurial bagi masyarakat pesisir juga masih penuh ketidakpastian.
Banyak pihak mengungkapkan bahwa kebijakan tata ruang yang terintegrasi seharusnya dapat menjamin wilayah penghidupan masyarakat pesisir terlindungi dan mampu meningkatkan potensi yang ada baik di darat dan laut untuk kesejahteraan mereka.
Kenyataannya justru kemudian kerap menjadi legitimasi perampasan ruang hidup masyarakat di pesisir dan ruang lautnya. Kepastian hak, akses dan kontrol masyarakat khususnya nelayan, masyarakat lokal dan adat terhadap wilayah penghidupan mereka di wilayah pesisir dan laut seharusnya mendapatkan prioritas untuk dilindungi dan diakui sebagaimana mandat undang-undang.
Beberapa organisasi masyarakat sipil dan kelompok masyarakat di Kawasan Timur Indonesia telah melakukan upaya bersama dalam mendorong pelestarian lingkungan, konservasi dan pengelolaan sumber daya alam di pesisir, laut dan pulau kecil secara arif dan berkelanjutan.
Mereka juga secara simultan mendorong penyelesaian konflik pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya pesisir dan laut yang diharapkan memberikan keadilan bagi masyarakat, nelayan, masyarakat lokal dan adat.
Membahas hal tersebut, Jaring Nusa menggelar sharing session pada Kamis (24/04/ 2025). Kegiatan yang diselenggarakan secara daring ini menghadirkan narasumber yang telah mendampingi masyarakat secara berkesinambungan serta dari unsur pemerintah dan perspektif global.
Dari Awik-Awik ke Permakades
Amin Abdullah, Direktur LPDSN Lombok membagikan pengalaman bersama masyarakat di Teluk Jor, Lombok. Sejak tahun 2013 masyarakat di Desa Jerowaru dan Desa Pare Mas bersama dengan pemerintah menerapkan Awik-awik perikanan di Teluk Jor.
“Jadi sejak tahun 2013, masyarakat dan pemerintah menyepakati aturan lokal tentang pengelolaan perikanan di wilayah Teluk Jor. Mengapa masyarakat harus menyepakati Awik-awik? Karena hukum formal tidak mampu memendam kegiatan destruktif fishing,” terangnya.
Teluk Jor sendiri merupakan salah satu teluk yang berada di Pulau Lombok tepatnya di Lombok Timur dengan luas sekitar 937 hektar.

Awik-awik sendiri merupakan kearifan lokal dalam pengelolaan sumber daya alam. Adanya aturan dalam pemanfaatan laut, pemeliharaan dan konservasi habitat pesisir serta terdapat sanksi bagi pelanggarnya.
“Sistem tersebut menjadi dasar sosial dan budaya dalam menjaga kelestarian ekosistem yang dihormati oleh masyarakat sebagai aturan bersama yang mengikat,” ujar Amin.
Ia juga menjelaskan tantangan penerapan Awik-awik yang berdasarkan penelusuran telah diterapkan sejak tahun 2001. Awik-awik sendiri pada tahun tersebut berlaku di 7 perairan di Lombok Timur.
Peraturan Daerah Kabupaten Lombok Timur Nomor 9 Tahun 2006 Tentang Pengelolaan. Sumber Daya Perikanan Pantai Secara Partisipatif menjadi payung hukum dalam penerapan Awik-awik.
Namun sejak penerapan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintah Daerah terutama pada kewenangan laut yang ditarik ke provinsi.
“Pemerintah kabupaten tidak bisa mengelolah pesisir, laut atau pengelolaan perikanan sehingga awik-awik yang punya payung hukum akhirnya mati suri,” ungkapnya.
Untuk memperkuat payung hukum penerapan Awik-awik, maka masyarakat melalui serangkaian kegiatan sepakat untuk membuat aturan agar diakui secara formal dan memiliki kekuatan legal.
“Peraturan Bersama Kepala Desa (Permakades) merupakan instrumen hukum yang sah di bawah Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2024 Tentang Desa Nomor,” jelasnya.

Aturan tersebut memberikan posisi tawar desa dalam berhadapan dengan pihak eksternal serta memperkuat tata kelola kolaboratif lintas desa.
“Sepanjang proses 6 bulan, akhirnya masyarakat dan pemerintah di dua desa yaitu Desa Jerowaru dan Desa Pare Mas di Teluk Jor mengesahkan Permakades tentang Pemanfaatan dan Keberlanjutan Pesisir dan Laut Kawasan Teluk Jor Kecamatan Jerowaru pada Desember 2024,” terang Amin.
“Pasca terbitnya aturan tersebut langkah selanjutnya adalah mengintegrasikan ke dalam Peraturan Daerah Provinsi Nusa Tenggara Barat Nomor 5 Tahun 2024 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2024-2044,” pungkasnya.
Buka Tutup Penangkapan Gurita
Buka tutup penangkapan gurita merupakan sistem yang diterapkan oleh masyarakat lokal yang ada di pesisir dan pulau kecil untuk memanfaatkan potensi sumber daya laut secara arif dan berkelanjutan. Di Sulawesi sendiri, sistem ini telah banyak diterapkan pada berbagai daerah.
Nurain Lapolo, Direktur Japesda yang berbasis di Gorontalo menilai perubahan fungsi melalui kerusakan ekosistem di pesisir dan laut telah menyebabkan berbagai pengelolaannya yang tidak berkelanjutan. Hal ini diperparah dengan kebijakan yang tidak berpihak terhadap masyarakat.
“Implementasi kebijakan yang sudah diberikan yang diberikan masih belum berpihak kepada nelayan, masyarakat adat, dan lokal,” ujarnya
“Meskipun ada aturan namun pada tataran implementasi tidak sesuai harapan. Nelayan masih belum mendapatkan kepastian pengelolaan sumber daya alam untuk membantu membuat mereka sejahtera,” tambahnya.
Hal senada juga dilontarkan oleh Nirwan Dessibali, Direktur Yayasan Konservasi Laut (YKL) Indonesia yang menyebut jika pengelolaan sumber daya alam khususnya pada laut minim dukungan kebijakan pengakuan hak tenurial masyarakat lokal di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.
“Fokus tenurial lebih pada masyarakat adat dan di darat. Sedangkan di pesisir dan pulau kecil terdapat masyarakat lokal yang juga mengelola laut secara berkelanjutan,” jelasnya.
Dari hal tersebut menurutnya perlu adanya perlindungan laut agar keanekaragaman hayati tetap dipertahankan dan juga memberikan keuntungan ekonomi bagi masyarakat secara berkelanjutan.
Nurain lalu mencontohkan di wilayah Teluk Tomini, tepatnya pada masyarakat Suku Bajo yang telah secara turun-temurun menjaga ekosistem laut tetap lestari.
“Mereka sadar tidak bisa lepas dari kehidupan laut dan pesisir dan memanfaatkannya sebagai sumber penghidupan,” jelas Ain.

Meski memiliki nilai-nilai tradisi yang erat dengan SDA, suku Bajo yang ada di pesisir Teluk Tomini ini bukan masyarakat adat, tetapi masyarakat lokal.
“Sehingga penting bagi mereka bisa mendapatkan hukum pengakuan tata kelola masyarakat lokal untuk mempertahankan nilai nilai tradisi yang ada sebagai keterhubungan antara manusia dan alam,” tambahnya.
Masyarakat Torosiaje khususnya nelayan gurita melakukan konservasi dengan penerapan buka tutup kawasan selama periode tertentu. Kegiatan dilakukan dengan tujuan penerapan penangkapan gurita dengan memperhatikan aspek perlindungan habitat dan keberlanjutan siklus hidup gurita.
“Saat ini terdapat 16 lokasi tangkap gurita yang dikelola dengan luas 415,71 hektar dan dimanfaatkan secara berkelanjutan, dan 2 lokasi areal mangrove yang disepakati sebagai tempat ritual adat suku Bajo Torosiaje,” terangnya.
Penguatan legalitas untuk melindungi wilayah nelayan dilakukan dengan mendorong peraturan desa. Sejak tahun 2022 Pemerintah Desa Torosiaje memberikan dukungan dan mengeluarkan Peraturan Desa tentang Perikanan Gurita Berbasis Masyarakat untuk menindaklanjuti kesepakatan yang telah dibuat olehpara nelayan gurita.
Di Makassar sendiri, YKL Indonesia mendampingi masyarakat di Pulau Lanjukang dan Pulau Langkai dengan menginisiasi buka tutup penangkapan gurita.
“Kami melakukan 5 tahapan rekognisi mulai dari penegasan ruang kelola masyarakat, publikasi ruang kelola kepada para pihak, sinkronisasi ruang kelola masyarakat dan regulasi, proses rekognisi serta pengelolaan,” ungkap Nirwan.
Dari pendampingan yang dilakukan oleh YKL Indonesia sejak 2021, dampak pengelolaan sangat dirasakan oleh nelayan di kedua pulau tersebut.
“Saat ini nelayan sepakat untuk membentuk Forum Pengelolaan Sistem Buka dan Tutup Gurita Lanjukang dan Langkai yang mengelola 3 lokasi penangkapan dengan luas sekitar 400 hektar,” jelasnya.

Target yang selanjutnya ingin dicapai adalah melindungi wilayah nelayan dengan pengakuan hukum formal. Salah satunya melalui Kawasan Konservasi Daerah.
“Forum Pasibuntuluki dilibatkan dalam Kelompok Kerja (Pokja) penyusunan Kawasan Konservasi Daerah (KKD). Kita ingin memasukkan ruang kelola masyarakat yang diintegrasikan dalam zonasi KKD,” pungkasnya.
KKD sendiri dijadikan sebagai strategi untuk menguatkan perlindungan wilayah kelola nelayan sebagai dasar hukum untuk diintegrasikan ke dalam Perda No. 3 Tahun 2022 tentang RTRW Sulsel tahun 2022-2041, Wilayah Pencadangan Kawasan Konservasi Daerah Pulau Lanjukang yang mencapai 1.654,38 hektar.
Masyarakat mendapatkan nilai ekonomi dari praktik konservasi yang dilakukan yaitu bertambahnya bobot gurita sehingga menambah jumlah penghasilan mereka. Disisi lain, mereka mendapatkan ikan yang lebih banyak dan besar, juga habitat terumbu karang makin sehat.
Selain itu masyarakat juga mendapatkan pengetahuan terkait pengelolaan keuangan, terutama manfaat ekonomi dari tabungan hasil penangkapan gurita, akses modal. Diversifikasi produk usaha hasil laut sebagai nilai tambah sumber pendapatan masyarakat terutama perempuan.
Kampung Lestari di Kabupaten Timika
Ishak Mandosir, dari Yayasan Hutan Biru turut berbagi pembelajaran pengelolaan dan perlindungan sumber daya alam di Kabupaten Mimika, tepatnya di Kampung Komoro. Masyarakat di Papua umumnya menggunakan pendekatan hukum adat dalam pengelolaan dan perlindungan di wilayahnya.
“Hutan menjadi tabungan dan sekaligus memberi dan menerima secara ekonomi serta sosial budaya,” terangnya.
Kampung Lestari memiliki 3 aspek penting dalam pengelolaannya yaitu perlindungan hutan, pemanfaatan berkelanjutan serta tata kelola berbasis adat dan konservasi. Kampung Lestari sebagai bentuk pengelolaan dengan prinsip hutannya lestari maka masyarakatnya sejahtera.
“Sistem sosial-ekonomi-ekologi sudah melembaga dalam bentuk kelembagaan adat. Hutan dikelola secara kolektif, bukan perorangan,” ujarnya.
Tipe-tipe ekosistem di Komoro sendiri yang itu mbakoewapu yang diartikan sebagai muara dan pesisir. Lalu ada juga yawa yang berarti hutan rawa. Ekosistem lain adalah dataran tinggi, gunung dan hutan sagu.
“Ekosistem yang tidak kalah penting adalah mangi-mangi atau mangrove,” terang Ishak.

Dalam pemanfaatan sumber daya alam terdapat beberapa aturan yang dibuat oleh masyarakat yaitu kawasan mangi-mangi dimiliki secara komunal.
“Semua telah tahu aturan yang ada seperti tidak boleh menebang pohon secara berlebihan atau melakukan tindakan yang bisa menimbulkan kemarahan leluhur,” jelasnya.
“Tiap warga secara individu bebas mengakses secara bebas wilayah kepemilikan marga,” tambahnya.
Ia menjelaskan jika memperkuat hak komunal dan tata kelola lokal yang terbukti menjaga dan memanfaatkan dengan bijak.
“Saat ini Areal Konservasi Kelola Masyarakat (AKKM) untuk hutan mangrove mencapai 14.871 hektar. Yang perlu dikuatkan untuk melindungi hak-hak tenurial,” pungkasnya.
“Masyarakat masih memegang teguh adat-istiadat, kalau ada yang sudah ditetapkan maka harus dilindungi,” tutup Ishak.
Konsep OECM yang Ideal
Other Effective Area-Based Conservation Measures (OECM) merupakan hasil keluaran dari Conference of Parties (COP) Badan PBB Konvensi Kerangka Kerja Perubahan Iklim (UNFCCC) yang digelar pada tahun 2018. Penerapan OECM di Indonesia sendiri akan mendukung target sebesar 30% kawasan konservasi nasional pada tahun 2045.
Tely Dasaluti, Ketua Tim Kerja Masyarakat Hukum Adat dan Masyarakat Lokal memaparkan bahwa OECM memberikan kesempatan bagi masyarakat di pesisir dan pulau kecil dalam berkontribusi secara luas. Namun disisi lain, ia juga mendorong konsep OECM konteks dengan situasi di Indonesia.
“Sementara ini kita mencari konsep yang terbaik, kita harus mengadaptasi pola yang ada di Indonesia. Kita harus melihat karakter masyarakat di Indonesia. Jangan sampai bukan menjadi sesuatu yang membantu malah timbul konflik,” terangnya.
Sejalan dengan konteks tersebut, Trini Pratiwi mengungkap jika OECM dalam konteks tenurial harus memastikan masyarakat lokal maupun adat di wilayah pesisir dan laut memainkan peran utama dalam berbagai aspek.
“Hak akses ke area tidak cukup disebut sebagai tenurial, pendekatan harus dicek apakah mendorong ke arah tenurial penuh atau hanya di akhir yang hanya diberikan akses ke wilayahnya,” jelasnya.

Sebuah studi dengan judul Marine, Coastal and Shoreline Tenure menjelaskan bahwa tenurial merupakan sebuah konsep menentukan siapa yang diizinkan untuk menggunakan sumber daya mana, dengan cara apa, untuk berapa lama, dalam kondisi apa, dan bagaimana hak, tanggung jawab, dan nilai-nilai budaya diwariskan.
Riset yang dilakukan oleh Cohen bersama lima peneliti lainnya menjelaskan bahwa penguasaan lahan menyediakan landasan bagi mata pencaharian, ketahanan pangan, identitas budaya, dan pengelolaan lingkungan bagi nelayan skala kecil, masyarakat pesisir, dan masyarakat adat.
“Banyak resiko di negara lain penerapan OECM menjadi ocean grabbing, atau hanya pelabelan saja, masyarakat tidak diberikan wewenang lebih dalam lagi. Sehingga hal ini seharusnya menjadi perhatian serius untuk merumuskan kebijakan yang berpihak,” terang Trini.
Sehingga menurut Tely, perlu mendorong adanya komitmen bersama dalam pengakuan dan perlindungan ruang masyarakat di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.
“Pemantauan dan pengawasan secara berkala terhadap wilayah kelola dan sumber daya berbasis kearifan lokal. Selain itu perlu adanya pengukuran dampak dan kontribusi perlindungan jangka panjang dari area yang dikelola oleh masyarakat,” ujarnya.
“Kami pemerintah masih perlu masukan yang membantu kami untuk menginventarisir permasalahan yang ada dan dicarikan solusi bersama,” tutupnya.
Foto utama: Nelayan memperlihatkan hasil tangkapan gurita. Gurita yang ditangkap merupakan wilayah buka tutup yang diterapkan oleh nelayan di Pulau Lanjukang dan Pulau Langkai. (Foto: Jaring Nusa)